Moeldoko Punya Hak Politik untuk Pimpin Partai Demokrat

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Selesai. Game over. Itulah istilah para gamers. Itu pulalah istilah paling tepat untuk Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bukan Anas Urbaningrum, bukan Antasari Azhar, tidak juga M. Nazaruddin, ternyata para kader Demokrat sendiri yang mengakhiri kiprah politik SBY, dengan Moeldoko diminta menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.

“Sepak terjang SBY sejak menjadi politikus memang terkenal ugal-ugalan. Kekuasaan baginya ditempatkan pada titik tertinggi. SBY menempatkan partai sebagai alat untuk menggenggam kekuasaan, kini kekuasaan itu serasa hilang beralih ke Moeldoko, ” kata Ninoy Karundeng yang aktif sebagai pengamat politik dan pegiat media dan media sosial di Jakarta Sabtu (6/3/2021).

SBY bereaksi keras dengan mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan Moeldoko. SBY mengaitkan dimintanya Moeldoko oleh kader Demokrat karena jabatannya sebagai Kepala Staff Kepresidenan (KSP). Tidak hanya itu, SBY juga mengungkit penyesalan yang membawa-bawa nama Allah SWT untuk urusan politik, mengangkat Jenderal Moeldoko sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI).

“Moeldoko diminta oleh kader Demokrat di KLB Deliserdang menjadi Ketua Umum Partai Demokrat sebagai warga negara yang memiliki hak politik untuk dipilih dan memilih, bukan karena jabatannya sebagai Kepala KSP,” lanjut Ninoy.

Terkait jabatan Moeldoko selama menjadi Panglima TNI, dalam catatan Ninoy Karundeng, Jenderal Moeldoko tidak pernah menyalahgunakan kekuasaan, menjadi Panglima TNI yang amanah dalam menjaga NKRI. Moeldoko mengamankan pemilu legislatif dan Pilpres 2014 bersama Polri. Moeldoko pun menjaga jabatan sampai akhir masa jabatan dengan sangat baik.

“SBY menunjukkan sifat aslinya yang kerdil dan cengeng dalam berpolitik dan minta dikasihani, dia seakan menelikung Megawati Soekarnoputri dalam perebutan kursi Presiden RI ketika menjabat sebagai Menkopolhukam,” kata Ninoy.

Serangan SBY terhadap Moeldoko yang mengungkit keputusan SBY di masa lalu tidak pada tempatnya, karena Moeldoko bukan anak buah SBY. SBY tidak berhak menentukan jalan kehidupan dan pilihan politik Moeldoko, termasuk menerima amanat memengang tampuk Ketua Umum Partai Demokrat.

“Justru pernyataan SBY yang mendeskreditkan dirinya sendiri, menunjukkan kekerdilan politik yang menjadi cirinya, dari dulu SBY memang cengeng, sebaliknya Moeldoko pun tidak mengomentari serangan SBY yang menunjukkan kematangan Ketua Umum HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) tersebut,” pungkas Ninoy.

Reaksi SBY yang langsung menyerang pribadi Moeldoko semakin menunjukkan ambisi politik SBY yang menggunakan Demokrat sebagai benteng terakhir kepentingan keluarga. Kinerja masa lalu SBY yang meninggalkan puluhan proyek mangkrak, dan penyebutan dugaan keterlibatan Ibas dalam korupsi Wisma Atlet menjadi, alasan SBY mempertahankan kekuasaan di Demokrat mati-matian.

“Pilihan kader Demokrat meminta Moeldoko sebagai Ketum Demokrat adalah upaya untuk menyelamatkan Demokrat yang semakin kehilangan arah dan elektabilitasnya semakin menurun di bawah kekuasaan Dinasti SBY. Para kader sadar Demokrat menjadi alat politik kekuasan SBY yang berpotensi ditinggalkan oleh rakyat,” pungkas Ninoy. (red)

- Advertisement -

Berita Terkini