Mudanews.com Bandar Lampung | Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melanjutkan program Desa Siap Siaga Nasional di Kelurahan Panjang Utara, Kecamatan Panjang, Bandar Lampung, pada Rabu (25/9/2025).
Dalam acara yang bertujuan mencegah paham radikalisme ini, pendiri NII Crisis Center, Ken Setiawan, menyampaikan pesan penting: bahaya fanatisme dan taklid buta dalam beragama.
Belajar Agama dengan Guru yang Salah, Pintu Gerbang Radikalisme
Menurut Ken, faktor utama seseorang terpapar paham intoleransi, radikalisme, dan terorisme adalah belajar agama dengan guru yang salah.
Hal ini bisa memicu fanatisme dan taklid buta, yang menjadi pintu masuk awal bagi penyebaran doktrin sesat.
Ken menekankan pentingnya menggunakan akal dan pengetahuan dalam memahami agama, bukan sekadar mengikuti orang lain tanpa dasar yang kuat. “Rata-rata orang yang terpapar intoleransi, radikalisme, dan terorisme adalah orang-orang yang memiliki semangat belajar agama tinggi, tetapi minim ilmu,” tegas Ken.
Ia mendefinisikan fanatisme sebagai sikap berlebihan dalam membela seseorang atau kelompok, sementara taklid buta adalah mengikuti orang lain tanpa menggunakan akal sehat.
”Kitab suci tidak salah, tapi tidak semua orang yang membawa kitab suci dan menafsirkannya pasti benar,” bebernya.
Pemahaman Agama yang Sempit dan Dampaknya
Ken juga mengkritisi pemahaman agama yang sering dipersempit menjadi sekadar hukum halal-haram atau ritual saja, mengesampingkan aspek sosial, moral, dan kasih sayang yang menjadi pondasi utama.
Ia mencontohkan, banyak ceramah yang lebih sering menekankan “siapa kafir, siapa masuk neraka” ketimbang menceritakan kisah-kisah persaudaraan lintas agama yang dicontohkan Nabi Muhammad, seperti perjanjian Najran atau Piagam Madinah.
Akibatnya, umat hanya mengenal Islam dalam versi hitam-putih, bukan sebagai agama yang damai dan penuh diplomasi. Pemahaman yang sempit ini, menurut Ken, menyebabkan umat Islam yang mayoritas di Indonesia tidak mampu mengayomi, bahkan masih sering terjadi penolakan pembangunan rumah ibadah atau pelarangan kegiatan keagamaan.
Tragedi Kemanusiaan atas Nama Agama
Ken menyebut, banyak laporan masuk ke NII Crisis Center dari orang tua korban radikalisme yang menyebut fenomena ini sebagai “tragedi kemanusiaan atas nama agama”.
Korban tidak hanya mengalami kehancuran ekonomi akibat doktrin infak berlebihan, tetapi juga hancur secara akhlak dan akidah. Mereka diajarkan untuk mengkafirkan orang lain, bahkan orang tua sendiri.
”Dampak psikologi orang yang terpapar paham radikalisme lebih parah dari narkoba, sebab dia merasa paling benar, paling beriman, dan dia tidak akan berubah sebelum ada ideologi baru sebagai perbandingan diskusi,” jelasnya.
Di akhir acara, Ken Setiawan membagikan buku dan e-book gratis berjudul “Tuhan Kita Sama”, sebagai upaya untuk mempromosikan kerukunan antar umat beragama.
”Silakan di-share sebanyak-banyaknya agar dibaca banyak orang, supaya kita dapat hidup rukun, aman, dan damai walaupun latar belakang kita berbeda-beda,” tutupnya.**(Red)
Ken Setiawan Imbau Umat Jangan Fanatik dan Taklid Buta dalam Beragama
