Quo Vadis Demokrasi Indonesia, Runtuhkah Demokrasi Negeri Ini?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Demokrasi adalah konsep bernegara. Indonesia menganut konsep ini dengan berpandukan Pancasila pasal 4 yang berbunyi : Kerakyatan yang dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.

Begitulah kira-kira bunyinya. Dalam konsep kenegeraan demokrasi menjadi sistem yang masih berusaha dipegang teguh oleh negara ini. Tapi yang masih menjadi pertanyaan, benarkah Indonesia sudah menerapkan Demokrasi ? Tentu pertanyaan ini bisa kita bahas dengan panjang kali lebar. Tapi disini saya berusaha mengkombinasikan apa hasil bacaan saya dengan kondisi negeri ini.

Masih ingatkah dengan buku How Democracies Die karya Stevwn Levitsky dan Daniel Ziblat? Buku ini sempat jadi perbincangan di negeri ini. Mungkin dikarenakan krisis demokrasi maka buku ini menjadi perbincangan untuk mengisi dahaga kaum intelektual yang ingin benar-benar memahami demokrasi.

Bagi saya sendiri demokrasi di Indonesia sudah tidak ada, alias sudah mati atau hampir mati. Atau kita sebut saja mati suri. Kita tidak tahu kapan demokrasi akan bertumbuh lagi, tapi di Era Jokowi ini kiranya sulit mengharapkan demokrasi akan hidup, mengingat di masa Presiden Jokowi inilah banyak dinamika politik yang nampak dengan “telanjang” mengotori demokrasi.

Contohnya saja, Rezim Jokowi terlihat “anti” Oposisi baik secara Partai atau pun secara Social Power. Untuk Partai, rezim Jokowi berusaha merangkul dengan konsep rekonsiliasi, tinggallah PKS sendiri saat ini menjadi Oposisi. Tetapi jika kita melihat Oposisi di Era Periode kepemimpinan Jokowi terlihat sering berusaha didiskreditkan, berusaha dijatuhkan, dianggap lawan yang harus dihabisi.

Dan pada akhirnya Periode kedua seluruh Partai (Kecuali PKS) bersatu. Untuk Social Power, di periode awal Rezim ini sering memenjarakan lawan politik sebut saja Kivlan Zein, Rahmawati, Ahmad Dhani, dan lain lain. Di periode kedua ada Habib Rizieq, Gus Nur, Syahganda, Habib Bahar bin Smith dan lainnya. Semuanya menjadi tahanan Politik.

Itu secuil contoh saja. Belum lagi pembungkaman pers, penghilangan dan pembungkaman aktivis-aktivis demokrasi, matinya Hak Asasi Manusia, Korupsi meraja lela, pengendalian ruang intelektual di kampus, nepotisme di istana, serta politisasi Covid-19 untuk menjadi alasan pemenjaraan lawan politik.

Kembali pada buku How Democracies Die. Sikap “anti-demokrasi” saat ini bukan lagi dimulai dari kudeta militer ataupun pengambil alihan kepemimpinan secara paksa, tetapi sikap anti-demokrasi dimulai dari kotak suara. Pemimpin terpilihlah yang saat ini berpotensi menghancurkan demokrasi, karena dia memiliki segala alat untuk itu. Apalagi jika Pemerintahan sudah kehilangan legitimasi, maka rakyat sudah tidak percaya lagi dengan demokrasi yang dilakukan oleh Pemerintah.

Tersistemnya pengrusakan demokrasi dimulai ketika kotak suara dicurangi, terlihat berbagai dinamika saling lapor MK pada pasca pemilu juga menunjukkan bobroknya sistem demokrasi di negeri ini.

Pemimpin yang berusaha “mematikan” semangat demokrasi maka pemimpin tersebut sudah memunculkan benih-benih otoritarianisme. Ada empat indikator sikap otoriter menurut buku How Democracies Die, yaitu :

1. Penolakan (Komitmen Lemah) atas aturan main demokratis.
2. Menyangkal legitimasi lawan politik
3. Toleransi atau anjuran kekerasan
4. Kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media.

Komitmen lemah kepada demokrasi ditunjukkan pada “legalisasi” kecurangan-kecurangan pemilu, yang dianggap hal yang biasa.

Menyangkal legitimasi lawan politik ditunjukkan dengan selalu menunjuk lawan sebagai pelaku makar, anti-Pancasila, atau menunjuk lawan sebagai kriminal.

Anjuran kekerasan sudah kita lihat dengan mata telanjang bagaimana aparat sesuka hati menyiksa aktivis mahasiswa dan ulama, dan sudah kita lihat “legalisasi” pembunuhan 6 orang laskar oleh aparat yang diamini negara.

Lalu, membatasi kebebasan sipil dan media. Sudah jelas negara ini anti-kritik hingga banyak membungkam lawan politik dengan ancaman atau menjadi tahanan politik, dan media saat ini tidak memiliki kebebasan dalam independensi.

Kiranya demokrasi di Indonesia saat ini benar-benar mati. Bahkan pemilu yang dianggap manifestasi demokrasi juga sudah tidak demokratis lagi. Inilah realitas demokrasi di negeri ini sedikit banyaknya mulai menunjukkam keruntuhan dan kehancuran. Bisakah demokrasi kita hidup lagi. Entahlah..

Oleh : Januari Riki Efendi, S.Sos
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Pemikiran Politik Islam UIN-SU

- Advertisement -

Berita Terkini