Dekrit Rakyat Semesta: Muslimin Nasution, Dari Bandung 1966 ke Jakarta 2025

Breaking News
- Advertisement -

 

 

Mudanews.com Jakarta – Usianya memang telah mencapai 90 tahun, tetapi suara Ir. Muslimin Nasution masih menyimpan tenaga sejarah. Dalam sebuah zoom meeting (20/8/2025) yang disiarkan dari kediamannya di Komplek Bulog, Jakarta, ia menegaskan dukungannya terhadap acara yang digagas Komunitas Guntur 49 (Sri Bintang Pamungkas, Amir Hamzah, dll) “Dekrit Rakyat Semesta Indonesia: Kembali Berlakunya Pancasila dan UUD 1945 Asli.” Dengan lantang ia mengulang seruan “Never Give-Up! Never Give-Up!” semboyan yang bukan sekadar kalimat motivasi, melainkan kristalisasi dari perjalanan panjang perjuangan mahasiswa, rakyat, dan intelektual dalam menjaga arah republik.

Muslimin Nasution yang juga senior Sri Bintang Pamungkas (SBP) adalah salah satu motor penggerak mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mendorong terbentuknya gelombang protes mahasiswa Bandung Raya pada era tahun 1966–1967. Saat itu, para mahasiswa mendesak Presiden Soekarno bertanggung jawab atas tragedi G30S/PKI 1965. Gerakan mahasiswa ini berperan penting dalam menekan rezim hingga lahirlah transisi kekuasaan menuju era Orde Baru.

Namun, sejarah mencatat bahwa kemenangan moral mahasiswa 1966 tidak serta merta menjamin tercapainya demokrasi. Sebaliknya, Orde Baru justru memanipulasi semangat mahasiswa untuk melanggengkan kekuasaan otoriter selama lebih dari tiga dekade. Di titik inilah terlihat paradoks politik Indonesia, semangat konstitusionalisme seringkali digunakan sebagai legitimasi, bukan sebagai kompas moral.

Hampir enam dekade berlalu, Muslimin kini kembali bersuara. Bedanya, sasaran kritiknya bukan lagi seorang tokoh, melainkan sistem yang dinilainya menyimpang. Amandemen UUD 1945 yang dilakukan empat kali pada periode 1999–2002 memang dimaksudkan untuk memperkuat demokrasi pasca-Orde Baru. Namun, banyak pengamat hukum tata negara menilai perubahan itu menimbulkan masalah baru, diantaranya terjadi pergeseran kedaulatan rakyat, dari semangat musyawarah menjadi dominasi partai politik di parlemen. Kemudian munculnya fragmentasi sistem politik yang membuka ruang oligarki, menguatkan partai besar, dan melemahkan representasi rakyat. Serta adanya sistem Presidensialisme semu, di mana presiden secara konstitusional kuat, tetapi secara politik terikat pada kompromi partai.

Dalam situasi inilah, seruan Muslimin untuk kembali ke UUD 1945 asli memperoleh relevansi. Baginya, konstitusi asli bukan soal dokumen hukum, melainkan titik awal yang menyatukan bangsa, di mana Pancasila dijadikan dasar filosofis, dan kedaulatan rakyat tetap dipegang dalam bentuk paling sederhana.

Jika dibandingkan, peran Muslimin pada 1966 dan 2025 memiliki benang merah perlawanan moral terhadap penyimpangan kekuasaan. Pada tahun 1966, penyimpangan itu berupa dominasi politik Soekarno yang dianggap gagal menjaga stabilitas pasca-G30S. Di era sekarang tahun 2025, penyimpangan itu berupa oligarki politik-ekonomi yang merusak cita-cita reformasi. Namun terdapat perbedaan penting. Pada 1966, targetnya adalah seorang pemimpin karismatis dengan kekuasaan terpusat. Sedangkan pada 2025, target kritiknya adalah struktur hukum dan politik yang telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga melahirkan “cacat bawaan” dalam sistem ketatanegaraan. Artinya, perjuangan Muslimin Nasution kini lebih bersifat sistemik-konstitusional, bukan sekadar pergantian rezim.

Dari sisi hukum tata negara, wacana “kembali ke UUD 1945 asli” tentu tidak bisa dipahami secara hitam-putih. Banyak kalangan menilai bahwa UUD 1945 sebelum amandemen menyimpan kelemahan serius, seperti dominasi eksekutif dan absennya mekanisme check and balance. Namun, kritik Muslimin membuka ruang diskusi penting tentang bagaimana memperbaiki konstitusi agar tetap menjaga semangat kedaulatan rakyat, tanpa jatuh pada jebakan otoritarianisme masa lalu maupun oligarki masa kini.

Seruannya “Never Give-Up!” Muslimin Nasution dalam zoom meeting itu dapat dimaknai bukan hanya sebagai pesan politik, tetapi juga warisan moral lintas generasi. Pada 1966, ia dan mahasiswa Bandung berdiri sebagai suara kebenaran di tengah krisis. Pada 2025, ia kembali menjadi pengingat bahwa cita-cita Indonesia adil dan makmur tidak boleh dikhianati oleh permainan elite. Dengan demikian, suara tokoh gerakan mahasiswa senior Muslimin Nasution diusia senjanya 90 tahun bukanlah nostalgia masa lalu, tapi dapat diyakini sebagai alarm sejarah, bahwa bangsa ini harus berani menata ulang konstitusi dan sistem politiknya jika ingin tetap setia pada Pancasila dan cita-cita Proklamasi 1945.

Sumber: Dekrit Rakyat Semesta Indonesia: Kembali Berlakunya Pancasila dan UUD 1945 Asli, Jakarta 20 Agustus 2025, Sri Bintang Pamungkas.

Penulis/editor: Agusto Sulistio

Berita Terkini