Mudanews.com, Jakarta — Usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, menuai penolakan luas dari kalangan tokoh agama dan intelektual. Mereka menilai Soeharto tidak layak menerima gelar tersebut karena jejak pelanggaran hak asasi manusia (HAM), praktik korupsi, dan tindakan represif selama rezim Orde Baru yang masih meninggalkan luka sejarah bangsa.
Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus menjadi salah satu suara paling lantang menolak usulan tersebut. Kiai sepuh yang dihormati kalangan santri itu menegaskan, rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto banyak menindas ulama, santri, dan warga Nahdlatul Ulama (NU).
“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional. Banyak kiai dipersekusi, ada yang dibunuh, papan nama NU tidak boleh dipasang, dan yang memasang pun sering diperlakukan kasar,” tegas Gus Mus seperti dikutip dari NU Online, Jumat (8/11/2025).
Menurutnya, warga NU yang mendukung Soeharto sebagai pahlawan adalah mereka yang “tidak memahami sejarah penderitaan umat Islam dan kaum santri di masa Orde Baru.”
“Kalau ada orang NU yang mendukung, berarti tidak ngerti sejarah,” ujarnya.
Penolakan serupa disampaikan Franz Magnis Suseno, Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Romo Magnis menilai, rekam jejak Soeharto tidak bisa dilepaskan dari pelanggaran HAM berat dan korupsi sistemik yang terjadi selama 32 tahun kekuasaannya.
“Soeharto bertanggung jawab atas salah satu dari lima genosida terbesar di abad ke-20. Ia tidak pantas disebut pahlawan,” ujar Romo Magnis dikutip dari Suara.com.
Ia menambahkan, pembangunan ekonomi tidak dapat dijadikan alasan untuk menutupi kejahatan kemanusiaan yang terjadi di masa Orde Baru.
“Pembangunan tidak bisa menebus darah manusia yang tumpah,” katanya.
Dari kalangan Muhammadiyah, penolakan juga datang dari Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia yang juga pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah. Menurutnya, Soeharto tidak memenuhi kriteria moral dan hukum sebagai pahlawan bangsa.
“Sulit menyebut Soeharto sebagai pahlawan ketika hingga akhir hayatnya masih berstatus terdakwa dalam kasus korupsi,” ujar Usman dikutip dari Jawa Pos.
Ia menilai, pemberian gelar tersebut akan mencederai semangat reformasi dan melukai hati korban pelanggaran HAM.
“Ini bukan soal dendam masa lalu, tapi soal keadilan yang belum tuntas,” tegasnya.
Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari akademisi, aktivis HAM, dan organisasi mahasiswa juga menyuarakan keberatan. Mereka menilai usulan tersebut berpotensi menjadi bentuk pemutihan sejarah terhadap pelanggaran HAM masa lalu dan pengkhianatan terhadap nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan pasca reformasi.
Sementara itu, sebagian kalangan yang mendukung — seperti anggota DPR Fadli Zon — beralasan bahwa Soeharto berjasa besar dalam menjaga stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi. Namun pandangan tersebut dinilai mengabaikan fakta bahwa rezim Orde Baru juga meninggalkan warisan otoritarianisme dan korupsi yang mengakar.
Polemik ini menjadi ujian bagi pemerintah dalam menempatkan keseimbangan antara penghargaan terhadap jasa pembangunan dan tanggung jawab moral terhadap sejarah.
“Pahlawan sejati adalah mereka yang berjuang tanpa menindas rakyatnya,” tutup Gus Mus.**(Red)

