Soeharto Ditetapkan Pahlawan Nasional, Keluarga Ucap Terima Kasih — ICW: Ini Simbol Kematian Reformasi

Breaking News
- Advertisement -

 

Mudanews.com Jakarta — Keluarga besar Presiden ke-2 Republik Indonesia, Jenderal Besar TNI (Purn) H. M. Soeharto, menyampaikan rasa terima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto dan rakyat Indonesia atas penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, Jumat (10/11/2025).

Putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Hastuti Rukmana (Tutut Soeharto), menyebut keputusan Presiden Prabowo itu merupakan bentuk penghargaan terhadap jasa ayahnya yang telah membangun fondasi ekonomi dan stabilitas nasional selama memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade.

“Bapak Presiden Prabowo tentu melihat apa yang sudah dikerjakan Pak Harto untuk bangsa ini, serta mendengarkan aspirasi masyarakat yang masih menilai beliau berjasa besar,” kata Tutut dalam keterangan tertulis.

Tutut menambahkan, keluarga besar Soeharto merasa terharu dan berharap penganugerahan itu dapat menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk memandang sejarah dengan lebih bijak dan objektif.

Prabowo dan Soeharto, Ikatan Sejarah dan Keluarga

Kedekatan antara Presiden Prabowo dan Soeharto memang bukan hal baru. Prabowo pernah menjadi bagian dari keluarga Cendana setelah menikah dengan Siti Hediati Hariyadi (Titiek Soeharto) pada tahun 1983, saat Prabowo masih berpangkat kapten di Korps Pasukan Khusus (Kopassus). Dari pernikahan itu, keduanya dikaruniai seorang putra, Ragowo Hediprasetyo Djojohadikusumo (Didit Hediprasetyo).

Pasangan tersebut bercerai pada 1998, tak lama setelah Soeharto turun dari jabatan presiden. Kini, Titiek Soeharto menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra dan anggota DPR dari Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta, sementara Prabowo memimpin Partai Gerindra sekaligus menjabat Presiden Republik Indonesia.

Sepuluh Tokoh Dapat Gelar Pahlawan Nasional

Selain Soeharto, Presiden Prabowo juga menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sembilan tokoh lainnya. Mereka adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Marsinah, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Hajjah Rahmah El Yunusiyyah, Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, Sultan Muhammad Salahuddin, Tuan Rondahaim Saragih, Syaikhona Muhammad Kholil, dan Zainal Abidin Syah.

Penganugerahan dilakukan di Istana Negara dengan tema “Menghargai Jasa, Meneguhkan Semangat Kebangsaan”.

Fadli Zon: Soeharto Tidak Terbukti Korupsi dan Pelanggaran HAM

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan, penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional telah melalui proses panjang dan penilaian mendalam dari Tim Gelar Pahlawan Nasional.

“Semua proses seleksi dilakukan dengan ketat dan transparan. Tidak ada temuan hukum yang membuktikan Soeharto bersalah atas tuduhan korupsi maupun pelanggaran HAM berat,” ujar Fadli Zon.

Ia menambahkan, tuduhan-tuduhan yang pernah muncul pada awal reformasi telah dinyatakan tidak terbukti secara hukum. Fadli menyebut, sejarah harus dilihat secara utuh — tidak hanya dari sisi politik, tetapi juga dari capaian pembangunan dan pengabdian.

ICW dan PVRI: Kematian Reformasi dan Skandal Politik

Namun, keputusan tersebut menuai kritik keras dari berbagai kalangan masyarakat sipil. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto adalah “simbol kematian reformasi” yang diperjuangkan oleh rakyat Indonesia pada 1998.

“Keputusan ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi. Soeharto adalah simbol dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang justru ingin dihapus oleh gerakan reformasi,” tegas ICW dalam pernyataannya.

Senada, lembaga Public Virtue Research Institute (PVRI) menyebut keputusan Presiden Prabowo sebagai “skandal politik terbesar di era reformasi”. Mereka menilai, langkah tersebut akan menurunkan kepercayaan publik terhadap nilai-nilai keadilan dan demokrasi.

Kontroversi yang Tak Pernah Usai

Soeharto memang meninggalkan jejak sejarah yang kompleks. Bagi sebagian rakyat, ia adalah sosok yang membawa stabilitas, pembangunan, dan kemandirian ekonomi. Namun bagi kelompok lain, ia adalah simbol otoritarianisme dan pelanggaran hak asasi manusia.

Kini, setelah 27 tahun lengser dari kekuasaan, namanya kembali mengisi ruang publik — bukan sebagai penguasa, melainkan sebagai Pahlawan Nasional.

Apakah ini rekonsiliasi sejarah atau kemunduran nilai reformasi?
Hanya waktu dan generasi penerus yang akan menilai.

Penulis: Tim Redaksi
Editor: MudaNews.com

Berita Terkini