Relawan, Kursi dan Kepantasan Diri

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Pada saat Pilpres atau Pilgub, saya belum pernah merasakan jadi anggota organ relawan. Tapi karena sahabat saya banyak, saya justru sering diundang oleh berbagai relawan untuk berkegiatan. Ada yang mengajak kampanye sampai ke pelosok desa di Jawa Barat dan Banten yang panas meranggas tapi ada juga yang mengundang jadi narasumber di berbagai kegiatan di gedung dingin ber-AC. Ada juga yang mengundang untuk bakti sosial bahkan ada yang mengundang untuk edukasi pencoblosan suara. Macam ragam dan pengalaman itu sangat menyenangkan.

Lalu apa yang saya lakukan saat kampanye Pilgub, Pilpres dan lain-lain? Tidak banyak. Saya hanya menulis dan beropini. Dalam tulisan dan opini saya jelas terlihat saya berpihak kemana. Kadang kata orang tulisan dan opini saya terlalu keras, padahal menurut saya biasa-biasa saja. Jadi tidak heran saat Pilgub atau Pilpres banyak yang marah dan gundah dengan apa yang saya lakukan. Ada yang mengancam, ada yang memaki-maki ada juga yang menjadikan saya sebagai target untuk dilibas kalau jagoannya menang. Alhamdulillah, jagoannya kalah, jadi mereka yang mengancam saya yang saat ini rebah dikungkung gundah.

So, karena kontribusi saya dalam Pilpres cuma se-upil, saya bisa dianggap tidak berkeringat dan bukan apa-apa. Jadi saya merasa tidak berhak menuntut apa-apa kepada Pemerintah. Apalagi saat Pilpres 2019 usai, saat berkesempatan bertemu Presiden, saya katakan dengan jelas: “Setelah Bapak berhasil terpilih kembali menjadi Presiden, saya memutuskan berhenti mendukung Bapak. Tapi saya akan fokus mendukung dan menjaga Indonesia. Karena bagi saya, saat saya mendukung dan menjaga Indonesia, secara otomatis saya akan menjaga Presiden. Secara ex-officio, bukan secara personal,” kata saya di awal Oktober 2019. Dan beliau bersetuju dengan keputusan saya.

Nah, pada saat akhir-akhir ini banyak sahabat saya yang ribut minta jabatan komisaris atau direksi BUMN, saya bingung mau bersikap seperti apa. Saya katakan kepada mereka, saya ini triple minus. Pertama: saya bukan anggota organ relawan, jadi saya merasa tidak pantas dan berhak menuntut apapun. Kedua: saya tidak berminat jadi apa-apa, karena saya sedang sangat nyaman menjadi manusia merdeka. Ketiga: saya tidak bisa apa-apa.

Secara berkelakar saya bilang kepada mereka, kalau Presiden Jokowi menawari saya untuk mau jabatan apa, saya akan tegas menjawab: saya mau jadi RI-2 !!! Biar saya bisa membantu Presiden lebih optimal. Kalau berkhayal boleh tanpa batas, bukan?

Intinya saya tahu diri, siapa dan bagaimana saya. Jadi saat beberapa relawan mendesak Presiden Jokowi untuk melakukan reshuffle, saya tidak berani ikut-ikutan. Alasan saya karena saya merasa tidak punya kapasitas menjadi pendikte Presiden dan saya juga tidak merasa lebih pintar dibanding Presiden. Biarkan Presiden memutuskan yang terbaik untuk tim kerjanya, karena saya percaya Presiden Jokowi sendiri juga sudah gemas melihat performa kerja para menterinya yang memble. Tapi secara faktual harus diakui dalam sistem perpolitikan kita saat ini, tidak mudah bagi seorang Presiden bongkar pasang kabinetnya tanpa melibatkan kepentingan partai pendukungnya.

Biarkan Presiden memutuskan yang terbaik untuk pemerintahannya. Dan saya tetap di jalan yang saya pilih, menulis, beropini serta berbuat nyata sekecil apapun untuk negeri ini. Melalui pelestarian budaya, pembinaan UMKM dan pengembangan SDM. Hanya itu yang saya bisa lakukan untuk menjaga Indonesia, NKRI dan Pancasila. Bukan menjadi komisaris, direksi apalagi menteri (Kecuali RI-2).

Saya bukan relawan atau pamrihwan…..
Saya hanya rakyat biasa penjaga negeri yang tidak suka PKS, HTI dan FPI. Tidak lebih ?

Salam SATU Indonesia

Oleh:Rudi S Kamri
20122020

- Advertisement -

Berita Terkini