Tidak Tahu Apa Agama Mereka

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Sejak menjadi reporter hingga jurnalis saya sering mendapat tugas keluar daerah dan keluar negeri. Beberapa tahun terakhir ini diajak terbang menghadiri Hari Pers Nasional (HPN) di berbagai daerah untuk memeriahkan hari jadi korps kebanggaan saya, PWI.

Saya pernah terbang 24 jam, dengan beberapa kali transit saat ke New York, Amerika Serikat – melalui Guam, Honolulu dan Los Angeles. Terbang ke Suriname melalui Amsterdam selama 14 jam dan 9 jam berikutnya menuju ke Paramaribo.

Saya mulai terbang – maksudnya naik pesawat – sejak 1984 hingga 2020 lalu. Dan akan terbang lagi jika ada kesempatan.

Namun, selama ini – menjelang dan saat terbang atau sesudahnya – tak pernah terpikirkan oleh saya, apa agama pilotnya dan co-pilotnya. Juga pramugarinya. Serta awak kabin lainnya.

Sesuai prosedur penerbangan, kapten pilot memang memperkenalkan dirinya, namanya, menjelaskan cuaca, lama penerbangan, daya jelajah pesawat, ketinggian dan kapan akan tiba di bandara tujuan. Tapi dia tak menyebut apa agamanya.

Padahal saat kita naik pesawat, nyaris seluruh nyawa penumpang kita pasrahkan pada mereka: pilot dan co-pilot itu. Dan kita sama – sama tahu bahwa kecelakaan pesawat sangat fatal dampaknya. Prosentase keselamatan dan harapan hidup para penumpangnya – juga pilot dan awak kabinnya – sangat minim.

Jika Anda menganggap cerita naik pesawat ke luar negeri sebagai “pamer” maka saya akan ceritakan juga bahwa saya sering naik bus malam yaitu saat pulang kampung. Dan sekurangnya delapan jam di jalan untuk sampai kampung halaman.

Kadang juga saya naik kereta. Baik jarak jauh atau KRL di seputar jabotabek.

Sekali lagi – untuk semua itu – saya tidak menanyakan apa agama sopirnya dan agama masinis keretanya. Bahkan nama sopir dan sang masinis pun saya tidak tahu – karena prosedur perjalanan darat tak pernah ada yang menyebut nama sopir. Mereka anonim.

Padahal kecelakaan bus dan kereta juga bisa fatal. Sangat fatal. Bila pesawat prosedur teknisnya sangat ketat maka bus jarak jauh cenderung longgar. Bukan sekali dua, kecelakaan terjadi karena sopirnya ngantuk atau ugal ugalan.

Tapi, lagi lagi, saya – nampaknya kita semua – tidak pernah menanyakan apa agama sopirnya dan apakah ada hubungan agama dengan kecelakaan fatal yang terjadi.

Saya pun pernah menjalani operasi besar di rumah sakit besar. Operasi katarak dan berlanjut dengan pengangkatan batu empedu secara berurutan. Ditangani tim dokter, selama enam jam lebih. Menjalani persiapan panjang hingga 16 hari terkapar, dengan penjelasan panjang lebar dan tanda tangan perjanjian ini-itu. Akan tetapi saya pun tak pernah kepikiran menanyakan apa agama dokter yang mengupas kelopak mata saya dan dokter bedah yang menusuk perut saya.

Operasi pengangkatan batu empedu menggunakan cara laparaskopi. Bius total, tentu saja. Untuk katarak mata bius lokal.

Hal yang diinginkan saya sampaikan adalah agama dan profesi seseorang sering tidak relevan dan tidak urgent buat ditanyakan.

Pilot, sopir, masinis dan dokter bedah sama seperti kita semua – punya integritas, reputasi dan keluarga. Bertanggungjawab pada perusahaan/maskapai. Mereka tak mau membuat kesalahan yang berakibat fatal – karena menyangkut nama baik, nasib diri, dan keluarga serta nafkahnya. Kelanjutan profesinya.

Karena itu – jika Anda menanyakan agama seseorang pastikan yang akan dibahas relevan. Ada kaitannya. Misalnya untuk kepentingan administrasi, penyediaan akomodasi atau jamuan/makanan. Atau memberi selamat hari hari besar.

Nama Dimas Supriyanto Martosuwito tidak menjelaskan agamanya. Bisa saja Islam, Kristen, Hindu, Budha, Kejawen atau tidak beragama. Tapi kalau Muhamad Supriyanto atau Ignatius Supriyanto atau I Gusti Bagus Supriyanto mungkin ada petunjuknya.

Tapi itu pun belum tentu benar.

Di luar negeri, khususnya di negara maju dan beradab, menanyakan agama, umur dan status perkawinan seseorang – pada awal perkenalan – termasuk sikap tidak sopan. Karena itu ranah privat.

Jangan tiru orang – orang bodoh di Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mencampuri hal hal yang bukan urusannya dan tidak ada kaitannya dengan agama dan bidang tugasnya. Kejauhan. Tidak tahu etika dan tata krama. Tidak berakhlak. Kebablasan.

Mempersoalkan agama calon Kapolri, seolah olah perbedaan agama yang dianutnya akan membawa kita menjadi murtad dan kemusliman kita menjadi rusak, memperlihatkan sikap buruk sangka yang malah dilarang agama.

Sangat mengherankan dari sebuah majelis tempat berorganisasi orang – orang yang berilmu (ulama = orang berilmu, pen.) dan beragama tapi tidak malu pamer kebodohan. Tidak menunjukkan akhlak mulia.

Oleh : Supriyanto Martosuwito

- Advertisement -

Berita Terkini