Penulis : Anton Christanto.Pengamat Kebangsaan dan Pluralisme di Boyolali
Mudanews,com Surakarta – Kita tidak menolak agama. Kita tidak menolak dakwah. Yang kita tolak adalah ujaran kebencian yang dibungkus atas nama agama.
Kita menolak siapa pun yang datang membawa api perpecahan, apalagi di ruang-ruang intelektual yang seharusnya menjadi benteng terakhir akal sehat dan persatuan.Indonesia adalah rumah besar untuk semua. Mari kita jaga bersama, sebelum api intoleransi membakar segalanya.
Pada tanggal 8 Juli 2025, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) menjadi tuan rumah bagi sebuah acara yang memicu kontroversi di tengah masyarakat Indonesia: ceramah Dr. Zakir Naik, tokoh penceramah asal India yang dikenal luas dengan pandangan keagamaan yang keras dan kontroversial. Kehadirannya di salah satu kampus besar di Indonesia patut menjadi bahan refleksi mendalam, bukan hanya bagi civitas akademika, tetapi juga bagi seluruh bangsa yang sedang berjuang menjaga persatuan dalam bingkai kebhinnekaan.
Siapa Zakir Naik dan Apa Masalahnya?
Zakir Naik bukan sekadar pendakwah. Ia saat ini berstatus sebagai buronan internasional atas tuduhan penyebaran ujaran kebencian dan dugaan keterlibatan dalam pendanaan terorisme. Beberapa negara seperti India, Inggris, Kanada, hingga Bangladesh telah menolak kehadirannya karena ceramah-ceramahnya dinilai memecah-belah masyarakat dan memicu kekerasan berbasis agama.
Bahkan di Malaysia, negara yang sempat memberinya suaka, Zakir Naik dilarang berbicara di ruang publik karena komentarnya yang merendahkan etnis dan agama lain. Ketika seseorang dengan rekam jejak seperti ini diundang ke ruang akademik di Indonesia, kita patut bertanya: apakah kita sedang menjaga nilai-nilai Pancasila, atau justru membiarkan bibit intoleransi bertunas?
Mengapa Kehadirannya Harus Ditolak?
Ada beberapa alasan mendasar mengapa kehadiran Zakir Naik di Indonesia—khususnya di lingkungan kampus—harus dikritisi dan bahkan ditolak:
- Menyebarkan Paham Intoleransi
Ceramah Zakir Naik kerap mengandung ujaran yang merendahkan keyakinan lain, bahkan kelompok-kelompok minoritas dalam Islam sendiri. Sikap ini bertentangan dengan semangat toleransi yang diusung oleh Pancasila dan UUD 1945. - Memicu Potensi Konflik Sektarian
Dalam konteks Indonesia yang majemuk, penyebaran paham-paham eksklusif dan radikal sangat berbahaya. Sejarah menunjukkan bahwa konflik agama bisa berawal dari ujaran kebencian yang dibiarkan tumbuh di tengah masyarakat. - Menurunkan Wibawa Institusi Pendidikan
Kampus seharusnya menjadi tempat pembelajaran, diskusi ilmiah, dan penguatan karakter kebangsaan. Mengundang sosok kontroversial seperti Zakir Naik justru mengirim pesan keliru kepada mahasiswa: seolah-olah intoleransi bisa dibenarkan atas nama agama
Intoleransi: Ancaman Nyata bagi Persatuan Bangsa
Intoleransi tidak lahir tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan, sering kali berakar dari pidato, ceramah, atau media sosial yang mempromosikan kebencian terhadap “yang berbeda”. Jika tidak dicegah, intoleransi bisa berkembang menjadi radikalisme, bahkan terorisme.
Indonesia adalah negeri dengan lebih dari 1.300 suku bangsa, 6 agama resmi, dan ratusan bahasa daerah. Keberagaman ini adalah kekayaan yang harus dijaga, bukan dipertentangkan. Pancasila sebagai ideologi bangsa menempatkan toleransi, kemanusiaan, dan persatuan di atas segalanya.
Mengizinkan paham-paham intoleran masuk ke ruang publik sama saja dengan menyiapkan panggung bagi keretakan sosial dan disintegrasi bangsa.
Menjaga Indonesia Adalah Tanggung Jawab Kita Bersama
Kebebasan berbicara adalah hak setiap warga negara, namun bukan tanpa batas. Ketika sebuah ucapan mengancam harmoni sosial, memicu kebencian, atau merendahkan pihak lain, negara berkewajiban hadir untuk mencegahnya.
Pendidikan tinggi seharusnya menjadi benteng terakhir pertahanan ideologi bangsa. Menolak ceramah intoleran bukan berarti anti-agama, melainkan bentuk kecintaan pada negara dan upaya menjaga keberagaman sebagai identitas bersama.
Penutup
Mari kita jaga Indonesia. Mari kita tolak segala bentuk intoleransi, ujaran kebencian, dan provokasi yang berpotensi memecah belah bangsa. Indonesia terlalu berharga untuk dipertaruhkan hanya demi mendengarkan suara yang menolak keberagaman.
Kampus harus menjadi pelita peradaban, bukan panggung bagi narasi kebencian. Bangsa ini membutuhkan anak muda yang berpikir kritis, berjiwa toleran, dan cinta damai.***(Red)