Oleh: Agung Wibawanto
Pilkada Jawa Tengah paling sengit pertarungannya, dan menjadi daerah yang dianggap paling strategis untuk dikuasai. Bukan lagi DKI Jakarta, bukan Jawa Barat, Jawa Timur apalagi Banten. Mengapa demikian? Ini hal yang menarik untuk diulas. Dari sekian pilkada propinsi yang prestisius di pulau Jawa, hanya Jawa Tengah yang harus membuat turun presiden Prabowo dan mantan presiden Jokowi yang masih ikut cawe-cawe.
Secara terang-terangan Prabowo mendukung dan mengajak masyarakat untuk memilih Luthfi. Namun bagi Bawaslu hal ini dianggap tidak melanggar aturan hingga lepas dari sanksi. Luthfi bahkan menyebarkan dukungan Prabowo tersebut ke dalam chanel YouTube nya. Berharap agar seluruh pendukung Prabowo patuh untuk mendukung dan memilih dirinya? Mengapa daerah lain Prabowo tidak sibuk kampanye?
Mengapa juga Jokowi yang katanya akan menjadi rakyat biasa dan mengurusi isu lingkungan, nyatanya masih sibuk soal dukung mendukung pilkada di Jawa Tengah? Jika Jokowi sebagai warga Jawa Tengah adalah wajar, mengapa Prabowo yang warga bukan Jateng ikut-ikutan? Hal itu dilakukan Prabowo setelah sebelumnya “sowan” ke Jokowi di Solo. Telisik punya telisik, kini didapatkan jawabannya.
Mengapa Pilkada Jateng turut melibatkan Prabowo (sebagai presiden) dan Jokowi (sebagai mantan presiden)? Karena Jateng dianggap (tinggal) satu-satunya kantong PDI Perjuangan yang masih dominan. Prabowo dan Jokowi tengah melakukan babat habis kantong massa PDIP. Diketahui meski dalam pilpres PDIP mengalami kekalahan telak, namun dalam pileg masih duduk sebagai juara.
Maka pertanyaan berikutnya adalah, mengapa Prabowo dan Jokowi begitu ingin “menghabisi” massa PDIP? Apakah PDIP menolak untuk bergabung dalam pemerintahan Prabowo dan lebih memilih sebagai oposisi? Lalu apakah jika PDIP sendirian beroposisi lalu bisa menjatuhkan pemerintahan Prabowo-Gibran? Jika begitu berpikirnya, mengapa sangat takut sekali?
PDIP meski menjadi pemenang dalam pileg 2024, namun tidak lagi menjadi mayoritas dalam hitungan koalisi partai. Bukankah koalisi pendukung pemerintah sudah sangat mendominasi? Dukungan dari parlemen terhadap eksekutif sudah pasti akan dengan mudah didapatkan. PDIP yang katakan saja menentang, tidak akan bisa berbuat banyak. Lalu apa yang perlu dikhawatirkan?
Hampir di seluruh daerah pemilihan gubernur dan wakil gubernur (khususnya di Jawa), PDIP “dikeroyok” oleh koalisi pemerintah. Manuver ingin membersihkan warna “merah” di setiap wilayah dan daerah membersitkan adanya gaya sentralisasi baru. Mirip di zaman orba bahwa wilayah dan daerah harus tunduk patuh kepada Pusat, tanpa kompromi. Otonomi daerah hanya sebatas pembagian urusan.
Jika mungkin tidak ada lagi kepala daerah propinsi dan kabupaten/kota yang berasal dari PDIP karena dipastikan akan membangkang. Ini hanyalah asumsi penulis ataupun dugaan saja, karena tidak ada alasan lain yang lebih logis untuk menjelaskan fakta politik belakangan ini. Atau adakah alasan lain yang bisa menjelaskan? Dalam politik tidak ada kamus “hal wajar” ataupun “kebetulan”. Semua itu adalah by design yang sudah diperhitungkan.
Namun, sementara itu, wilayah Jateng dari hasil survey menunjukkan bahwa peluang kedua paslon masih 50-50. Baik Luthfi dan Andika masih bersaing ketat karena masih terdapat margin error’ disebabkan pemilih yang belum memilih salah satunya. Merunut cerita ke belakang beberapa Pilkada Jateng sebelumnya, suara kandidat dari PDIP memang selalu ketat. Artinya, tidak menang terlalu mutlak. Itu yang sudah terjadi.
Artinya pula apa? Pengaruh dukungan Prabowo dan Jokowi belum terlihat signifikan. Jika memang berpengaruh, maka suara untuk kandidat PDIP (Andika) akan tergerus dan anjlok. Sementara suara bagi koalisi pemerintah (Luthfi) akan menaik tajam. Namun dari hasil survey sementara menunjukkan tidak demikian. Ya memang segitu kira-kira masyarakat pemilih pendukung PDIP (dua lembaga survey meski berbeda hasil tapi belum berani menentukan).
Begitupun sesungguhnya dengan DKI Jakarta yang masih bersaing ketat antara Ridwan Kamil (KIM plus) dengan Pramono Anung (PDIP). Di Banten malah Airin Rachmi (PDIP dan Golkar) tampak mengungguli Andra Soni (KIM), mengapa tidak diback up Prabowo dan Jokowi? Karena Banten bukanlah kantong massa PDIP melainkan Golkar yang sudah tergabung dalam koalisi pemerintah. Airin sendiri merupakan kader Golkar.
Jawa Timur juga menarik untuk ditelaah. Secara hasil pileg, PDIP dan PKB menguasai perolehan kursi DPR RI. PDIP mendapat 19 sementara PKB berhasil memperoleh 18 kursi. PDIP mengusung Risma Triharini, sementara PKB mengusung kadernya sendiri Luluk. Namun dari hasil survey, pemenangnya adalah Khofifah yang didukung (KIM) dengan suara telak. Keyakinan ini mungkin yang menyebabkan Jatim tanpa perlu dukungan langsung Presiden***