Dari BUMN ke Menpora, Peta Politik Menuju 2029 dan Pertaruhan Ekonomi Rakya

Breaking News
- Advertisement -

 

_Oleh: Agusto Sulistio – Pegiat Sosme, aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo)._

Mudanews.com OPINI | Pergeseran Erick Thohir dari kursi empuk Menteri BUMN ke jabatan baru Menteri Pemuda dan Olahraga 2025–2029 tidak bisa dibaca sekadar rotasi teknis biasa. Ini adalah isyarat politik. Sebagian publik menilai langkah Presiden Prabowo Subianto merupakan cara untuk meminimalisir pengaruh Erick yang dikenal sebagai orang dekat Jokowi. Tafsir ini tidak sepenuhnya salah. Tetapi jangan lupa, justru jabatan Menpora menyimpan peluang politik yang jauh lebih besar, ia bisa menjadi pintu masuk Erick untuk menghimpun kekuatan generasi muda, milenial, dan Gen Z, lewat jalur olahraga dan fanatisme supporter yang massif di sebanyak cabang olah raga.

Pertanyaan besarnya apakah Presiden Prabowo tidak sadar bahwa Erick bisa menjadikan jabatan barunya sebagai kendaraan menuju 2029? Ataukah justru inilah bagian dari strategi Prabowo menyiapkan “penerus cadangan”?

Sebab, jika Erick berhasil mengonsolidasikan basis anak muda, ia akan menjadi pemain penting dalam percaturan politik berikutnya, entah sebagai calon presiden atau minimal calon wakil presiden.

Namun, jalan itu tentu tidak mulus. Peta politik nasional sedang dipenuhi figur-figur muda lain yang tak kalah strategis. Ada Gibran Rakabuming Raka, wapres Prabowo, yang masih membawa kekuatan ayahnya, Presiden ke-7 RI, Jokowi, ditopang pula mesin PSI yang dipimpin putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep. Kombinasi ini jelas menjadikan keluarga Jokowi tetap punya pengaruh signifikan dalam konstelasi politik nasional.

Lalu ada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang kini menjabat Menko Pembangunan Strategis. Ia mewarisi jaringan politik ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono mantan Presiden ke-6 RI, Ketua Umum Partai Demokrat, serta dukungan luas dari jaringan alumni AKABRI angkatan 2000 dan alumni SMA Taruna Nusantara, yang kini mulai tersebar di berbagai jabatan strategis kabinet Merah Putih. Ini bukan sekedar modal simbolis, melainkan modal struktural yang bisa menjadi mesin politik riil dalam jangka panjang.

Muhaimin Iskandar (Cak Imin), Ketua Umum PKB sekaligus Menko Pemberdayaan Rakyat, juga mulai menata kader-kadernya di kabinet Prabowo. Basis tradisional NU yang menjadi fondasi PKB tetap menjadi salah satu kantong politik terbesar yang tak bisa diabaikan.

Tak kalah penting, ada Puan Maharani, Ketua DPR-RI sekaligus Ketua PDIP, yang masih menjadi representasi kuat politik nasionalis lama. Di lingkaran legislatif juga muncul Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR RI sekaligus salah satu pimpinan Partai Gerindra, yang sejak awal pemerintahan Prabowo memainkan peran penting dalam menjembatani kepentingan lintas kelompok civil society.

Di luar struktur pemerintahan, muncul tokoh-tokoh yang dianggap representasi buruh pekerja sekaligus menjadi simbol civil society dan aktivis gerakan yang dalam sejarah Indonesia memiliki peran penting sebagai kaum gerakan terpelajar. Jumhur Hidayat, Ketua Umum KSPSI, aktivis gerakan senior adalah salah satu contohnya. Sejak era Megawati, SBY, hingga kini, ia konsisten membela hak-hak buruh, dengan dukungan massa besar dalam berbagai aksinya dan selalu siap turun ke jalan. Di sisi lain, ada Anies Baswedan, yang tetap punya basis dukungan dari kalangan pemilih alternatif pasca-pilpres lalu. Ganjar Pranowo juga masih eksis sebagai figur PDIP, meskipun pengaruhnya kini lebih banyak bergantung pada arah sikap partai.

Kesemua figur ini baik yang muda maupun yang sudah mapan menjadi variabel penting dalam kontestasi politik ke depan. Mereka punya peluang nyata untuk ikut menentukan wajah kepemimpinan nasional 2029.

Inilah yang membuat situasi politik hari ini begitu cair. Figur-figur lama maupun baru, dengan modal dinasti, organisasi, maupun basis civil society, siap melompat di tengah arus politik digital yang semakin tak tertebak. Arus ini membawa politik Indonesia ke panggung yang penuh manuver, gesekan kepentingan, dan pro-kontra tajam. Di titik ini, Erick Thohir tidak berjalan sendirian ia justru masuk ke arena pertarungan yang dipenuhi pemain besar dengan modal politik yang sama-sama kuat.

Artinya, menjelang 2029 kita sedang memasuki babak baru politik nasional, era transisi generasi. Kaum tua mulai menepi, sementara anak-anak muda dari berbagai trah politik tampil berebut panggung. Tetapi, apakah bangsa ini cukup hanya disuguhi pilihan antara dinasti politik, figur bermodal, atau tokoh yang lihai bermain di jagat digital? Jawabannya jelastidak.

Seorang pemimpin bangsa tidak boleh hanya lahir karena faktor keturunan, kekuatan modal, atau sekadar popularitas di media sosial. Pemimpin sejati harus hadir karena kualitasnya yang teruji, pengalaman, kapasitas, karakter kepemimpinan, serta visi-misi yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Tanpa itu, Indonesia hanya akan melahirkan boneka politik: tampak kuat di luar, rapuh di dalam.

Lebih jauh lagi, siapa pun yang memimpin Indonesia pasca-2029 tidak bisa menghindar dari persoalan mendasar arah ekonomi. Selama beberapa dekade, kita hidup dalam dominasi kapitalisme neoliberal, yang membuat kekayaan negeri ini lebih banyak mengalir ke pemodal besar, bahkan dikuasai asing. Kalau hal ini terus berlanjut, siapa pun presidennya hanya akan menjadi manajer kepentingan kapitalis global, bukan pemimpin rakyat Indonesia.

Maka langkah Prabowo memperkuat ekonomi rakyat mendorong kedaulatan pangan, UMKM, koperasi, hingga proteksi bagi sektor strategis adalah langkah yang harus dilanjutkan. Tetapi langkah itu masih setengah jalan. Indonesia membutuhkan perubahan sistemik ekonomi politiknya agar keluar dari belenggu neoliberal menuju ekonomi rakyat atau ekonomi sosialis, yang berpijak pada pemerataan, kedaulatan, dan keadilan sosial. Tanpa fondasi ini, mustahil mimpi “ekonomi pro-rakyat” akan terwujud.

Karena itu, transisi politik menuju 2029 bukan sekedar perebutan kursi kekuasaan antar-dinasti, antar konglomerat politik, atau antar celebrity digital. Pertaruhan yang sebenarnya adalah, apakah bangsa ini mampu melahirkan pemimpin muda yang berakar pada rakyat, dan sanggup mengubah sistem ekonomi agar benar-benar berpihak pada kepentingan nasional?

Jika jawabannya iya, maka wajah Indonesia pasca-2029 akan benar-benar berubah lebih mandiri, lebih adil, dan lebih kompetitif di panggung global. Jika tidak, maka transisi generasi hanya akan menghasilkan wajah baru dari rezim lama: muda di kulit, tetapi tua dalam orientasi, tetap tunduk pada kepentingan kapitalis asing.

Penutup.

Penempatan Erick Thohir di Menpora mungkin bisa dibaca sebagai upaya mengecilkan ruangnya, tetapi jangan salah, ini juga bisa menjadi awal panggung besar yang kelak membuatnya melompat ke 2029. Namun, siapapun figur mudanya Erick, Gibran, Kaesang, AHY, Jumhur Hidayat, Cak Imin, Anies Baswedan, atau lainnya tidak boleh dilahirkan semata karena dinasti, modal, dan popularitas digital. Pemimpin masa depan Indonesia harus lahir dari kualitas yang teruji dan berani mengubah orientasi ekonomi bangsa dari neoliberal menuju ekonomi rakyat. Tanpa itu, pergantian generasi hanyalah kosmetik belaka.***

Kalibata, Jaksel, Sabtu 20 September 2025, 12:09 Wib.

Berita Terkini