Pemikiran Politik dan Kekerasan Bernuansa Agama

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Sejauh yang saya amati, tidak ada pemikiran keagamaan yang dengan sendirinya memicu aksi kekerasan, melainkan setelah pemikiran keagamaan itu beresonansi dengan pemikiran politik.

Pemikiran politiklah yang mengambil legitimasi pada pemikiran keagamaan, dengan maksud “merampas” para pengikut suatu ajaran keagamaan, untuk dimobilisasi menjadi suatu kekuatan politik.

Praktek seperti itu, telah berlangsung ribuan tahun dalam pentas peradaban manusia.

Bukan baru terjadi pasca kematian Nabi Muhammad SAW, dengan munculnya pemikiran teologis, lalu beresonansi menjadi perebutan kekuasaan.

Hal yang sama telah terjadi di era Mesir kuno, dari satu dinasti ke dinasti yang lain.

Terjadi pada sejarah panjang emerium Romawi. Terjadi pada silih bergantinya penguasa di era Umayyah maupun Abbasyiah. Terjadi dalam Pilpres Amerika yang diagitasi oleh Donald Trump dan seterusnya.

Inkuisisi di Eropa, oleh Katholikisme juga demikian, yang mengusir semua kaum Muslimin keluar dari wilayah itu. Atau peristiwa Holocaus yang menimpa kalangan Yahudi.

Di masa Orde Baru, isu Wahabisme, Salafisme tidak pernah muncul dalam ruang-ruang publik politik Indonesia. Isu itu baru nyaring terhembuskan setelah masa reformasi, terutama setelah PKS dan PKB hadir dalam politik di tanah air. Tapi kehadiran PKS dan PKB bukan berarti serta merta mereka yang memainkan isu sektarian itu.

Bisa jadi justru politisi berbasis partai Nasionalis yang memojokkan mereka, dengan melabeli mereka sebagai pengikut wahabisme atau salafisme, yang dibenturkan dengan ahlu sunnah waljamaah yang manjadi basis politisi PKB.

Islamophobia tentu tidak ditiupkan oleh para politisi berbasis ajaran Islam. Islamophobia untuk konteks Indonesia mestilah ditiupkan oleh politik berbasis Nasionalis-sekuler.

Sebab itu, kekerasan politik bernuansa agama, sesungguhnya bukan dipicu oleh pemikiran keagamaan. Tapi oleh pemikiran politik kekuasaan. Apapun agamanya, mazhab atau sekte keagamaannya, tidak akan diubek-ubek selama tidak ada tokoh yang mencoba menarik sekte itu ke dalam arus perebutan politik kekuasaan.

Bahkan kalangan atheis yang tidak beragama sekalipun, akan nyaman-nyaman saja di kehidupan dunia ini, asal jangan memasuki area politik perebutan kekuasaan. Namun segala macam cara akan dilakukan oleh para politisi untuk mempengaruhi massa, merebut basis kekuatan massa, dan segala macam cara itu, memiliki legitimasi teoritisnya dalam berbagai pemikiran politik.

Maka, jika ada keinginan untuk mengatasi kekerasan bernuansa agama di tengah masyarakat, yang paling pokok mesti diperbaiki adalah pemikiran politik para politisi. Pemikiran politik para politisi mestilah dibangun dalam kerangka politik demokrasi jika sistem yang ingin dimajukan adalah sistem politik demokrasi.

Dan bila hal tersebut belum maksimal dijalankan, berusahalah untuk tidak semakin memperkeruh suasana dengan menuduh pemikiran keagamaan sebagai faktor timbulnya kekerasan politik.

Oleh : Hasanuddin, MSi
Ketua Umum PB HMI 2003-2005

Penulis, Alumni Pascasarjana (S2) Universitas Indonesia (UI)

- Advertisement -

Berita Terkini