Kongres HMI, Berharap Dapat Apa?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Sedang berlangsung saat ini Kongres HMI yang ke-XXXI di Surabaya. Kongres itu di buka secara resmi oleh Presiden Republik Indonesia secara virtual, karena alasan Covid-19, yang tentu jika Presiden hadir secara langsung akan menimbulkan “kerumunan” yang tidak perlu. Dengan alasan itu pula, sehingga pelaksanaan Kongres ke-XXXI HMI itu dilaksanakan secara “sederhana” tidak semeriah pelaksanaan Kongres yang terdahulu.

Kongres itu digelar dalam suasana keprihatinan bangsa yang sedang terpuruk di sana-sini. Terpuruk karena sejumlah mega korupsi yang “mengerikan”. Mengerikan bukan hanya karena jumlah kerugian negara yang puluhan trilliun seperti yang terjadi dalam kasus Jiwasraya dan ASABRI, namun juga mengerikan karena bantuan sosial untuk kaum miskin pun dijarah, dirampok oleh menteri sosial yang semestinya lebih terdepan dalam mengatasi persoalan kaum miskin dan sejenisnya.

Keprihatinan kian mendalam tatkala gelombang badai korupsi itu menyerang, di saat para aparat penegak hukum sedang buta hukum, tuna akan rasa keadilan. Bukan saja karena memang sengaja dilemahkan oleh penguasa, namun juga lemah karena manusia-manusia yang diserahi amanah menjadi penegak keadilan nampaknya bermental kardus. Di saat seperti itu pula Artidjo Alkostar meninggal dunia. Habislah sudah sosok figur yang bisa diharapkan dalam penegakan hukum. Tidak tersisa figur sama sekali yang dapat jadi teladan.

Memprihatinkan, karena nasib para buruh tani, yang telah bersusah payah menanam padi, menambak garam, diterpa oleh harga-harga yang anjlok akibat perilaku mesum para kartel impor pangan, yang berencana mengimpor beras dan garam dalam jumlah jutaan ton, di saat mereka sedang panen. Harga sudah anjlok duluan, kendati impor belum dilakukan.

Memprihatinkan, karena pelanggaran HAM makin banyak terjadi, meskipun tidak semua jadi perhatian Komnas HAM. Lembaga negara yang rekomendasinya diperlakukan seperti sampah oleh kepolisian. Ketika mereka merekomendasikan bahwa pembunuhan atas 6 laskar pengawal Habib Rizieq, 4 diantaranya adalah pelanggaran HAM, polisi meresponnya justru dengan menetapkan keenam arwah laskar itu sebagai tersangka. Meski sudah dibatalkan, tapi kita telah tahu semua, seperti apa polisi merespons rekomendasi Komnas HAM.

Memprihatinkan, karena nampaknya pihak-pihak yang selama ini memperlakukan Jokowi yang Presiden Indonesia itu sebagai “boneka” mainan politik mereka, tengah gigih membangun wacana dan opini untuk memberi Jokowi masa jabatan yang panjang, hingga tiga periode, di saat segala lini kehidupan berbangsa bernegara dalam ukuran statistik BPS mengalami kerontokan.

Nah, Kongres HMI ke XXXI itu berlangsung dalam suasana keprihatinan nasional, pun dalam situasi dimana pandeni covid19 gagal diatasi oleh pemerintahan Jokowi.

Memang, akhir-akhir ini pemerintah nampak terpuruk dalam berbagai hal, tidak ada prestasi yang membanggakan, apalagi untuk disebut prestisius. Namun tangan-tangan oligharki kekuasaan, merambah kesana-kemari, menunjuk, dan mengoyak civil society. Parpol diobok-obok satu persatu, Ormas sebagian diangkat, sebagian diinjak-injak, bahkan dibubarkan. OKP diubek-ubek. Pemuda-pemudi diadu domba hingga pecah belah. Kita masih saksikan terdapat tiga kepengurusan KNPI. Semua itu sukses story dari tangan-tangan oligharki kekuasaan.

Di sisi lain, milenial, demikian istilah untuk anak-anak muda dewasa ini, tidak sedikit yang sukses. Milenial seperti Rakabuming, putra Presiden Jokowi tampil sukses jadi Walikota Solo. Bukan hanya karena bapaknya presiden, tapi juga karena kepandaian warga Solo dalam memilih pemimpin. Warga daerah lain, mesti mencontoh warga Solo dalam memilih pemimpin milenial. Dengan begitu, para politisi yang sudah tua, bisa tahu diri bahwa mereka sebenarnya sudah tidak dibutuhkan lagi.

HMI salah satu organisasi mahasiswa di Indonesia, organisasi mahasiswa tertua. Jangan sampai seperti para politisi tua yang sudah tidak diharapkan itu. HMI mesti jadi organisasi dengan jiwa yang milenial. Yang penuh kreatif dengan nalar kritisnya; lincah dengan kebebasannya; teguh dalam prinsip “kepemudaannya”, dan tentu saja memiliki iman yang baik kepada Allah SWT. Karena kalau tidak beriman kepada Allah, untuk apa pula aktif di HMI?

Kongres HMI ke XXXI di Surabaya, adalah pertaruhan bagi HMI, apakah benar diisi oleh peserta milenial yang berlikir independen, punya idealisme dan nalar kritis, ataukah mereka hanyalah sekumpulan mahasiswa yang “seolah” milenial, tapi prilakunya seperti politisi tua yang korup, pragmatis, tidak punya idealisme, dan hanya punya romantisme saja?

Camkanlah, dan semoga kongresnya dapat berlangsung lancar, sukses menghasilkan yang terbaik, yang diterima sebagai rahmat dari Allah Swt.

Oleh : Hasanuddin, MSi – Ketua Umum PB HMI 2003-2005

Depok, Senin 22 Maret 2021

- Advertisement -

Berita Terkini