Orang-orang Penting dan Sok Penting

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Di tengah kita sering muncul orang yang merasa diri mereka begitu penting seolah bisa mengubah sejarah – padahal kenyataannya tidak. Bahkan tanpa mereka Indonesia justru lebih baik, lebih aman dan lebih damai.

Pemerintah baru saja merontokkan salahsatunya: Mohammad Rizieq Shihab, jagoan Petamburan – Tanah Abang, Jakarta. Mantan penjual obat berdarah campuran Yaman – Betawi ini mencoba mengobarkan “revolusi akhlak” sepulang dari tiga tahun pelariannya di Arab Saudi. Tapi gagal karena ternyata justru memamerkan perilaku yang sangat tidak berakhlak. Mulutnya kotor, perilakunya sangar – jauh dari akhlak yang diajarkan Nabi dan manusia beradab dari mana pun.

Dua nama lainnya : Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Selalu menentang apa saja yang disampaikan orang pemerintah, pejabat negara – sekadar ingin beda. Sok kritis. Karena ingin dianggap penting.

Fadli Zon kini sedang menanggung malu (sekiranya dia punya malu, pen.) dan kerepotan mem-block akun akun yang menohoknya, gara gara admin akun resminya me-like situs porno. Kali ini berhadapan dengan massa netizen yang maha kejam.

Akun resmi media sosial bisa dipegang sendiri – tapi juga dipegang admin/staf kepercayaannya. Tapi apa pun pernyataan dan tingkah lalu yang keluar darinya, jelas atas namanya.

Saya tidak yakin Fadli Zon menyukai situs porno. Libido terbesarnya nampaknya tidak di seks, melainkan di politik anti pemerintah. Pernyataan yang keluar darinya penuh kebencian dan kedengkian pada pemerintah.

Dia berbeda dengan Gatot Nurmantyo yang selain gila kuasa – dan frustrasi karena kehilangan jabatannya – ramai diberitakan punya isteri tiga. Atau Din Syamsuddin yang tak sabar menunggu sidang putusan perceraiannya sudah nikah dengan wanita lain. Atau Tifatul Sembiring yang juga kedapatan mem-follow artis porno.

Jari tangan Fadli Zon punya kecepatan cahaya yang bereaksi cepat kilat menyebarkan berita sensasional yang menyudutkan pihak lain dan tak malu ketika yang disebarkannya ternyata hoax – sebagaimana terjadi ada kasus Ratna Sarumpaet.

Fadli Zon kena “sliding” netizen karena ketahuan minta fasilitas ke KJRI New York untuk menjemput anaknya, Shafa Sabila, di bandara. Katanya anaknya tiba dibandara dinihari tapi pihak KJRI menyebut siang hari. Ujung-  ujungnya siap mengganti kerugian KJRI 100 dollar.

Saya enggan membahas Fahri Hamzah. Karena sudah tersingkir dan tak ada lagi tulangnya. Kalau dia ngomong keras tak berguna juga. Bisnis ekspor benurnya gagal. Bersilat kata dan ngoceh di media memang mudah. Apalagi kalau ada jabatannya.

Tokoh yang punya pendidikan bagus dan perilaku santun juga belum tentu berguna. Din Syamsudin, contoh aktualnya. Gila jabatan. Suaranya positif jika sedang menjabat, tapi nyinyir tatkala lagi nganggur. Mendadak merdu ketika dijadikan calon wakil presiden. Dan sumbang ketika namanya tersingkir.

Ada gelar profesor doktor di depannya. Tapi tak sepadan dengan akhlaknya. Kualitas yang sama dimiliki Said Didu dan Refly Harun. Punya gelar doktor, alumni universitas ternama, puluhan tahun makan gaji negara, bahkan pernah menjabat wakil menteri, makan duit BUMN – tapi begitu tersingkir jarinya membusuk di media sosial.

Apa yang sudah mereka berikan bagi republik kita selama ini? Tak ada! Malah kini menjadi sampah reformasi, sampah di media sosial juga. Sekadar menunjukkan bahwa di negara demokrasi orang boleh dan bebas ngomong apa saja – menuding nuding pihak pihak yang tak disenanginya. Tapi tak malu menerima penghargaan sekelas Mahaputra dari Istana Negara. Padahal jasa jasa dan buah pikirannya bagi bangsa tak ada.

Memangnya apa sih karya nyata mereka selama ini? Tanpa kehadiran mereka Indonesia baik baik saja. Bahkan Tanah air kita lebih sejuk jika tak ada mereka.

Pernyataan pernyataannya yang berbeda sekadar menyenangkan awak media yang suka jualan konflik. Media pengadu domba. Mengejar clickbait. Tanpa mereka, Indonesia justru lebih tenang.

Ada juga sosok sosok yang pernah jadi inspirasi bagi umat – tapi dalam perjalanan kehilangan kematangannya dan kini membusuk, menjadi figur antagonis, seperti Abdullah Gymnatiar (Aa Gym) dan Emha Ainun Nadjib.

KITA punya tokoh yang memiliki kontribusi positif bagi bangsa. Ada Susi Pudjiastuti yang berani melebihi jendral menjaga laut kita yang kaya raya.

Kita punya Ignasius Jonan, yang mengubah kereta yang kumuh jadi nyaman, stasiun KAI dan KRL bak bandara. Ada boarding area. Bersih dan sejuk. Tak ada pengemis dan pedagang asongan di atas kereta – tak ada lagi kaum “atapers” – yang boleh jadi anak anak sekarang tak kenal siapa mereka.

Kita punya Basuki Hadimulyono yang giat membangun infrastruktur di seantero Indonesia – nyaris tanpa gembar gembor. Bahkan sambil asyik ngeband.

Ada Sri Mulyani yang terus merawat pertumbuhan ekonomi dan meraih penghargaan dunia, membuat presiden yakin dan terus menambah untuk mengejar ketertinggalan pembangunan di berbagai bidang. Jeng Sri juga giat mengejar pengemplang pajak.

Kita punya Mahfud MD, ahli tata negara yang hapal di luar kepala segala aturan dan undang – undang bagaimana mengatur negeri.

Kita punya Ahok BTP yang menggemparkan dunia dan meninggalkan banyak warisan seperti jembatan Lingkar Semanggi yang dibangun tanpa APBD. Dan kini menongkrongi BUMN paling moncer, dengan aset Rp.700-an Triliun.

Kita punya Tri Rismaharini, Ganjar Pranowo yang giat bekerja dan komit mengurusi rakyatnya. Rajin blusukan dan menyala wong cilik.

Kita punya Irjen Pol Fadil Imran dan Mayjen TNI Dudung Durachman yang berani menggulung ormas anarkis yang puluhan tahun meresahkan bangsa. Jadi parasit negara.

NEGARA kita mengalami kemajuan pesat karena ada orang orang yang bekerja keras mengukir sejarah. Melawan kuum penyinyir yang kehilangan jabatan dan obyekan. Kaki tangan mafia.

Di atas mereka ada Presiden Jokowi yang telah menghancurkan mafia migas, membubarkan Petral, memaksa PT Freport ke meja perundingan dan memberikan mayoritas sahamnya, menguasai kembali sejumlah ladang minyak yang dikuasai asing, melawan Eropa dalam kasis ekpor sawit dan menghentikan ekpor nikel yang mereka butuhkan. Membangun pabrik sendiri.

Semuanya amat sangat beresiko! Dan hampir semua ditentang Fadli Zon Cs – sebagai wakil suara rezim masa lalu.

Penguasa sebelumnya tak berani menyentuh mereka, memilih kompromi dan malah menjadikannya sumber pundi pundi kekayaan pribadi.

Kini mereka kuncup. Belum mati. Tapi sudah tak sesangar sebelumnya. Apalagi ada yang kena sliding netizen lantaran me-like situs porno.

Oleh : Supriyanto Martosuwito

- Advertisement -

Berita Terkini