Refleksi Negara Gagal Berpikir: Ketika Banjir Dinormalisasi, Bela Negara Dipermainkan, dan Kedaulatan Ditinggalkan

Breaking News
- Advertisement -

 

Mudanews.com Jakarta – Berulangnya banjir dan bencana ekologis di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di Sumatera dan pulau-pulau lain, dinilai bukan lagi sekadar musibah alam. Fenomena tersebut mencerminkan kegagalan tata kelola negara yang memilih diam meski memahami akar persoalan, mulai dari perusakan hutan, eksploitasi sungai, hingga penyimpangan tata ruang.

Negara, menurut sejumlah pengamat, hadir terlambat dan cenderung seremonial. Saat air telah menenggelamkan pemukiman, respons yang muncul sebatas bantuan darurat dan pencitraan empati pejabat. Padahal, tanpa perubahan kebijakan mendasar, pola bencana tahunan justru menjadi konsekuensi dari pilihan politik, bukan semata keterbatasan teknis.

Kritik tajam terhadap situasi ini disampaikan Connie Rahakundini Bakrie, Guru Besar St Petersburg State University.(27/12/ 2025)  Menurutnya, kegagalan negara melindungi lingkungan dan keselamatan warganya beriringan dengan degradasi cara berpikir dalam merumuskan kebijakan publik.

Connie menyoroti bagaimana konsep bela negara direduksi menjadi simbol administratif dan panggung citra kekuasaan. Program yang seharusnya membangun kesadaran kolektif dan kapasitas strategis pertahanan justru dipermainkan melalui penunjukan figur tanpa relevansi keahlian, sehingga mencederai rasionalitas institusi negara itu sendiri.

Persoalan serupa tampak dalam kebijakan pangan nasional. Di negara kepulauan dengan sumber daya alam melimpah, ketergantungan pada impor—termasuk impor sapi untuk program Makan Bergizi Gratis—dipandang Connie sebagai pengakuan kegagalan membangun kedaulatan pangan. Negara dinilai tidak percaya pada kemampuan petani, peternak, dan nelayan sendiri.

Masalah tata kelola juga tercermin dalam sektor infrastruktur strategis. Operasional Bandara Morowali menjadi contoh lemahnya kehadiran negara dalam memastikan standar keselamatan, keamanan, dan lingkungan. Infrastruktur yang seharusnya menjadi simbol kemajuan justru berubah menjadi cermin minimnya pengawasan publik.

Menurut Connie, empat persoalan besar sepanjang 2025—bencana ekologis yang dibiarkan, bela negara yang dijadikan formalitas, ketergantungan impor pangan, serta infrastruktur strategis tanpa pengawasan—bukanlah peristiwa terpisah. Seluruhnya membentuk satu sistem kegagalan yang saling berkaitan.

Ia menilai negara kini lebih berperan sebagai manajer krisis jangka pendek daripada penjaga masa depan. Stabilitas politik hari ini dijaga, sementara kerusakan ekologis dan sosial esok hari dikesampingkan.

Yang paling berbahaya, lanjut Connie, adalah normalisasi kegagalan. Kritik dianggap gangguan, akademisi dicap berisik, dan rasionalitas dituduh pesimistis. Padahal, yang terjadi adalah pembusukan akal sehat dalam pengambilan keputusan negara.

Indonesia, tegas Connie Rahakundini Bakrie, tidak kekurangan sumber daya alam, manusia, maupun pengetahuan. Yang kian menghilang adalah rasa malu kekuasaan. Negara yang masih memiliki etika tanggung jawab tidak akan membiarkan warganya tenggelam setiap tahun, mempermainkan konsep pertahanan, menjadikan impor solusi permanen, atau membiarkan infrastruktur strategis beroperasi tanpa pengawasan.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka banjir tak lagi layak disebut bencana alam, impor bukan keniscayaan, dan kegagalan bukan nasib. Semua itu adalah konsekuensi dari negara yang berhenti berpikir, sementara rakyat Indonesia dipaksa menanggung akibatnya.**(Red)

Berita Terkini