Wong Cilik yang Dikhianati ?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Rasanya ingin terbang hingga di kursi istana, parlemen, hanya dengan secarik kertas dan tanda tangan dapat menjadikan bangsa ini maju dan bermartabat, tapi diperlukan di mata dan hati itu rakyat termasuk wong cilik bukan ada kursi singgasana yang empuk disitu. Begitu banyak orang ahli di negeri ini yang dapat mengantarkan bangsa ini maju dan tidak dalam kondisi terpuruk.

Bangsa ini layak disebut hampir semua wong cilik karena bangsa ini dijajah dan manusianya miskin, penjajah saja yang tak dapat disebut wong cilik, tapi banyak dari anak bangsa ini lupa bahwa sesungguhnya kakeknya wong cilik sekalipun itu proklamator di negeri ini.

Suatu bangsa di masa penjajahan kebodohan yang menandai rakyatnya. Lalu merdeka dan berdirilah partai-partai yakni ada partai Masyumi, PNI, PKI, NU dan lainnya, pada era kemudian ada PDIP, Golkar, PKS, PPP, PAN, Nasdem, Demokrat dan lainnya. Sebagai instrumen negara bertugas pula ikut mencerdaskan bangsa.

Partai konon berisi orang-orang terdidik untuk ikut mengusir kebodohan dan kemiskinan. Karena ini salah satu misi kemerdekaan di konstitusinya agar rakyatnya cerdas, alias tidak bodoh. Tapi justru di masa kemerdekaan misi ini belum dilakukan oleh partai. Partai sibuk membesarkan dirinya dan peran ikut mencerdaskan rakyat dan mengatasi kemiskinan tak dilakukan.

Mungkinkah rakyat masih bodoh yang diharapkan? Rakyat masih miskin itu pula yang diharapkan?

Alkisah di suatu negeri konon ada anggota partai menggunakan dana haram melalui korupsi dana untuk rakyat yang terkatagori wong cilik, konon untuk kemenangan Pemilu nanti? Apalagi pasti dana itu dari hutang ke negara lain, mereka menikmati hasil hutang itu melalui prilaku korup tapi yang membayarnya nantinya juga wong cilik. Korupsi itu dari dana Bansos misalnya dana untuk kebutuhan rakyat mereka tilep tanpa ada rasa berdosa.

Ini tampaknya yang mau ditutupi melalui hasil korupsinya yang jumlahnya jumbo, alias besar ratusan milyar/triliun dengan uang itu dengan menggunakan satu lembaga survey untuk bersih-bersih, entah mungkin disusul yang lain akan menyusul pula melalui media massa, TV, koran dan buzzer berbiaya. Dilakukan pula telunjuknya ke pihak lain, seolah pihak lain yang korup dan dengan pengelolaan buruknya, satu telunjuk menunjuknya, empat telunjuk patah karena tak menunjuk dirinya, atau atas bantuan yang lain tak terasa justru menunjuk dirinya.

Partai yang rakus, ambisius hanya untuk dirinya merusak apa yang disebut dengan partai, tapi kerakusan ditutupi dengan cara yang tidak elegan, menyogok mereka yang bisa disogok dan memfitnah pihak lain, sungguh kejam dikau, politik hajar dan politik tidak pancasilais dan mengkhianati nilai-nilai demokratis.

Langkah itu, telunjuk yang salah itu, berbahaya bagi politik kebangsaan di negeri yang mengakui pancasilais, berketuhanan, berkeadilan dan berkeadaban. Perlu diingatkan lagi nilai pancasila itu sila pertama berketuhanan, sila kedua kemanusiaan dan keadilan, sila kelima ada keadilan sosial juga untuk wong cilik, ingat pancasila jangan hanya sila ketiga dan keempat, apalagi hanya di bibir saja.

Konon ada satu versi dana yang mereka korup yang jumlahnya T akan mereka gunakan untuk dana di pemilu nanti. Ada yang memperkirakan dana Bansos seluruh negeri jumlahnya di angka 100 T? angka yang pantastis. Berharap pada KPK konon sudah layu sudah sedikit berkembang dibuldozer keserakahan kekuasaan dan uang, tinggal puing-puing, tinggal menunggu kematian.

Suara para Professor sudah ada semoga masih ada mata, telinga dan hati untuk mendengarnya. Menunggu kesatria di BPIP yang hidupnya menghitung hari mereka diberi tugas dengan bayaran rakyat menjaga Pancasila suaranya pun belum terdengar, layaknya bersuara, ini soal suara ketuhanan untuk keadilan dan kemanusiaan.

Kalau benar ini dilakukan oleh anggota partai tapi partai itu tidak terganggu dan tidak menyatakan keprihatinan serta tidak menyesalkannya, lalu ingin bertanya mendirikan partai untuk apa, untuk hanya partaikah, untuk hanya pengurusnyakah, bukan untuk wong cilik dan untuk bangsa yang lebih besar?

Bila ini gambarannya, maka partai itu bukan untuk wong cilik apalagi bukan untuk bangsa. Sangat naif ya mereka puluhan tahun menjalankan partai, mereka pun dapat mendirikan rumah mewah, membeli mobil mewah dan lain-lain kemewahan. Partainya mungkin menjadi besar dan menjadi pemenang, ingin bertanya pula siapakah pendukungnya sehingga partai itu menjadi besar?

Rakyat miskin atau wong cilik tak pernah merasakan hasil pembagunan, mereka tetap di rumah yang sempit, mereka tetap sulit mencari makan, ini kondisi puluhan tahun mereka menikmatinya. Namun kondisi yang mereka hadapi tetap saja mereka buta bahwa dirinya hanyalah komoditas yang diperlukan hanya sekali dalam 5 tahun. Mereka menikmati kesenjangannya dengan kaum kaya bak langit dan bumi. Semoga ini bukan kebodohan mereka.

Tapi tak ada kata lain ini kebodohan, bila mereka tidak bangkit menyatakan tidak atas prilaku korup dana yang seharusnya mereka terima. Sebetulnya bila ini berupa kebodohan bukan saja suara mereka jadi komoditas, uang yang menjadi milik mereka dari program bantuan sosial untuk mereka yang telah dikorup M itu, yang T itu tanpa ada reaksi dari mereka.

Kini karena kebodohan yang telah mereka lihat bisa dipoles melalui lembaga survey yang hasilnya partai menjadi partai terbersih. Memang saat ini kalau percaya hasil survey atau nanti ada media massa, seperti koran, majalah, TV hanya berkata bersih akan bersih, bukankah ada dana T untuk itu. Bila benar wong cilik dikatagorikan bodoh dan kaum terpelajar dan menengah pun ikut menjadi bodoh kalau ikut percaya dengan hasil survey itu. Kalau untuk itu telah menggunakan satu lembaga survey tidak menutup kemungkinan mlalui TV, radio juga para buzzer berbayar?

Para buzzer cukup efektif selama ini untuk membentuk opini yang mereka sebut dengan suatu prestasi yang hanya dengan statemen tanpa data dan fakta.

Partai ada karena ada demokrasi. Demokrasi baru ini memunculkan buzzer yang berbayar. Apakah ini suatu paket demokrasi memunculkan survey berbayar lalu muncul pula buzzer berbayar, media massa berbayar? Membayarnya malalui APBN? Kalau benar boleh juga ditiru oleh negara demokrasi yang sudah maju seperti AS, AS harus belajar soal ini, karena ini hasil kreatifitas manusia yang cemerlang untuk menciderai rakyatnya.

Oleh : Dr. Hasbi Indra, MA
Dosen Pascasarjana UIKA Bogor

- Advertisement -

Berita Terkini