KM 50: Polisi Saja Ragu

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Hingga kini Kepolisian masih otak atik untuk mengumumkan nama tersangka pembunuhan enam anggota Laskar FPI. Konon satu orang sudah meninggal dalam kecelakaan. Itu pun tak jelas peristiwanya. Dunia tentu mentertawakan kinerja yang sebenarnya sangat mudah akan tetapi menjadi sulit seperti ini.

Masalah sulitnya adalah karena mempertimbangkan skenario dan menyembuyikan kebenaran. Bukan menguak kebenaran atau keadilan. Lemparan awal yang ternyata tidak sesuai dengan fakta dan logika, akibatnya bisa berubah ubah. Komnas HAM yang sarat kritik juga menghadapi kemandegan tindak lanjut. Meski telah diback-up Presiden dan Menkopolhukam.

Pertanyaan paling mendasar adalah benarkah pembunuh enam anggota Laskar FPI itu adalah aparat Kepolisian atau instansi lain selain Kepolisian ? Yang dibicarakan bukan dua korban “tembak menembak” dan empat yang ditembak, sebab keenam anggota Laskar FPI mengalami luka tembak mematikan jarak dekat seluruhnya. Memilah milah keduanya adalah keliru. Komnas HAM hanya menerima keterangan sepihak dan diduga kuat ikut menyembunyikan kebenaran.

Jika Polisi sudah yakin bahwa pembunuh itu Elwira, Yusmin dan Fikri Ramdhani, maka segera umumkan dan selesai. Tangkap dan tahan. Tinggal penyidikan atas status tersangka mereka. Masalahnya adalah Pelapor awal yang mentersangkakan “korban” pembunuhan adalah justru paket lain Faisal, Fikri, dan Adi Ismanto. Pilihan ini juga menarik. Polri ragu.

Beredar viral adanya tim penguntit dan pemburu HRS dan rombongan yang ternyata bukan semata elemen Kepolisian. Ada banyak personal BIN. Diantaranya BIN Daerah. Penguntitan puluhan personal tentu didasarkan atas Surat Tugas dari atasan. Ini artinya ada kegiatan sistematik yang menjadi unsur dari pelanggaran HAM berat. Aneh Komnas HAM tidak berani mendapatkan keterangan atau informasi dari personil yang bukan institusi Kepolisian seperti ini. Fokus hanya Polri saja.

Hubungan antar instansi sebagai bagian operasi sistematik ini tergambarkan melalui cepatnya Konperensi Pers Kapolda Metro Jaya Fadil Imran bersama-sama dengan Pangdam Jaya Dudung Abdurrahman. Jika konteks pembunuhan adalah penegakkan hukum, maka cukuplah Konperensi Pers dilakukan oleh Kapolda Metro Jaya.

Kini pertanggungjawaban hukum tidak cukup selesai pada pelaku di lapangan. Akan tetapi kebijakan komando harus dibongkar. Komnas HAM menutup voice note antar petugas dengan para komandan. Fadil Imran tidak bisa berleha-leha, begitu juga dengan Dudung Andurahman. Kabareskrim belum tentu tak terlibat. Jadi kisah pelanggaran HAM berat Km 50 harus dibuka habis.

Jika hanya pelaku lapangan yang terkena target, maka persoalan masih akan terus menggantung. Ujung pertanggungjawaban pelanggaran HAM berat pembunuhan dan penyiksaan enam anggota Laskar FPI adalah Presiden Jokowi. Ini bukan semata kasus hukum, ini adalah kejahatan kemanusiaan berbentuk pembunuhan politik. Harus dipertanggungjawaban secara politik.

Km 50 tak boleh diabaikan. Km 50 adalah crimes against humanity.

Bandung, 25 April 2021

Oleh : H. M. Rizal Fadillah, SH – Pemerhati Politik dan Kebangsaan

- Advertisement -

Berita Terkini