MUDANEWS.COM, Sumut – Koordinator Mahasiswa Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Sumatera Utara, Ananda Rizki Tambunan, menyampaikan sikap tegas terhadap pernyataan Kapolda Sumut, Irjen Pol Whisnu Hermawan Februanto, yang dinilai provokatif, kurang bijak, serta mencederai prinsip profesionalisme aparat penegak hukum dalam negara demokrasi.
MAKI Sumut menilai pernyataan Kapolda terkait unjuk rasa di depan kantor DPRD Sumut tersebut sangat provokatif dan berpotensi memicu ketegangan di tengah situasi yang semestinya membutuhkan ketenangan dan dialog yang konstruktif.
Aksi demonstrasi yang berlangsung di sekitar Gedung DPRD Sumut pada Selasa (26/8) adalah wujud aspirasi masyarakat dalam menyampaikan pendapat secara damai. Namun, respons aparat yang dinilai represif, serta pernyataan Kapolda yang bernada ancaman, menurut Ananda, justru memperburuk suasana dan menimbulkan kekhawatiran terkait keberlangsungan ruang demokrasi di Sumatera Utara.
Dalam keterangannya kepada media, Ananda menilai bahwa Irjen Whisnu tidak lagi layak memimpin institusi kepolisian di Sumatera Utara karena sikap dan ucapannya berpotensi merusak hubungan antara aparat dengan masyarakat sipil.
“Pernyataan beliau soal aksi ‘anarkis’ dan imbauan bernada ancaman seperti ‘jangan coba-coba ganggu keamanan’ bukan hanya tidak mencerminkan sikap seorang pemimpin, tapi juga berbahaya. Ini adalah bentuk komunikasi yang mengarah pada intimidasi terselubung terhadap gerakan rakyat,” tegas Ananda.
Ia menambahkan bahwa gaya kepemimpinan seperti ini bisa merusak kepercayaan publik terhadap institusi Polri, terutama saat pernyataan itu disampaikan di ruang publik yang rawan ketegangan sosial.
“Setiap kata yang diucapkan seorang Kapolda membawa beban institusional. Jika yang disampaikan justru menyudutkan masyarakat yang sedang menggunakan hak konstitusionalnya, maka hal itu adalah bentuk penyalahgunaan otoritas komunikasi publik,” jelasnya.
MAKI Sumut menilai bahwa pendekatan Irjen Whisnu dalam menangani dinamika lapangan kurang menunjukkan kepekaan sosial maupun kepemimpinan etis yang seharusnya menjadi ciri pejabat tinggi di lingkungan Polri.
“Kepemimpinan adalah soal membangun rasa aman dan kepercayaan. Namun, bagaimana mungkin masyarakat merasa aman jika justru diposisikan seolah menjadi ancaman?” ujar Ananda.
Ia juga menegaskan bahwa aparat keamanan bukanlah alat kekuasaan, melainkan pelindung warga negara. Ketika aksi demonstrasi damai diberi label “anarkis” secara sepihak dan dibalas dengan tindakan represif, menurutnya, itu bukan lagi penegakan hukum, melainkan bentuk pelemahan demokrasi.
Lebih jauh, MAKI Sumut menegaskan bahwa tuntutan pencopotan Kapolda bukan sekadar soal individu, melainkan simbol penting bahwa institusi Polri serius melakukan reformasi budaya kekuasaan yang anti-kritik dan tidak responsif terhadap hak sipil.
“Kami mendesak Kapolri untuk segera mengevaluasi dan mengganti Kapolda Sumut dengan sosok yang lebih humanis, demokratis, dan komunikatif. Jika hal ini dibiarkan, akan menjadi preseden buruk secara nasional, di mana suara rakyat dipadamkan melalui intimidasi verbal dari pejabat negara,” tutup Ananda.