Ganjar Digembosi Akan Semakin Melambung ?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Nama Ganjar Pranowo menjadi ramai dipergunjingkan medsos karena tidak diundang dalam acara Puan Maharani memberi pengarahan kepada kader se-Jateng di kantor DPD PDIP Jateng, Sabtu (22/5). Ganjar disingkirkan? Ganjar digembosi? Ada apa? Saya melihat ada dua kemungkinan: Pertama, PDIP sebagai partainya GP memang sedang “mengingatkan” GP agar selalu menjaga “prokes” dalam berpartai. Jika memang ini kemungkinannya, maka ini lebih ke soal komunikasi politik saja. Sangat bisa diperbaiki ke depannya.

Partai sekarang (juga PDIP) lebih berpikir pragmatis dan realistis, ketimbang idealis. Jika mungkin memang pragmatis tapi tetap berdasar idealis. Yang mana yang lebih ditinggikan posisinya, sama saja. Kemungkinan kedua adalah, ini salah satu strategi politik PDIP untuk mengangkat nama GP hingga nanti unggul di 2024. Dengan gimik “menyingkirkan” GP maka diharapkan GP akan semakin banyak yang mendukung dan membelanya.

Sudah menjadi semacam tradisi di kalangan masyarakat Indonesia jika ada yang “terdzolimi” maka orang tersebut justru akan mendapat simpati dan empati. Ratingnya melejit (meski baru sebatas di linimasa medsos). Apapun kemungkinannya, bola akan kembali ke GP sendiri, sudah benar siapkah menjadi kandidat RI1? Mengapa demikian? Sudah sama diketahui bahwa dalam pilpres hampir mirip dengan pilkada bahkan juga Pilkades, bahwa yang dijual adalah figur seorang calon.

Sayang sekali di Pilpres Indonesia belum ada aturan yang membolehkan calon independen alias non partai. Untuk itu dalam pilpres juga terjadi kombinasi antara figur dan peran partai pengusungnya. Ada masyarakat yang suka kepada figur, namun akan dilihat partai mana yang mengusungnya, misalnya? Hal ini tentu akan berpengaruh kepada elektabilitas. Pada Pileg 2019 PDIP meraih 128 kursi parlemen atau 19,33% suara sah.

Itu artinya, berdasar pasal 222, UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, hanya PDIP yang berhak atau lolos mengusung capres seorang diri tanpa perlu koalisi. Hal ini karena PDIP mampu melampaui ambang batas pencalonan berdasar kursi di parlemen yakni 20% atau 115 kursi. Sementara PDIP meraih 128 kursi dari total 575 atau 22,26% kursi parlemen. Pasal 222 mengatur mengenai presidential threshold (pres-t) atau ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai untuk dapat mengajukan Capres dan Cawapres.

Angka pres-t yang ditetapkan yakni 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional dalam pemilu legislatif (pileg) sebelumnya. PDIP dapat mencalonkan kadernya sendiri tanpa harus repot melakukan lobbying kepada partai lain. Hanya tinggal “menawarkan” cawapres saja kepada partai lain untuk memperkuat peraihan suara. Hingga kini, bakal calon presiden yang akan diusung PDIP masih disimpan rapat oleh PDIP hingga saatnya nanti diumumkan oleh Ketum Megawati sebagai pemilik otoritas tunggal untuk memilih dan menunjuk.

Untuk itu, memang dalam tradisi di PDIP sangat ditekankan untuk selalu mematuhi atau tertib konstitusi maupun tradisi serta disiplin menjalankannya yakni jangan coba-coba ada kader yang ingin one man show. Yang dimaksud adalah jalan sendiri di luar koordinasi dan rekomendasi partai untuk mencalonkan diri, baik dalam pilkada maupun pilpres. Dulu saat Jokowi menjadi bacapres 2014 juga sempat terjadi gejolak di internal PDIP.

Bahkan saat itu Jokowi dan pendukungnya dianggap tidak mengetahui dan mematuhi prosedur penyaringan, penjaringan hingga ditetapkan sebagai bakal calon. Terlebih arus suara partai saat itu masih kuat mengarah kepada Ketum Megawati sebagai bacapres 2014. Tentu saja langkah pencalonan Jokowi dianggap ‘ngelunjak’ (terlebih Jokowi baru saja dan masih menjabat sebagai Gubernur DKI 2012). Jokowi sendiri sedari awal sudah menekankan tidak mikir copras-capres.

Ia mengatakan akan fokus pada pembenahan ibu kota Jakarta. Namun arus bawah tetap mendukung Jokowi bahkan semakin kuat karena ada faktor akan ditolak oleh PDIP. Hal yang sama terjadi kepada Ganjar Pranowo saat sekarang ini. PDIP belum menentukan siapa bakal calon yang akan ditetapkan sebagai capres 2024 nanti. Namun bisa jadi partai melihat gerakan Ganjar sudah lebih dari sekadar mempromosikan dirinya sebagai capres 2024, dilihat dari setiap gebrakannya terutama di dunia medsos.

Awam sendiri sebenarnya melihat Ganjar biasa saja, artinya tidak terlalu memperlihatkan ambisi sebagai capres 2024. Masih kalah jika dibandingkan dengan gerakan atau gimik yang dilakukan Anies Baswedan, misalnya. Pendukung Ganjar dan masyarakat sebenarnya yang justru gencar mempromosikannya sehingga suara Ganjar terhitung tinggi di setiap survei capres 2024. Namun sekali lagi, hendaknya Ganjar bisa belajar dari Jokowi yang terlihat lebih kalem tidak terlalu menunjukkan ambisi menjadi capres.

Ini soal komunikasi politik. Jika Ganjar siap dan butuh partainya (PDIP), maka ia harus menjadi kader yang “baik” mematuhi maunya partai. Karena saya yakin, sekali lagi, PDIP akan berpikir realistis-pragmatis (tingginya elektabilitas Ganjar) sekaligus tetap idealis (Ganjar sebagai kader terbaik). Jika pun PDIP menolak (mengingat masih ada nama Puan Maharani), dan Ganjar berani “melawan”, maka ia harus siap diusung kendaraan lain (tentu sebetulnya hal ini tidak nyaman bagi Ganjar).

Kemungkinan berikutnya, seperti sudah disebut di atas, ini adalah strategi politik PDIP justru untuk mengangkat Ganjar. Ganjar secara sengaja diposisikan terdzolimi oleh partainya sendiri. Dimulai dari tidak diundangnya Ganjar saat Puan memberi pengarahan di hadapan kader se Jateng. Lalu komentar atau kritikan keras dari Puan sendiri maupun Bambang Wuryanto sebagai Ketua DPD PDIP Jateng yang menganggap Ganjar jalan sendiri.

Tidak butuh waktu lama, dunia medsos menjadi ramai membahas Ganjar yang dibully PDIP dan mayoritas mereka justru mendukung Ganjar. Mereka berharap Ganjar bisa tetap maju meski dari partai lain. Cerita sukses seperti ini sudah kerap terjadi, contoh SBY saat diserang Taufik Kiemas dianggap sebagai jenderal tapi seperti anak TK karena cengeng. Dilanjutkan oleh puteranya, AHY, yang bak mengadu kemana-mana (tokoh partai dan ormas) karena “dikudeta” oleh Moeldoko dll.

SBY ketika itu mendapat simpati, begitu pun AHY dan Demokrat sempat naik ratingnya. Namun sekali lagi. Perang masih lama. Keunggulan Ganjar dalam survei masih perlu dibuktikan dalam dunia riil. Ya, suara di medsos tidak selalu signifikan dengan suara riil, apalagi terkait pemilu yang butuh DPT. Namun begitu, suara medsos dapat me jadi indikator prosentase kehendak rakyat pemilih. Patut diperhatikan. Terutama jika benar, suara PDIP adalah suara konstituen dan rakyat umumnya.

Oleh : Agung Wibawanto

- Advertisement -

Berita Terkini