Mudanews.com Jakarta – R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, percaya bahwa bangsa besar tidak dibentuk oleh banyaknya panggung, melainkan oleh keberanian menjaga keseimbangan saat panggung mulai retak. Dan dalam narasi Agustus, bulan ketika para pemimpin sejati diuji oleh sejarah, bukan oleh sorak sorai, muncul satu tokoh yang layak dicermati bukan karena kata-katanya, tapi karena ketenangannya: Sufmi Dasco Ahmad.
Penjaga Arah di Tengah Sorotan yang Tak Selalu Ramai
Sufmi Dasco Ahmad bukan politisi panggung. Ia bukan tipe yang berdebat di televisi demi menciptakan kutipan viral. Namun publik yang memperhatikan, tahu bahwa setiap langkah Dasco bukan sembarang langkah. Ia adalah pengarah di saat banyak yang berebut jadi pelari. Dalam situasi politik yang penuh hiruk-pikuk, Dasco hadir sebagai jembatan antara pusat kekuasaan dan stabilitas konstitusional.
Pertemuan terbarunya dengan Megawati Soekarnoputri menjadi momen simbolis yang tidak bisa diremehkan. Datang sebagai utusan resmi Presiden Prabowo Subianto, Dasco menyampaikan pesan perdamaian, penghormatan, dan kesinambungan. Ini bukan sekadar ucapan selamat atas Kongres PDIP ke-6. Ini adalah cara elegan mengulurkan tangan kepada masa lalu agar tidak membebani masa depan.
Dasco tidak sedang membangun panggung, tetapi menyambung jalan. Dan dalam politik Indonesia yang sering kali keras, sosok seperti ini justru paling dibutuhkan. Haidar Alwi menyebut Dasco sebagai “penjaga arah” yang bekerja di balik layar, tapi menentukan arah panggung republik.
Agustus dan Filosofi Pemimpin yang Tak Butuh Sorakan
Bulan Agustus selalu menjadi waktu yang sarat makna. Di bulan inilah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, bukan dengan pesta, tetapi dengan tekad. Filosofi itu masih berlaku hingga hari ini. Haidar Alwi menekankan bahwa Agustus bukan sekadar peringatan upacara dan bendera. Ini adalah waktu untuk mengingat siapa saja yang menjaga bangsa ini tetap berjalan, meski tanpa tepuk tangan.
Sufmi Dasco Ahmad berada di spektrum itu. Ia tidak tampil untuk popularitas. Ia hadir untuk meredam gejolak, mengelola transisi, dan memastikan bahwa hubungan antar elite tidak terputus di tengah perbedaan. Dalam situasi pasca-putusan Mahkamah Konstitusi, dalam isu amnesti Hasto Kristiyanto, atau dalam dinamika pemilu ke depan, Dasco mengambil posisi sebagai penyeimbang.
Haidar Alwi menyebut bahwa inilah politik Agustus: politik tenang yang bersumber dari kematangan, bukan dari keramaian. Dan hanya sedikit orang yang mampu berada di posisi seperti itu tanpa kehilangan jati diri.
Apresiasi Tanpa Seremonial, Pengakuan dari Realitas
Haidar Alwi menegaskan bahwa pengakuan terhadap Sufmi Dasco Ahmad lahir dari pembacaan objektif atas situasi politik hari ini. Bukan dari rasa kagum yang dilebih-lebihkan, tapi dari fakta yang tak bisa disangkal: bahwa dalam banyak situasi sulit, Dasco hadir bukan untuk menambah panas, melainkan untuk menurunkan suhu.
“Kita terlalu sering memberi sorotan kepada yang paling gaduh, tapi lupa pada mereka yang menjaga ruang tetap tenang. Dalam pandangan saya, peran Sufmi Dasco Ahmad sebagai tokoh yang lebih memilih bekerja dalam diam perlu dicatat sebagai salah satu pendekatan yang relevan untuk zaman ini,” ujar Haidar Alwi.
Apresiasi ini muncul karena jejak kerja yang konsisten: dari legislasi yang krusial, pengawalan kebijakan transisi kekuasaan, hingga merawat komunikasi antara kekuatan politik nasional. Dasco hadir bukan sebagai pengendali opini, tapi sebagai penyelaras realitas politik.
Agustus ini bukan hanya waktu mengenang perjuangan, tapi momen untuk mengenali siapa saja yang menjaga agar perjuangan itu tidak sia-sia. Haidar Alwi mengajak publik mencatat nama-nama yang bekerja menjaga republik dengan tenang, bukan mereka yang hanya hadir saat sorak sorai. “Sufmi Dasco Ahmad memberi contoh bahwa menjadi pemimpin tak selalu tentang berdiri paling depan, tapi tentang memastikan arah bangsa tidak keluar jalur,” pungkas Haidar Alwi.**(Red)