Visi-Misi Presiden Sumber Kemerosotan Bangsa

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Salah satu sumber kemerosotan dalam praktek bernegara pasca reformasi adalah visi-misi seorang Presiden. Visi-misi adalah sekumpulan daftar harapan, keinginan dan ambisi seorang calon Presiden, diajukan saat melakukan pendaftaran sebagai calon di KPU.

Jika terpilih, maka visi-misi yang berisi daftar ambisi, harapan dan keinginan itulah yang kemudian di break dawn menjadi RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), yang kemudian menjadi kebijakan kabinet untuk satu periode pemerintahan.

Dalam khazanah kearifan, para bijak sejak dahulu kala mengigatkan agar kita mengurangi keinginan, harapan dan ambisi karena ketiganya itu didorong oleh nafsu sehingga tidak mungkin menghasilkan ketentraman dan kebahagiaan.

Pesan-pesan seperti ini bisa anda temukan misalnya dalam tradisi kearifan karya Lao Tze, Dewi Kwan Im, Zen, atau dari kalangan para sufi dan atau penyebutan lain dari mereka yang nemiliki tingkat kearifan dalam memahami kehidupan.

Keinginan, ambisi yang didorong oleh nafsu ini, tidak akan menghasilkan kedamaian dalam masyarakat, padahal kedamaian dan ketentraman dalam masyarakat itu adalah kekuatan yang sesungguhnya yang amat diperlukan dalam pembangunan.

Para arif juga mengingatkan bahwa musuh sesungguhnya bukanlah dari luar diri, melainkan dari dalam diri. Keinginan, harapan dan ambisi ini menurut para arif dikatakan akan menjadi nafsu, dan nafsu inilah yang akan menghancurkan dan melahirkan penderitaan.

Sebab itu, para arif mengingatkan agar setiap individu berupaya mengekang nafsu dan keinginan mereka agar damai tercipta di dalam dirinya, dan darinya itulah kekuatan yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan diperoleh.

Sebagaimana lazimnya bahwa kalangan arif bijaksana menimba ilmu dari hukum-hukum alam, mereka berkata bahwa “gerak alam itu lambat, tapi semuanya terselesaikan dengan baik”. Alam tidak memiliki ambisi, nafsu dan keinginan dalam melayani manusia.

Mereka hanya berjalan mengikuti kodrat penciptaannya, dalam kedamaian dan ketenangan serta kelembutannya. Dan dari kesederhanaan tindakannya itulah alam mengeluarkan buah-buahan yang melimpah, mutiara yang indah, kesejukan, pemandangan nan agung, dan selaksa kebajikan lainnya. Dalam ketiadaan ambisi dan keinginan itulah keluar kebajikan-kebajikan.

Lalu, bagaimana supaya seorang pemimpin itu tidak dikuasai ambisi, nafsu dan keinginannya? Pemimpin yang mampu mengendalikan nafsu, ambisi dan keinginannya, akan memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang dipimpinnya.

Sebab itu, ciri utama dari seorang pemimpin adalah memberi dengan kasih sayang; ciri kedua adalah memberi dengan kasih sayang; dan ciri ketiga adalah memberi dengan kasih sayang. Itulah hakikat pelayanan. Karena pemimpin itu tugasnya memang untuk melayani yang dipimpin, dan tidak sebaliknya, melayani nafsu, ambisi dan keinginannya sendiri.

Agar Presiden yang terpilih memimpin berjiwa melayani, memberi dengan kasih sayangnya, maka semua program yang akan dilaksakan bukanlah bersumber dari ambisi, keinginan dan nafsunya. Yang dilakukannya tiada lain adalah apa yang menjadi kebutuhan bagi rakyatnya.

Dan karena itu, wakil-wakil rakyatlah yang mesti merumuskan dengan saksama dan bijaksana akan apa yang menjadi kehendak mayoritas rakyat, lalu menyusunnya menjadi suatu Rencana Pembangunan Nasional Berjangka atau berkesinambungan, berdasarkan arah dari tujuan bernegara yang terdapat dalam UUD 1945.

Dan untuk tujuan inilah Presiden dipilih, dalam satu periode pemerintahan. Dengan demikian yang dilaksanakannya bukanlah ambisi, keinginan dan nafsu pribadinya. Bukan untuk melayani partainya saja, atau kelompoknya saja, apalagi hanya melayani oligharki di sekitarnya saja.

Merupakan suatu kebutuhan mendesak untuk membebaskan bangsa Indonesia dari ambisi, keinginan dan nafsu seorang presiden yang tercermin dari visi-misi yang dapat dipastikan tidak akan mampu merangkum aspirasi mayoritas masyarakat. Mengembalikan GBHN dalam tata kelola pemerintaha, sekali lagi amat penting dan merupakan kebutuhan Nasional.

Oleh : Hasanuddin, MSi
Ketua Umum PB HMI 2003-2005

Penulis, alumni Pascasarjana (S2) Universitas Indonesia (UI)

- Advertisement -

Berita Terkini