PBNU dan Muhammadiyah Tak Akan Gabung Partai Masyumi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Muhammadiyah buka suara soal pendirian Partai Masyumi oleh sejumlah nama pada Sabtu (7/11) bertepatan dengan hari ulang partai yang ke-75.

Ketua PBNU, Masudi Syuhud mengaku tak ambil pusing soal Partai Masyumi yang kembali didirikan setelah 60 tahun dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada 1960. Menurut Marsudi, mendirikan partai adalah hak warga negara yang diizinkan undang-undang.

“Ya bagi PBNU itu hak segala bangsa, segenap bangsa, siapa saja, mau mendirikan partai namanya apa saja, itu menurut UU kan diperbolehkan. Ya silakan saja,” katanya lewat sambungan telepon kepada CNNIndonesia.com, Minggu (8/11).

Meski tercatat sempat bergabung dengan partai yang didirikan oleh Mohammad Natsir Cs itu, PBNU kata Marsudi juga tak menerima ajakan untuk kembali mendirikan Masyumi Reborn. Selain itu, NU memang memutuskan untuk terlibat dalam politik praktis sejak 1984 lewat keputusan Muktamar ke-27 Situbondo.

Dia menerangkan, keputusan tersebut berdasarkan,keinginan PBNU untuk lebih fokus mengurusi sejumlah program seperti pendidikan atau program sosial lain lewat lembaga-lembaga lain di bawah PBNU.

Lebih lanjut, pihaknya juga tak berpesan apa-apa terhadap partai tersebut. Menurut dia, selama tak bertentangan dengan UU, PBNU mempersilakan Masyumi kembali berkiprah dalam politik.

“Kita nggak akan mengkritik apa-apa itu sebuah usahanya mereka beliau yang mendirikan. Silakan saja. Sebagai usaha, baik itu pribadi-pribadi atau kelompok. Atau sebuah organisasi. Dibenarkan oleh UU, ya tinggal berjuang saja,” kata dia.

Sementara itu, Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas juga menegaskan bahwa organisasinya tak bakal terlibat dengan politik praktis. Namun, pihaknya tetap menjalin hubungan dengan semua partai politik baik yang telah masuk terlibat dalam parlemen, maupun di luar parlemen.

Kendati sejumlah anggotanya aktif dalam politik, ia menegaskan bahwa hal itu bukan sikap organisasi. Ia menegaskan bahwa Muhammadiyah telah memutuskan untuk tak terlibat politik praktis sejak 1972.

“Di semua partai yang ada orang Muhammadiyah ada. Cuma pertanyaan saya adalah muhammadiyah ya tidak bagian dari partai-partai tersebut,” katanya.

“Kalau Muhammadiyah itu ikut berpolitik maka Muhammadiyah bisa pecah. Sebab, nanti warga Muhammadiyah bisa tersebar ke mana-mana bawa Muhammadiyah,” ucap dia.

Kendati demikian, lanjut Abbas, Muhammadiyah tetap menghormati keputusan pendirian Masyumi sebab telah diatur dan dibolehkan UU.

NU dan Muhammadiyah tercatat sempat bergabung dengan Masyumi yang didirikan pada 8 November 1945. NU kemudian melepaskan diri dan membentuk partai sendiri, sementara Muhammadiyah terus berada di bawah payung Masyumi.

Pada Pemilu 1955, Masyumi meraih 7.903.886 suara, mewakili 20,9% suara rakyat, dan meraih 57 kursi di parlemen. Mereka menjadi partai kedua dengan perolehan suara terbesar setelah Partai Nasional Indonesia (PNI). Di urutan ketiga dan keempat kala itu yakni Partai Nahdlatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pada 1960, Masyumi dibubarkan setelah beberapa anggotanya disebut terlibat dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) Permesta.

Sumber : CNNIndonesia.com

- Advertisement -

Berita Terkini