Setahun Jokowi-Ma’ruf, Rakyat Sudah Sejahtera atau Belum?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin genap satu tahun pada 20 Oktober 2020. Banyak hal yang terjadi dalam pemerintah periode kedua Jokowi dan juga diterpa pandemi COVID-19 yang berpengaruh besar dengan ekonomi Tanah Air. Hasil survei terbaru pun keluar jelang satu tahun tersebut.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menyebut sebanyak 55 persen masyarakat menilai bahwa kondisi ekonomi tanah air saat ini buruk. Buruknya kondisi ekonomi Indonesia sudah mulai terjadi pada Mei 2020 atau saat virus COVID-19 mewabah.

Hal ini disampaikan Burhanuddin dalam konferensi pers Rilis Survei Nasional tentang Mitigasi Dampak COVID-19. Survei digelar pada 24-30 September 2020.

Sebagai informasi, survei menggunakan kontak telepon kepada responden karena situasi pandemi corona. Survei menggunakan asumsi simple random sampling, dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional.

Jumlah sampel yang dipilih secara acak untuk ditelepon sebanyak 5.614 data. Sedangkan, yang berhasil diwawancarai dalam durasi survei yaitu sebanyak 1200 responden dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional. Margin of Error pada survei ini +2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

“Per September 2020, mereka yang mengatakan Indonesia buruk itu sangat besar. Bahkan total mencapai 65 persen yang mengatakan buruk (55 persen) dan sangat buruk (10 persen),” ujar Burhanuddin dalam konferensi pers secara virtual.

Lembaga Survei Indikator pernah melakukan survei tatap muka dengan responden pada Februari 2020 atau sebelum virus corona ditemukan di Indonesia. Hasilnya, hanya 24 persen responden yang menyebutkan kondisi ekonomi nasional buruk. Pada Mei, angka itu melonjak menjadi 81 persen.

“Sementara yang menyatakan baik turun drastis. Ini kondisi ekonomi terburuk sejak 2004,” ucapnya.

Burhanuddin menuturkan, persepsi buruk berasal dari masyarakat berpendidikan tinggi yakni SMA dan kuliah. Mereka yang menyatakan ekonomi nasional buruk paling besar dari wilayah DKI Jakarta yaitu 87,4 persen.

“Warga Jakarta cenderung mengatakan bahwa ekonomi nasional buruk sekali ketimbang wilayah lain, meskipun yang lain juga buruk di atas 50 persen. Tetapi tidak seburuk persepsi ekonomi nasional menurut warga Jakarta,” jelas dia.

Pendapatan Menurun, 55 Persen Warga Sulit Penuhi Makan Sehari-hari

Burhanuddin Muhtadi menyebut bahwa 66,6 persen masyarakat menyatakan pendapatannya rumah tangganya menurun rumah akibat kebijakan pandemi COVID-19. Kesulitan terbesar yang dialami masyarakat akibat menurunnya pendapatan yakni, memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.

“Kesulitan terberat akibat penurunan pendapatan paling tinggi adalah, makan sehari-hari. Saya terus terang ketika mendapat data ini cukup terenyuh karena ini bukan angka kecil,” jelas Burhanuddin.

Sementara, 12,3 persen responden mengaku kesulitan membiayai sekolah anaknya. Sebanyak 11,5 persen responden menyatakan kesulitan membeli kuota internet untuk pembelajaran jarak jauh.

Kemudian, 2,9 responden kesulitan membayar cicilan rumahnya akibat pendapatan menurun selama pandemi. Ada pula 10,5 persen responden yang kehilangan pekerjaan akibat wabah corona.

“Lebih dari separuh warga yang mengatakan kondisi ekonominya turun, jangankan soal internet untuk anak mereka sekolah online, buat cicilan rumah, (buat) makan susah,” tutur Burhanuddin.

Untuk itu, dia menilai penanganan kesehatan akibat pandemi memang harus diprioritaskan. Namun, urusan ekonomi juga tidak bisa diabaikan sebab banyak masyarakat yang bergantung hidupnya dari pendapatan harian.

“Ini tolong kita semua cukup punya empati. Ini bukan berarti kita mengesampingkan aspek kesehatan, tetapi dua-duanya bukan hal yang diabaikan,” ucapnya.

Penanganan Covid, Tingkat Kepercayaan Publik ke Jokowi 60%, Terawan 45%

Sebanyak 60 persen masyarakat mengaku cukup percaya dengan langkah Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam menangani pandemi COVID-19. Tingkat kepuasan ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepuasan publik terhadap langkah yang dilakukan Terawan Agus Putranto sebagai menteri kesehatan.

“Trust terhadap Presiden dalam menangani Covid masih lumayan, yang mengatakan cukup percaya dan sangat percaya itu 60 persen terhadap Pak Jokowi,” kata Burhanuddin

“Terhadap Pak Terawan itu lebih rendah, sekitar 45 persen,” sambungnya.

Berdasarkan hasil survei, adapun responden yang menyatakan cukup percaya kepada Jokowi sebanyak 57,7 persen. Sementara, responden yang sangat percaya 3 persen.

Kemudian, responden yang tingkat kepercayaannya biasa saja 24,1 persen dan tidak percaya 12,7 persen. Responden yang sangat tidak percaya 1,8 persen.

Sedangkan, responden yang sangat percaya kepada Terawan hanya 1 persen. Responden yang cukup percaya sebanyak 44,6 persen, biasa saja 30,9 persen, tidak percaya 15 persen, dan sangat tidak percaya 2 persen.

“Tetapi masih lebih baik dibandingkan apa yang muncul di Twitter itu kan. Saya kira tidak nyampe 20 persen terhadap Pak Terawan,” tutur Burhanuddin.

Dia mengungkapkan, tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah pusat dalam mencegah penyebaran COVID-19 cukup besar di angka 60,5 persen. Adapun responden yang kurang puas 29,2 persen, tidak puas sama sekali 3,8 persen, dan sangat puas 5,8 persen.

Burhanuddin mengatakan tingkat kepuasan ini salah satunya dipengaruhi sejumlah bantuan sosial (bansos) yang disalurkan pemerintah pusat kepada masyarakat terdampak pandemi. Mereka yang puas terhadap kinerja pemerintah pusat di masa pandemi biasanya berpendidikan dan berpenghasilan rendah.

“Jadi kalau pendidikannya rendah, pendapatan yang rendah cenderung puas salah satunya ada bansos, ada program-program mitigasi dampak ekonomi COVID-19,” jelas dia.

Mayoritas Warga Ingin Kebijakan PSBB Dihentikan

Burhanuddin Muhtadi mengatakan, persepsi publik terhadap penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) cenderung fluktuatif. Pada September 2020, sebanyak 55 persen masyarakat ingin PSBB dihentikan agar perekonomian dapat berjalan kembali.

Kesimpulan itu disampaikan Burhanuddin dalam konferensi pers Rilis Survei Nasional tentang Mitigasi Dampak COVID-19. Survei terkait PSBB dilakukan pada Mei, Juni, dan September 2020.

Hasilnya, pada Mei ada 43,1 persen masyarakat yang ingin PSBB dihentikan. Jumlah ini terus bertambah pada Juli, di mana ada 60,6 persen warga yang mendesak PSBB tidak dilanjutkan.

“Mayoritas publik tetap menghendaki PSBB dihentikan meski mengalami pelemahan, menjadi 55 persen dari sebelumnya 60,6 persen pada temuan sebelumnya,” jelas Burhanuddin.

Namun di sisi lain, 60,4 persen masyarakat masih tetap memprioritaskan urusan kesehatan. Sementara, hanya 36,2 persen warga yang memprioritaskan masalah ekonomi di masa pandemi COVID-19. Selebihnya, memilih tak menjawab.

Pada September, pemerintah melonggarkan PSBB. Masyarakat berharap ekonomi segera membaik. Ternyata, kata Burhanuddin, tidak juga mereka dapatkan.

“Dibanding bulan Mei dan Juli ada perubahan luar biasa, dugaan saya waktu itu masyarakat cukup lama mengalami PSBB cukup ketat, kemudian mereka capek tidak ada pilihan lain karena tidak ada yang bisa dimakan,” kata Burhanuddin.

“Akhirnya ketika ada pelonggaran PSBB mereka meminta agar PSBB cukup berhenti di sini dan ekonomi segera berjalan itu mayoritas di bulan Juli, itu berbeda dibanding bulan Mei,” sambungnya.

Sumber : Merdeka.com

- Advertisement -

Berita Terkini