Mudanews Jombang – Pilkada adalah ajang memilih pemimpin yang bertugas mengelola segala potensi daerah untuk kemaslahatan seluruh warga . Pilgub, Pilwalkot dan Pilbub adalah calon pelayan rakyat dari berbagai golongan tanpa terkecuali.
Kampanye Cagub Jakarta yang mengkampanyekan program Maghrib Wajib Mengaji bagi pelajar mendapat banyak tanggapan. Program keagamaan yang diusung Cagub DKI, Ridwan Kamil dilakukan dalam rangka mendapat simpati dari kalangan muslim, menjurus ke aras politisasi agama.
“Pilkada bertujuan untuk memilih pelayan rakyat bukan memilih pemimpin Agama yang mewajibkan warganya belajar mengaji seusai Maghrib. Calon pemimpin yang mengayomi seluruh warga seharusnya tidak menggunakan Agama sebagai kampanye menarik simpati, karena di Jakarta tidak hanya ada warga muslim saja. Program itu sudah cenderung kearah politisasi Agama, bawa-bawa Agama untuk merayu dukungan” ungkap Gus Wal selaku ketua umum ormas lintas Agama budaya dan kebhinekaan Pejuang Nusantara Indonesia Bersatu (PNIB).
Menurut Gus Wal seharusnya calon kepala daerah lebih bijak menyampaikan janji politik. Kewajiban Agama jika dibawa ke ranah Pilkada akan melahirkan simpati yang bersifat eksklusif pada golongan tertentu.
Program Maghrib Mengaji harusnya lebih bijak diganti program Quality Time Keluarga Indonesia. Tiap keluarga sehabis petang diharapkan saling berkumpul. Orang tua wajib mendampingi anak-anaknya untuk belajar, komunikasi antar anggota keluarga ataupun untuk melakukan ibadah bersama sama. Jika hanya untuk mengaji saja ya itu bukan program tapi sudah menjadi tradisi tiap keluarga. Pencatutan mengaji sebagai program untuk kemenangan adalah merupakan politisasi agama yang merusak kearifan kehidupan bermasyarakat berbangsa bernegara” imbuh Gus Wal.
Pilkada di Jakarta dan di daerah lainnya diharapkan menghindari politisasi Agama dalam rangka menjaga situasi pasca pilkada. Menurut Gus Wal jika politisasi Agama dipakai untuk mendapatkan dukungan, maka yang harus dipikirkan adalah pasca Pilkada.
“Penggunaan politisasi Agama dalam Pilkada, siapapun pemenangnya akan menghadapi situasi kerenggangang hubungan sosial setelahnya. Kemenangan kepala daerah yang dianggap karena dukungan Agama dan kelompok tertentu akan melahirkan ego sosial. Padahal pihak pendukung yang kalah juga masih tinggal di tempat yang sama dan berhak mendapatkan pelayanan yang sama pula” jelas Gus Wal.
Gus Wal dan PNIB tidak pernah bosan mengingatkan kewaspadaan semua pihak akan bahaya politisasi Agama yang jika dibiarkan melahirkan bibit intoleransi.
“Waspada kelompok anti kebhinekaan semacam Wahabi dan Khilafah menyusup dalam agenda Pilkada. Mereka licik dan penuh tipu muslihat dalam rangka menjadikan Indonesia negara Islam. Kita selalu mengingatkan, bahwa negara berdasarkan Agama akan cenderung fanatik pada keyakinannya dan pada akhirnya akan meniadakan keyakinan lain. Suriah dan Afghanistan bisa menjadi contoh negara yang gagal mengelola fanatisme Agama hidup berdampingan. Yang terjadi perang saudara menghancurkan negara dari dalam” pungkas Gus Wal