Ambivalensi Putusan Anas Urbaningrum

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Kemarin, (11-03-2021) saya baru saja bertemu dengan para pendukung AU. Kesempatan itu saya gunakan berdiskusi untuk menjelaskan opini saya terkait sikap ambivalen kader HMI terhadap almarhum Artidjo Alkostar-AU mengenai korupsi.

Dalam diskusi tersebut saya menyimpulkan bahwa para pemuja AU ini pada umumnya adalah kader-kader HMI loyalis AU yang telah lama bersama-sama dengan AU.

Mereka inilah yang secara langsung atau tidak langsung, mendukung dan menopang kepemimpinan AU, baik saat AU menjabat Ketum PB HMI maupun saat AU menjabat sebagai Ketum PD. Sehingga tidak heran sikap mereka selalu membenarkan hal apapun yang terkait dengan AU dan akan menyalahkan pihak manapun yang berseberangan sikap politik dengan AU.

Tapi baiklah, pada kesempatan ini saya tidak akan membahas hal tersebut. Tetapi saya akan coba membahas hal lain yang terkait dengan putusan MA RI yang bersifat inkracht van gewijsde (putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap) yang dijatuhkan terhadap AU baru-baru ini.

Putusan yang saya maksud adalah putusan Mahkamah Agung pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) yang dimenangkan AU. Sebagaimana diketahui Putusan PK ini akhirnya menganulir putusan tingkat Kasasi Mahkamah Agung RI (MA RI) sebelumnya yang menghukum AU dari hukuman penjara 12 tahun, berkurang menjadi 8 tahun.

Hal ini berarti bahwa putusan aquo kembali kepada (sesuai dengan) putusan judex factie pengadilan tingkat pertama incasu Pengadilan Tipikor DKI Jakarta.

Berdasarkan Putusan MAHKAMAH AGUNG Nomor 1261 K/Pid.Sus/2015 tertanggal 8 Juni 2015, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketuanya, Artidjo Alkostar dan Hakim Anggota yang terdiri dari Krisna Harahap dan Lumme, telah mengabulkan kasasi Penuntut Umum KPK, tanpa ampun telah mengganjar AU dengan pidana penjara selama 14 tahun.

Namun sebaliknya oleh MA RI dalam tingkat peradilan yang berbeda yakni pada tingkat PK, Majelis Hakim memastikan telah memutuskan mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK), terpidana mantan ketua umum DPP Partai Demokrat, AU dengan delapan poin amar putusan, yang salah satu di antaranya, berupa pidana penjara AU menjadi 8 tahun.

Yang menarik dalam putusan PK ini, meski pidana penjara AU telah dikurangi dari 14 tahun menjadi 8 tahun, akan tetapi hukuman lain berupa pidana tambahan yang sebagaimana bunyi amar ke-8 putusan yakni menghukum AU untuk membayar uang pengganti kerugian kepada negara sebanyak Rp 57.592.330.580 dan USD 5.261.070.

Dilanjutkan lagi oleh bunyi amar putusan tersebut, bahwa jika uang pengganti dimaksud tidak dibayarkan dalam waktu satu bulan setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, maka harta benda AU akan disita oleh Jaksa dan dilelang.

Dalam amar yang sama dilanjutkan lagi bahwa apabila dalam hal terdakwa AU tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka AU harus menjalani pidana penjara lagi, selama 2 tahun.

Disinilah pangkal soalnya, sebab dengan penjatuhan hukuman yang lebih ringan 4 tahun dari hukuman semula, yang mestinya AU diperkirakan akan keluar penjara pada tahun 2023 nanti. Alih-alih akan bebas, bisa jadi AU akan tetap menghuni penjara Sukamiskin sampai tahun 2025.

Itu artinya hukuman AU dengan sendirinya akan bertambah selama 2 tahun lagi, sebagai kompensasi akibat tidak dapat membayar Uang Pengganti yang berjumlah fantastis tersebut, yang kalau semuanya dikurskan sekarang ke dalam rupiah, tidak kurang berjumlah sebesar 150 milyar rupiah.

Berkaca kepada fakta, mengenai telah disitanya banyak harta AU, rasanya agak mustahil AU pada waktu akan bebas pada tahun 2023 nanti, akan dapat memenuhi kewajibannya membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 dan USD 5.261.070 atau setara dengan Rp 150 Milyar tersebut. Asumsi saya ini juga telah diperkuat dengan pernyataan para loyalis AU, yang menyebut bahwa AU tidak akan punya cukup uang untuk menebus uang pengganti tersebut.

Persoalannya, bagaimana AU bisa dihukum membayar uang pengganti sebesar/seberat itu oleh Majelis Hakim PK, padahal dalam amar putusan yang sama, telah menghukum AU dengan pidana penjara yang lebih ringan? Disinilah menurut hemat saya, ambivalensinya sikap Majelis Hakim PK terhadap AU.

Penulis, Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Badan Koordinasi (Badko) Sumatera Utara Priode 1992-1994.

Oleh : Junaidi, SH, MH – Dosen Hukum Pidana, Universitas Djuanda, Bogor

Bogor, 13 Maret 2021

- Advertisement -

Berita Terkini