PSI, Kaesang Dan Politik Dinasti : Saat Progresivisme Hanya Menjadi Slogan

Breaking News
- Advertisement -

 

Penulis : Anton Christanto  Pemerhati dan Pengamat Politik di Boyolali

Mudanews.com OPINI- Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) 2025 di Solo telah melahirkan satu nama yang sudah diduga sejak awal: Kaesang Pangarep kembali terpilih sebagai Ketua Umum PSI periode 2025–2030. Hasil ini tidak mengejutkan siapa pun. Yang mengejutkan adalah betapa mudahnya partai yang dulu mengklaim sebagai “anak muda anti kemapanan” itu terjebak dalam pola lama yang telah lama membuat rakyat Indonesia muak: politik dinasti dan kultus personalitas.

Kita semua tahu bagaimana partai-partai besar sering kali dikuasai oleh segelintir elite dan dinasti politik. Tapi ketika PSI—yang menjual diri sebagai partai reformis, inovatif, dan pemberontak sistem—ikut melanggengkan pola yang sama, maka itu bukan hanya ironi. Itu adalah pengkhianatan terhadap cita-cita awal mereka sendiri.

1. Sistem Pemilihan Ketua Umum PSI: Demokrasi Digital atau Digitalisasi dari Oligarki?

PSI membanggakan sistem e-voting dalam kongresnya. Katanya ini bentuk demokrasi modern, efisien, dan terbuka. Tapi semua orang tahu, kalau hasil akhirnya sudah dapat ditebak sebelum pemungutan suara dilakukan, maka bukan sistemnya yang salah, tapi kemauan untuk membuat demokrasi itu sungguh-sungguh hidup yang tidak ada.

Kita tidak melihat debat ide yang terbuka antar calon. Tidak ada pertarungan visi-misi yang menyentuh akar masalah bangsa. Tidak ada adu gagasan mengenai pendidikan, reformasi hukum, atau ketimpangan ekonomi. Yang kita lihat hanyalah sebuah selebrasi semu, penuh layar LED dan jargon motivasional, tapi miskin pada substansi.

Lalu buat apa pemilihan, kalau hasilnya sudah diputuskan di belakang layar?

Kita rakyat bukan bodoh. Kita tahu ketika sebuah sistem hanya jadi formalitas.

2. Kaesang Pangarep: Terpilih Karena Kompetensi atau Karena Koneksi?

Kaesang sendiri bukan orang jahat. Tapi inilah masalahnya: ia bukan musuh rakyat, tapi simbol dari kemunduran sistem politik kita.

Ia tidak pernah menjadi anggota DPR. Tidak pernah memimpin satu pun organisasi kemasyarakatan besar. Tidak pernah berjuang dari bawah membangun struktur partai di akar rumput. Satu-satunya keunggulan yang membawanya ke pucuk kekuasaan adalah nama belakangnya: Pangarep. Anak Presiden.

Itulah yang menyakitkan bagi banyak anak muda yang selama ini berharap pada PSI. Yang berharap partai ini jadi rumah bagi mereka yang tak punya koneksi, tapi punya kompetensi. Mereka yang tidak punya jalur istimewa, tapi punya gagasan hebat.

Dengan memilih Kaesang dua kali berturut-turut sebagai Ketua Umum, PSI mengirimkan sinyal jelas ke publik: “Kalau kamu bukan siapa-siapa, jangan harap jadi pemimpin di sini.”

Apakah ini partai anak muda yang kita dambakan? Atau hanya panggung baru untuk para pewaris kekuasaan?

3. Track Record Kaesang: Dari Pisang ke Parlemen?

Kaesang mungkin sukses menjual pisang, martabak, atau kopi. Tapi rakyat Indonesia tidak sedang butuh pemimpin yang jago dagang. Kita sedang butuh pemimpin yang paham hukum tata negara, yang bisa bicara tentang krisis pangan, disrupsi teknologi, konflik geopolitik, dan tata kelola pemerintahan yang adil.

Kaesang bisa saja belajar. Tapi rakyat berhak bertanya: mengapa seorang yang belum pernah berkeringat di dunia politik, langsung duduk di kursi ketua umum partai nasional? Kenapa bukan aktivis kampus yang telah 10 tahun membela rakyat miskin di pelosok? Kenapa bukan penggerak desa yang bertahun-tahun memperjuangkan pertanian dan pendidikan anak-anak marginal?

Apa kabar meritokrasi, jika jalur cepat kekuasaan kini hanya milik mereka yang lahir dari rahim yang tepat?

4. Politik Dinasti: Virus Demokrasi yang Kini Disambut Baik

Yang paling menyakitkan dari semuanya adalah ini: politik dinasti kini dianggap wajar. Bahkan dijustifikasi.

Dulu kita marah melihat anak presiden mencalonkan diri. Dulu kita mengutuk ketika istri pejabat jadi ketua partai. Tapi kini, kita disuruh menerima anak presiden menjadi ketua partai, adik presiden menjadi calon legislatif, dan kakak ipar presiden menjadi komisaris.

Apakah ini Indonesia yang kita perjuangkan bersama pada 1998? Di mana reformasi bukan hanya soal menggulingkan Orde Baru, tapi menghentikan sistem feodal kekuasaan yang diwariskan lewat darah dan hubungan keluarga?

Ketika Kaesang terpilih kembali tanpa perlawanan berarti, itu adalah pertanda bahwa politik dinasti bukan sekadar terjadi—ia sudah menjadi budaya. Sebuah kebenaran baru yang diciptakan oleh media, diulang-ulang oleh buzzer, dan ditelan mentah oleh publik yang lelah mencari alternatif.

PSI, Dengarlah Suara Kami: Anak Muda Ingin Pemimpin yang Tangguh, Bukan yang Terlahir Istimewa

Kami bukan anti-Kaesang. Tapi kami anti sistem yang memberi jalan tol pada yang sudah kuat, dan meninggalkan yang pintar dan jujur di jalan berlubang.

Jika PSI benar ingin masuk Senayan di 2029, maka kembalilah pada nilai awal kalian: meritokrasi, keberanian, transparansi. Jangan jadi partai yang hanya berbeda di bungkus, tapi isinya sama dengan yang kita tolak selama ini.

Indonesia sedang membutuhkan pemimpin, bukan pewaris. Pejuang, bukan pewarta citra. Rakyat ingin dipimpin oleh yang paham jeritan mereka, bukan yang hanya paham algoritma media sosial.

Penutup: Kami Tidak Benci PSI—Kami Kecewa

Kaesang meminta maaf karena gagal membawa PSI ke Senayan. Tapi jangan cuma minta maaf—perbaikilah sistem yang membuat partai ini kehilangan jiwanya. Kalian bukan partai kecil. Kalian adalah partai yang pernah dipercaya oleh harapan besar. Maka jangan tukarkan harapan itu dengan kenyamanan di lingkar kekuasaan.

Kritik ini bukan bentuk kebencian. Ini bentuk cinta kami pada cita-cita Indonesia yang adil dan demokratis. Kalau kalian mau jadi besar, maka besarlah karena integritas, bukan karena koneksi.

Jika kritik ini menyakitkan, maka ingatlah: yang paling menyakitkan bukanlah kritik dari luar, tapi diamnya orang-orang yang dulu percaya dan kini mulai lelah berharap.

***

 

Berita Terkini