Menyoal Standarisasi Radikalisme

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Akhir-akhir ini negeri Indonesia dihadapkan dengan persoalan “radikalisme” yang menjadi topik hangat tak kunjung usai dalam perbincangan publik. Di tengah pandemic Covid-19 yang telah menghantam berbagai komponen di tatanan masyarakat seperti ekonomi, sosial, kesehatan dan yang lainnya, justru kembali diperparah dengan isu hangat ‘radikalisme”.

Tak ayal isu radikalisme sendiri akhir-akhir ini keluar dari statement kontroversial tokoh publik negeri tepatnya dari Kementerian Agama (Kemeneg). Pernyataan kontroversial tersebut tidak sedikit menuai beragam reaksi pro/kontra dari publik. Kegaduhan di jagat media sosial kembali semakin gencar. Pada dasarnya radikalisme dimaknai dengan sikap dan tindakan seseorang atau sekelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan.

Kelompok radikal umumnya menginginkan perubahan tersebut dalam tempo singkat dan secara drastis yang bertentangan dengan sistem sosial yang berlaku. Radikalisme sering dikaitkan dengan terorisme karena kelompok radikal dapat melakukan cara apapun agar keinginannya tercapai, termasuk meneror pihak lain yang tidak sepaham dengan mereka. Radikalisme tidak ada kaitannya dengan ajaran agama apapun di dunia ini kecuali hanyalah oknum yang berkepentingan terhadap suatu kelompok menunggangi dan berlindung dibalik nama ‘agama’.

Namun faktanya radikalisme selalu dikaitkan dengan Islam padahal tidaklah demikian kecuali pemahaman persepsi subjetifitas memaknai ajaran Islam yang Universalitas sebagai Islam Rahmatan Lill Alamin yang keliru karena digeneralisir dengan sendiri apalagi berkedok kepentingan politik di dalamnya dengan membawa label ‘agama’.

Indonesia sendiri sebagai penganut dengan jumlah penduduk agama Islam terbesar di dunia merupakan suatu kekuatan besar di tengah pluralitas masyarakat yang tinggi. Hal ini merupakan aset yang sangat penting bagaimana sebagai negara muslim terbesar di dunia menunjukkan sebagai penganut monotheisme yang harus mentadaburkan nilai-nilai Islam Rahmatan Lil Alamin.

Namun menjadi ironis apabila gejala-gejala radikalisme selalu diidentikkan dengan agama apalagi agama Islam sebagai agama yang jelas kontribusi jejak rekamnya buat Indonesia sebagai negara yang sudah final dengan dasar negara yang merangkul semua golongan yang tertuang dalam di Bhineka Tunggal Ika. Seperti pernyataan Kemenag, Fachrul dalam webinar bertajuk “Strategi Menangkal Radikalisme Pada Aparatur Sipil Negara” yang mengatakan ‘’Cara masuk mereka gampang, pertama dikirimkan seorang anak yang good looking, penguasaan Bahasa Arabnya bagus, hafiz (hafal Al-Qur’an), mereka mulai masuk,’’ di kanal Youtube Kemenpan RB, Rabu (2/9).

Dalam sudut pandang penulis statement yang dilontarkan oleh Kemenag sebagai tokoh figure Kementerian Agama RI tidak memberikan fakta yang objektif dan lebih cenderung mendiskreditkan umat muslim itu sendiri.

Selain itu, persoalan radikalisme ini lebih di faktori oleh ulah oknum media sosial yang masif penetrasinya sehingga menjadi berkembang biak di Indonesia. Opini yang dibingkai oleh oknum-oknum tertentu untuk mendeskreditkan Islam terhadap kelompok-kelompok Islam seakan-akan isu politisisasi agama mencuat selain ditunggangi oleh oknum lain yang sudah memang tidak pro dengan kelompok Islam.

Hal ini menimbulkan reaksi dari berbagai tokoh termasuk Anggota Komisi VII DPR Ali Taher Parasong bahkan meminta Fachrul berhenti mengeluarkan pernyataan terkait radikalisme yang berpotensi memunculkan kontroversi kembali di tengah-tengah masyarakat. Karena ucapan yang kontroversi dan miskin argumentative yang objektif akan memberikan dampak signifikat terhadap streotip di lapisan masyarakat.

Dampaknya adalah kecurigaan-kecurigaan terhadap SARA bahkan senitimen terhadap kelompok SARA semakin meninggi yang menyebabkan hubungan sosial dalam kemasyarakatan akan berjalan disfungsional. Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah membingkai opini seakan-akan radikalisme di Indonesia sangat mengerikan dan standar radikalisme yang diberikan pemerintah seakan-akan selalu menyinggung kelompok isu SARA terutama agama. Padahal kala dilihat lebih objektif lagi persoalan radikalisme itu lahir karena minimnya keadilan sosial yang tidak merata di bumi pertiwi ini.

Radikalisme yang selalu menjadi singgungan dari pemerintah seakan-akan menutupi opini persoalan patologis yang berkenaan dengan kegagalan pemerintah seperti korupsi, HAM, ekonomi, dan inovasi-inovasi lainnya yang mampu membuat ekonomi Indonesia meroket sehingga menimalisir kemiskinan maupun tindak-tindak kriminal lainnya berkurang di bumi pertiwi ini.

Rumusan masalah tentang radikalisme dari pemerintah jika ingin memberantas radikalisme itu sendiri harus jelas dan lebih objektif. Karena apabila tidak ada rumusan masalah yang jelas sebagai standrarisasi tentang radikalisme maka akan menjadi bola liar di tengah masyarakat. Karena hari ini persoalan yang sangat urgent bukan persoalan isu radikalisme persepsi Kemenag melainkan keadilan sosial di negeri ini apalagi di tengah Covid-19 masih menjadi problematika yang lebih urgent karena antara keadilan sosial dengan radikalisme itu sendiri satu kesatuan sebagai kausalitas yang sulit dipisahkan.

Penulis : Hanafi
Kader HMI Tarbiyah IAIN Madura

 

- Advertisement -

Berita Terkini