Vaksin, Biomedis-Biopolitik

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Covid-19 lebih dari sekedar virus. Sungguh benar atau tidak beredar, virus bukan lagi menjadi pokok persoalan. Kita sekarang dihadapkan pada pilihan divaksin atau di denda (PP. 14/2021 Pasal 13). Bak obat mujarab vaksin menjadi satu-satunya keniscayaa tanpa tersisa lagi pertanyaan.

Siapa dan dari mana vaksin ini di buat, pengetahuan-kuasa biomedis dan kepentingan ekonomi-politik apa yang berkerja di balik pengadaan dan vaksinasi tidak penting lagi untuk dibahas. Bertanya, protes, menolak disamakan dengan sikap menghambat pencegahan penularan pandemic. Vaksin akhirnya hadir menjadi semacam obat generic yang cocok bagi semua tubuh.

Tubuh yang kritis, curiga dan menyimpan banyak pertanyaan dibuat fixed dengan representasi beberapa orang penting untuk yang pertama kali divaksin. Semacam percobaan yang lulus, dijamin aman, halal, kita di buat yakin untuk percaya saja. Sikap kritis, etis, kecurigaan dan semua pertanyaan akhirnya di reduksi sebatas pilihan konformitas.

“Saya siap divaksin” karena mengikuti arahan, agar tidak dibilang warga negara yang tidak berpartisipasi atau mengejar “status” menjadi “warga negara yang baik” menjadi semacam rasionalitas-legal formal yang pada akhirnya dipegang. Tidak ada lagi waktu untuk refleksif, melihat ke kiri, kanan, kebelakang, kita harus tetap melangkah maju, vaksin harus terus berjalan. Semakin cepat, semakin banyak yang divaksin, semakin bagus.

Atas nama Covid-19, apapun harus dilakukan, segala cara dihalalkan sekalipun melanggar hak paling asasi. Bagi yang mati atau cacat setelah di vaksin akan di beri kompensasi, yang menolak divaksin dicabut hak politknya, dikenai denda (Pasal 13 ayat 4).

Sementara pelaku yang menyebabkan kematian atau kecacatan tidak dibahas, dibebas tanggung jawabkan atau dijamin impunitas. Diam-diam kuasa biomedis-biopolitik ini yang sedang berbiak dibalik vaksinasi. Dalam keadaan yang tidak normal (state of exeception) ini, Bukan lagi mikroskop, teleskop yang dipakai untuk mendeteksi virus, begitu halanya pertimbangan individu sebagai pemilik tubuh (body as percon) dengan pengalaman kebertubuhannya (lived body), tapi mata yang memiliki otoritaslah yang memiliki kedaulatan untuk memutuskan apa yang berlaku. Siapa yang harus di divaksin, didisiplinkan atau diisolasi.

Agar semakin meyakinkan dan semena-mena kuasa beroperasi, Istilah baru “Perang Melawan Corona” dinyatakan (kontan.co.id 10 februari 2021). Suatu pengecualian yang memungkinkan pelibatan state apratus. Mendeteksi, melawan dan membasmi virus tidak lagi beda layaknya mendeteksi, melawan, membasmi penjahat, teroris atau pencuri.

Suatu perspektif yang terus direproduksi, di daur ulang sebagai cara kita berpikir, merasa, bertindak, hingga dalam batas tertentu kita merasa bersalah jika tidak mengikuti ketentuan. Setelah hantu komunis, hantu teroris, hantu virus 19 jilid 1, kini Covid-19 jilid 2 diikuti dengan vaksinasi menjadi fase baru perang abad 21 yang kekuasaan utamanya di monopoli oleh kekuatan biomedis.

Sebagai empunya tubuh, tubuh tidak lagi memiliki kuasa bahkan sekedar bertanya zat atau cairan apa yang masuk kedalam tubuh. Tubuh dengan kompleksifitas aspek dimensionalnya terlanjur dikurangi, diturunkan derajatnya sebatas tubuh anatomos-biologis.

Pengetahuan-Kuasa biomedis mereduksi tubuh dan cara kerjanya sebatas fakta, data klinik, objek ilmiah, bebas nilai. Sesuatu yang hanya dapat diketahui dan dimengerti oleh mata sang Ilmuan, tenaga medis ataupun dokter. Tubuh tidak lebih dari sekadar onggokan daging, tulang belulang yang bekerja secara mekanis. Aspek-aspek immaterial yang menubuh, tubuh yang menghidupi pengalamannya (lived body), tubuh yang menghadirkan ke”akuan” (body as person) diamputasi dalam praktek biomedis.

Kedokteran modern memusatkan perhatian pada penyakit (disease) bukan pada orang yang sakit dengan mengacu pada mitos bahwa setiap individu yang berbeda dengan penyakit yang sama memiliki gejala dan penderitaan yang sama, Erick cassell (1991).

Mitos yang hari ini kita terima dan harus percaya bahwa vaksin menjadi semacam obat generic cocok bagi semua tubuh. Pemahaman ini jelas mengamputasi pertimbangan individu dengan partikularitasnya. Sebagaimana diakui juga sendiri oleh beberapa tenaga medis, mereka yang memiliki gejala bawaan/kejadian bawaan setealah divaksin bukan karena pengaruh vaksinnya, tetapi perasaan cemas dari pesien. Ketiaadan memahami aspek immaterial tubuh ini pada akhirnya kesalahan medis ditimpakan pada pasien.

Ketiadaan pemahaman ini pada akhirnya memberi legitimate kuasa biomedis untuk menetapkan status seseorang tanpa lagi mempertimbangkan tubuh sebagai yang perseona, politis, relasional, kultural-sosial, agama. Tubuh yang kurang gizi karena banyak kerja kurang istirahat, tubuh yang kelebihan pikiran, stres akibat diisolasi, tubuh yang asketik, estetis, eksistensial tidak penting lagi dipertimbangankan.

Aspek-aspek ini sudah terlanjur diamputasi. Sesuatu yang tanpa disadari telah mengikis ketebalan dinding hati para pengambil sumpah kaum Hipocrates. Kita akhirnya di hadapkan pada pilihan di vaksin atau di denda. Pilihan yang tanpa disadari jikut mengamputasi harga diri kemanusiaan seseorang.

Diskusrus medis ini yang di maui, diniscayakan, dilegalkan. Diskurus yang berpaut dengan kuasa ekonomi politik global, geopolitik membentuk kuasa biopolitik (politik atas tubuh) dengan membajak pandemic covid 19. Bersama-sama saling berakrobatik, semacam berselancar di atas kepanikan masalah pandemic covid 19.

Biomedis mereduksi tubuh sebatas biologis-anatomis, ditangan kekuasaan tubuh biologis-anatomis diletakan makna berbahaya, ancaman, sementara pasar melihat tubuh sebagai “medium” akumulasi kapital. Tubuh yang tidak mau di vaksin adalah ancaman, harus di buat patuh.

Tubuh yang tidak patuh dianggap lebih berbahaya dari virus itu sendiri. Semakin banyak tubuh di vaksin semakin memperbesar akumulasi kapital, semakin cepat proses vaksinasi, semakin cepat juga sirkulasi kapital berputar, semakin lama umur virus dinyatakan semakin terbuka juga peluang-peluang bisnis baru.

Oleh : Suhendra Abd Kader – Mahasiswa Sosiologi UGM

- Advertisement -

Berita Terkini