Menimbang (Kembali) Ide Fusi Parpol (Bagian 2)

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh : Arip Musthopa
Pendiri Opinia
(Ketua Umum PB HMI 2008-2010)

MUDANEWS.COM – Kekuasaan yang tersentralisasi, menjadi penghalang tumbuhnya pengimbang atau oposisi. Begitupun kekuasaan yang berserak, mematikan kepercayaan diri partai kecil di luar pemerintahan untuk ambil posisi menjadi pengimbang. Jadi perlu muncul dua kekuatan yang relatif seimbang agar mekanisme checks and balances dapat terjadi.

Dengan adanya checks and balances dan persaingan antara kekuatan yang berkuasa dan pengimbang, maka feodalisme kekuasaan akan terminimalisasi. Karena ketika satu kekuatan melakukan “blunder”, maka secara otomatis pihak sebelahnya akan mendapat kredit dari publik. Sehingga masing-masing pihak berupaya untuk tidak membuat blunder.

Di negara-negara yang telah mapan berdemokrasi dan maju secara ekonomi, munculnya dua kekuatan yang relatif seimbang tersebut, umumnya tercipta dalam dua model : munculnya “koalisi permanen” diantara beberapa partai baik yang berkuasa maupun oposisi; dan sistem “dwi partai”, yakni tampilnya dua partai dominan yang bergantian berkuasa dan menjadi oposisi.

Contoh model pertama ada di Perancis dan Jerman. Perancis sejak tahun 1980-an di dominasi oleh dua “koalisi permanen” yang disebut sayap kiri (gauche), yang merupakan koalisi partai berhaluan sosialisme, demokrasi sosial, dan komunisme; dan sayap kanan (droite), yang merupakan koalisi partai berhaluan konservatisme, kelompok agama, dan liberal klasik.

Sedangkan politik Jerman didominasi oleh koalisi partai kembar CDU/CSU (Persatuan Demokrat Kristen/Uni Sosial Demokrat) versus koalisi yang dipimpin SPD (Partai Demokrat Sosial Jerman).

Sementara itu model yang kedua, sistem dwi partai, yang paling menonjol adalah Amerika Serikat. Meski secara formal tidak menerapkan sistem dwipartai, sistem politik presidensial di Amerika Serikat menghasilkan tradisi dominasi oleh dua partai yang bergantian berkuasa dan menjadi oposisi, yakni Partai Demokrat dan Partai Republik. Contoh lain yang mirip adalah Inggris, meski menerapkan sistem parlementer multi partai, sejak 1920-an, politik Inggris didominasi oleh Partai Konservatif dan Partai Buruh yang berkuasa atau menjadi oposisi secara mandiri atau memimpin koalisi bersama partai kecil.

Melihat ke Asia, kita ambil contoh Jepang. Meski sejak 1955 politik Jepang didominasi oleh LDP (Liberal Democratic Party), namun terbentuk koalisi oposisi yang kuat, dimana mereka pernah dua kali mengalahkan LDP, 1993-1996 dan 2009-2012 di bawah pimpinan partai kuat lain DJP (Democratic Party of Japan).

Berkaca dari contoh di atas, dalam sistem multi partai, keberadaan partai kuat di luar pemerintahan menjadi modal penting agar terbentuk kekuatan pengimbang. Kehadiran parpol kuat memberikan kepercayaan diri dan dukungan resources bagi partai kecil untuk berdiri di luar kekuasaan.

Selain itu, dalam contoh di atas, pilihan untuk ikut koalisi pemerintahan atau oposisi, terbentuk karena perbedaan ideologis atau haluan masing-masing partai. Hal ini sulit dipenuhi untuk konteks Indonesia, karena tidak ada perbedaan tajam secara ideologis dan platform politik masing-masing partai.

Faktor yang bisa jadi pembentuk kekuatan pengimbang adalah masalah eksistensi. Seperti kasus PDIP yang menjadi oposisi selama SBY menjadi presiden. Faktor eksistensi akan terfasilitasi apabila kekuatan antar partai tidak berbeda jauh. Disinilah alasan mengapa fusi partai itu diperlukan.

Fusi harus dilakukan berdasarkan hasil pemilu. Mekanismenya, aturan ambang batas parliamentary threshold dinaikkan, misalkan menjadi 10%, dan partai yang tidak berhasil mencapai itu, harus bergabung membentuk partai baru atau melebur ke dalam partai lain agar dapat tetap memiliki wakil di parlemen. Pola ini lebih baik, lebih adil, dari aturan threshold yang kini berlaku karena tidak menghilangkan kursi parlemen dari parpol yang tidak lolos threshold. Jakarta, 24/8/2020

- Advertisement -

Berita Terkini