Presiden untuk Bangsa Indonesia: Orasi Sri-Bintang Pamungkas dan UUD 1945

Breaking News
- Advertisement -

 

.

Mudanews.com Jakarta – Dalam orasi politik yang sarat makna, tokoh senior pergerakan, Sri-Bintang Pamungkas (SBP), 80 tahun, menyambut Dekrit Rakyat Semesta yang menyerukan kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 asli, yang digelar oleh Komunitas Guntur 49 Jakarta, 20/8/2025. Dengan penuh keyakinan dan fakta histotis ia menegaskan bahwa UUD 1945 asli merupakan konstitusi terbaik dan paling maju di dunia, karena bersifat fleksibel, mampu menyesuaikan diri dengan segala zaman tanpa harus diamandemen berulang kali.

Menurut SBP, yang perlu diperbarui bukanlah konstitusinya, melainkan undang-undang pelaksanaannya yang bisa disesuaikan oleh setiap rezim yang berkuasa. Pernyataan ini mengingatkan publik pada perdebatan panjang sejak era reformasi 1999–2002, ketika UUD 1945 mengalami empat kali amandemen. Amandemen tersebut membawa perubahan fundamental, salah satunya mengenai Pasal 6 yang memperbolehkan warga negara Indonesia keturunan asing menjadi Presiden maupun Wakil Presiden.

Pada poin inilah SBP menegaskan sikapnya. Dengan suara lantang ia himbau dengan tegas “Presiden RI adalah untuk Bangsa Indonesia Asli! Para keturunan yang ingin menjadi presiden, kembalilah ke Yaman, ke India, Arab, Pakistan, Cina atau pergi ke Amerika Serikat! Sebab, di AS tidak ada faham kebangsaan!”

Pernyataan SBP menimbulkan kontroversi bagi segelintir pihak sebagai cara berfikir nasionalisme radikal yang tidak sejalan dengan perkembangan dunia barat yang menjalar dalam pluralisme Indonesia kekinian, sebuah bangsa yang sejak awal berdiri dibangun atas keberagaman etnis, agama, dan budaya. Bagi kebanyakan pemikir pejuang yang menghargai, menghormati nilai perjuangan merebut kemerdekaan SBY diyakini tengah membangkitkan kembali semangat asli UUD 1945, yang lebih tegas dalam melindungi kedaulatan bangsa dari infiltrasi politik asing.

Dalam pidatonya, SBP yang terlihat berdiri diantara para aktivis gerakan senior seperti Amir Hamzah, Ketum DPP WIB: Siti Fatimah, menekankan bahwa warga keturunan telah hidup dengan nyaman di Indonesia. Ia menilai, mereka sudah mendapat ruang luas dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Namun, garis batas tetap harus ada.

“Warga negara keturunan asing boleh jadi apa saja, asal jangan merampok atau berkhianat.” tegasnya dan menjadi Presiden atau Wakil Presiden”, tegasnya di Kantor DPP Perkumpulan Waktu Indonesia Bergerak (DPP WIB) Jakarta.

Sejarah Indonesia sendiri mencatat bahwa perdebatan mengenai siapa yang berhak menjadi Presiden RI sudah ada sejak awal kemerdekaan. BPUPKI dan PPKI pernah mendiskusikan syarat “orang Indonesia asli” dalam konstitusi, sebuah klausul yang kemudian dihapus dalam amandemen reformasi. Penghapusan itu didasari oleh perkembangan demokrasi barat yang mengedapankan pluralisme modern yang jauh dari semangat nasionalisme dan cita-cita pendiri bangsa. Namun demikian dalam konstitusi dan kehidupan sehari-hari kesetaraan warga negara, serta realitas bahwa Indonesia adalah bangsa majemuk tetap tumbuh dari percampuran etnis. Meski kemudian terjadi praktek menyimpang antara penyelanggara negara dengan para oligarkuli yang kemudian melahirkan ekomomi liberal yang semakin membuat rakyat hidup susah dan miskin.

Argumen SBP adalah realitas untuk menjadi cermin kekhawatiran bangsa negara RI yang mana secara nyata keterbukaan tersebut dimanfaatkan untuk menciptakan dominasi politik oleh kelompok tertentu yang dianggap tidak memiliki ikatan historis dengan perjuangan kemerdekaan.

Secara konstitusional versi UUD 1945 amandemen, semua warga negara Indonesia berhak menjadi Presiden, tanpa diskriminasi asal-usul. Hal ini sejalan dengan prinsip demokrasi barat modern, egalitarianisme dan non-diskriminasi yang tertuang dalam hukum internasional, termasuk International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi pada 2005.

Namun, dari sisi politik identitas, suara SBP mencerminkan keresahan yang masih hidup dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara luas, bahwa kepemimpinan nasional sebaiknya tetap mencerminkan jati diri bangsa pribumi. Hal ini menjadi kewajiban pemerintah yang mana benturan klasik antara nasionalisme sejati dengan nasionalisme plural tidak terjadi berulang.

Orasi Sri Bintang Pamungkas mengingatkan kita semua sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat bahwa UUD 1945 asli mutlak, sehingga tak perlu membuang waktu membuka kembali ruang perdebatan lama tentang siapa yang berhak memimpin Indonesia. Apakah kepemimpinan nasional harus dibatasi hanya untuk “bangsa asli”, ataukah terbuka bagi seluruh warga negara tanpa memandang asal-usul.

Sumber: Pidato SBP dalam Dekrit Rakyat Semesta kembali ke Pancasila dan UUD 1945 asli.

Penulis/Editor: Agusto Sulistio.

Berita Terkini