PSI Dan Dinasti : Transformasi Atau Konsolidasi Kekuasaan 

Breaking News
- Advertisement -

 

Penulis : Anton Christanto  Pemerhati dan Pengamat Sosial Politik di Boyolali

Mudanews.com OPINI  – Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bukan sekadar perhelatan internal partai. Ia adalah panggung megah konsolidasi kekuasaan keluarga besar Jokowi yang dibalut dengan kemasan “solidaritas” dan “progresivitas.” Momentum ini mengukuhkan apa yang selama ini hanya dibisikkan: PSI bukan lagi partai alternatif. Ia telah menjelma menjadi kendaraan politik dinasti.

1. Kehadiran Presiden dan Wakil Presiden: Restu dari Puncak Kekuasaan

Kehadiran Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bukan hanya simbol dukungan—ini adalah pernyataan terang-terangan bahwa PSI sudah menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan tertinggi negeri ini. Apakah ini bentuk demokrasi yang sehat? Atau justru penegasan bahwa politik Indonesia kini sedang direngkuh oleh segelintir keluarga dan kroninya?

2. Bayang-Bayang Jokowi yang Tak Pernah Pergi

Joko Widodo, mantan presiden yang kini lebih kuat dari sebelumnya, dijadwalkan hadir. Sosok yang seharusnya menjauh dari panggung politik setelah dua periode kekuasaan, kini justru kembali—bukan sebagai negarawan, tapi sebagai ayah dari Ketua Umum PSI. Jokowi mungkin tidak hadir secara resmi, tapi pengaruhnya begitu terasa: dari logo hingga susunan kekuasaan internal PSI. Demokrasi kita pelan-pelan berubah: dari republik rakyat menjadi republik keluarga.

3. Logo Baru: Gajah Kepala Merah — Simbol atau Topeng?

PSI mengganti bunga mawar menjadi gajah berkepala merah. Katanya simbol kekuatan dan kebijaksanaan. Tapi publik bertanya: apakah ini simbol transformasi atau sekadar kosmetik politik untuk menyembunyikan wajah lama dalam bentuk baru? Logo berubah, tapi polanya sama: loyalitas ke satu figur, satu keluarga, satu pusat kekuasaan.

4. Kaesang Pangarep: Dari Pengusaha Pisang ke Pemimpin Partai

Kaesang, tanpa pengalaman politik, tanpa rekam jejak publik yang teruji, kini nyaris pasti kembali menjabat sebagai Ketua Umum PSI. E-voting dijadikan simbol demokrasi digital, padahal seluruh proses diarahkan menuju satu nama. Kaesang bukan sekadar anak Jokowi—ia adalah lambang dari politik warisan. Politik yang seharusnya dibangun dengan ide dan gagasan, kini cukup bermodalkan nama belakang.

5. PSI: Dari Partai Gagal ke Penumpang Kekuasaan

Setelah gagal lolos ke parlemen pada Pemilu 2024, PSI tidak mundur. Mereka justru melaju dengan lebih agresif: memperkuat jaringan kekuasaan, merebut jabatan-jabatan strategis lewat kedekatan personal. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni hanyalah salah satu contoh. Apakah ini bagian dari perjuangan ideologis? Atau strategi bertahan hidup partai kecil yang memilih jalan pintas: menempel pada kekuasaan?

KAESANG & GIBRAN: DINASTI DALAM BENTUK PALING TERANG-TERANGAN

Kaesang: Legitimasi Politik Lewat Nama Bapak

Dengan wajah muda dan gaya santai, Kaesang dijual sebagai harapan baru. Tapi publik tahu, ia adalah bagian dari proyek politik Jokowi untuk memperpanjang pengaruhnya. Kaesang bukan hanya simbol regenerasi, tapi juga wajah baru dari politik yang lama: oligarki, koneksi, dan loyalitas kepada kekuasaan, bukan pada rakyat.

Gibran: Dari Solo ke Istana, Kini ke PSI

Wapres Gibran, simbol politik muda hasil rekayasa Mahkamah Konstitusi, kembali hadir di tengah keluarga besarnya. Tak cukup menjadi Wapres termuda sepanjang sejarah Indonesia, kini ia memperluas tapak dinasti ke PSI. Di balik pencitraan ‘pemimpin milenial’, Gibran adalah perpanjangan tangan dinasti yang mulai mengakar di semua lini kekuasaan.

Gajah Kepala Merah: Branding Baru, Narasi Lama

Logo baru PSI memang menarik. Tapi publik sudah terlalu sering tertipu oleh simbol. Bukan simbol yang kita butuhkan, tapi keberanian menyuarakan suara rakyat—dan sayangnya, itu tidak terlihat di PSI saat ini. Logo baru hanyalah hiasan. Esensinya? Masih sama: kekuasaan yang dipusatkan, bukan dibagi.

PSI dan Peta Politik Indonesia: Oposisi Palsu, Kekuasaan Nyata

PSI kini memainkan peran ganda: seolah-olah sebagai partai progresif, namun sejatinya berada dalam lingkaran kekuasaan yang sangat konservatif. Mereka mengklaim mewakili anak muda, tapi seluruh geraknya dikendalikan oleh hubungan darah dan kekuasaan.

Di tengah harapan akan partai baru yang benar-benar membela rakyat, PSI justru mempertebal realitas getir politik Indonesia: bahwa untuk bisa berkuasa, yang Anda butuhkan bukan integritas atau program kerja—tapi koneksi keluarga.

PENUTUP
PSI, KITA TAK BODOH

Kongres PSI 2025 telah mengukuhkan satu hal: politik kita sedang berubah, dan bukan ke arah yang lebih baik. Ketika partai-partai hanya dijadikan kendaraan politik keluarga, maka yang dikorbankan adalah demokrasi, meritokrasi, dan harapan publik.

Rakyat Indonesia tidak butuh partai yang hanya pintar bikin logo dan panggung pencitraan. Rakyat butuh keberanian melawan ketidakadilan, menyuarakan kebenaran, dan berdiri di sisi yang benar—bahkan saat itu artinya menantang kekuasaan.

PSI punya pilihan: menjadi partai sungguhan atau sekadar alat dinasti. Dan rakyat berhak tahu—serta mengingat—siapa yang memilih jadi yang mana.

Berita Terkini