“Persekusi” Pendakwah di Pasuruan: Cermin Hak Berserikat dan Berkumpul Serta Menyatakan Pendapat di Negara Demokrasi Indonesia Terancam?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM

Oleh : Prof. Pierre Suteki, Guru Besar Undip Semarang

A. Pengantar

Para sahabat yang mulia, literasi yang terbatas bisa dipastikan akan menumbuhkan sikap antipati yang berlebihan bahkan dapat memicu tindakan yang represif dengan bertameng hukum yang sengaja dibuat untuk itu. Dengan perkataan lain hukum hanya dipakai sebagai alat legitimasi kekuasaan.

Penggunaan hukum yang demikian biasanya dimulai dengan pembuatan formulasi hukum yang “ngaret” dan dapat “melar-mingkus” mengikuti kepentingan pengembannya.

Issue ini sengaja saya angkat untuk meningkatkan literasi kita terhadap penghormatan (to respect), pemenuhan (to fullfil) dan perlindungan (to protect) Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah dijamin dalam konstitusi kita khususnya Pasal 28 UUD NRI 1945, yakni hak untuk berserikat dan berkumpul serta menyatakan pendapat baik secara tertulis maupun lisan.

Selain hal tersebut di muka, pengangkatan kembali tulisan ini juga dipicu oleh represi yang makin meninggi terhadap para anggota bahkan orang yang pernah terlibat dalam”mantan” ormas resmi yang bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dicabut Badan Hukumnya sejak tahun 2017. Peristiwa di Rembang Pasuruan tanggal 20 Agustus 2020 patut diduga merepresentasikan keadaan yang memprihatinkan tentang ketertindasan warga negara karena “persekusi” dari sekelompok orang yang menyebut dirinya “Ormas Besar”.

Keprihatinan saya muncul selain atas kasus yang menimpa saya sendiri yang dituduh terpapar radikalisme, anti Pancasila, anti NKRI, simpatisan, berafiliasi dan bahkan disebut-sebut anggota HTI, juga& prihatin atas “nasib” sahabat saya di daerah lain yang mengalami “tindakan sewenang-wenang” dari kelompok ormas Besar yang dengan bangganya menyatakan diri sebagai pemilik wilayah.

Jadi, kini anggapan lembaga dan pihak-pihak tertentu itu terhadap HTI tidak beda dengan PKI masa lalu. Mengapa bisa terjadi keadaan seperti ini? Hukum mana hukum? Bukankah negara kita ini negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945?

Tapi, mengapa justru politik yang menjadi panglima? Mungkin di benak Anda yang murni akan menanyakan: Apa sebenarnya salah HTI? Dan pertanyaan itulah yang belum terjawab melalui media yang bernama “hukum” itu.

Persekusi Pendakwah di Pasuruan Cermin Hak Berserikat dan Berkumpul Serta Menyatakan Pendapat di Negara Demokrasi Indonesia Terancam
Net/Ilustrasi

B. Pembahasan

1. Kedudukan Hukum HTI

Sebagaimana diketahui, status Badan Hukum Perkumpulan HTI telah dicabut melalui surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU-30.A.01.08 Tahun 2017. SK tertanggal 19 Juli 2017 terkait tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU-00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia.

Dengan adanya pencabutan status Badan Hukum Perkumpulan HTI, dan berdasarkan Pasal 80A Perppu No. 2 Tahun 2017, maka Perkumpulan HTI dinyatakan bubar.

Menurut Pemerintah, alasan pencabutan badan hukum HTI dilakukan karena kegiatan HTI jelas bertentangan dengan ideologi negara Pancasila dan mengancam kedaulatan NKRI. Pasalnya, HTI bermaksud mendirikan Negara transnasional Islam dan menyebarluaskan sistem serta paham khilafah yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Pemerintah pun menyodorkan bukti-bukti berupa dokumen, video, artikel, buku, bulletin, dilengkapi dengan keterangan Ahli dan Saksi Fakta di dalam persidangan.

Berdasarkan bukti-bukti tersebut, pemerintah beranggapan bahwa HTI menentang sistem demokrasi Pancasila dan berkeinginan untuk menghancurkan sekat-sekat nasionalisme.

Pencabutan badan hukum HTI ini merupakan konsekuensi dari terbitnya Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas (Perppu Ormas). Pada tanggal 24 Oktober 2017 lalu, Perppu tersebut telah disahkan DPR menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017, dan kemudian diundangkan pada tanggal 22 November 2017.

Para pengurus HTI menilai bahwa pencabutan Badan Hukum HTI tidak dilakukan sesuai prosedur sebagaimana dianut oleh negara hukum (due process of law), bukan menggunakan pendekatan kekuasaan apalagi main hakim sendiri (eighenrichting). Para pengurus HTI lewat Seketaris Umum sekaligus Jubir Perkumpulan HTI Ismail Yusanto kemudian mengambil langkah-langkah hukum (due process of law), untuk mengajukan gugatan di PTUN Jakarta.

HTI pun menunjuk Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukumnya. Persidangan gugatan Pencabutan Badan Hukum HTI telah dilaksanakan. Mulai dari PTUN, PTTUN hingga kasasi telah dilaksanakan.

Pada tanggal 15 Pebruari 2019, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan organisasi masyarakat (ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sebelum ke MA, HTI melayangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), lalu ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).

Dengan demikian maka pada semua jenjang peradilan gugatan HTI tidak ada yang dikabulkan. Atau dengan perkataan lain Badan Hukum HTI Tetap Dicabut Dan Dengan Demikian HTI Dibubarkan.

2. Akibat Hukum:

a. Akibat terhadap anggota.

Ketika status badan hukum suatu organisasi dicabut dan otomatis dibubarkan, maka yang tersisa hanyalah anggota-anggota atau mantan anggota badan hukum tersebut. Tidak ada larangan dari negara yang menyatakan bahwa mantan anggota HTI dilarang bergabung dengan ormas lainnya.

b. Akibat terhadap wadah organisasi.

Ketika sudah ditandatangani penetapan pencabutan badan hukumnya oleh pejabat tata usaha negara yang berwenang, maka baju atau status badan hukum suatu organisasi sudah terlepas.

Di negara kita ini, ormas itu ada yang berbadan hukum, ada yang tidak. HTI adalah ormas berbadan hukum “perkumpulan” atau vereneging, yang didaftarkan di Kemenkumham. Status badan hukumnya itulah yang dicabut.

Jadi jika mantan pengurus dan anggota HTI melakukan kegiatan dakwah secara perorangan atau kelompok tanpa menggunakan organisasi HTI berbadan hukum, maka hal itu sah saja. Tidak ada yang dapat melarang kegiatan seperti itu.

c. Akibat terhadap kegiatannya.

Aktivitas atau kegiatan yang mengatasnamakan organisasi HTI tidak diakui dan tidak diizinkan meskipun keputusan MA tidak menyebutkan secara eksplisit yang menyatakan bahwa HTI sebagai organisasi Terlarang.

Jadi, sebagai organisasi yang sudah dibubarkan maka konsekuensinya warga HTI tidak boleh menyelenggarakan kegiatannya atas nama HTI. Namun, sebagai pribadi syabab HTI tetap diperbolehkan untuk berdakwah sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar sesuai kaidah syariat Islam.

d. Akibat terhadap aset badan hukum yang dicabut BH dan dibubarkan.

Setelah dicabut dan dibubarkan maka aset yang dimiliki oleh BH tidak dapat dikelola oleh perseorangan. Seharusnya bila ada kekayaan tersisa, kekayaan itu dapat diberikan kepada ormas sejenis atau kepada umat Islam.

3. Mungkinkah HTI Metamorfosis?

Persekusi Pendakwah di Pasuruan Cermin Hak Berserikat dan Berkumpul Serta Menyatakan Pendapat di Negara Demokrasi Indonesia Terancam
Net/Ilustrasi

Tidak ada pernyataan dalam Putusan PTUN 2018 hingga Putusan Kasasi 2019 yang menyatakan bahwa HTI itu sebagai organisasi terlarang seperti PKI, sebagaimana ditetapkan dlm Tap MPRS No. XXV Tahun 1966. Jadi menyamakan HTI dengan PKI adalah sebuah “kedunguan” hukum dan sejarah.

Bila sudah dibubarkan adakah kemungkinan HTI bermetamorfosis dengan membentuk ormas bernama lain, tapi garis perjuangan sama? Dalam hal ini pemerintah sepertinya sudah mewaspadai masalah tersebut. Pemerintah sudah deteksi memang HTI masih ada keinginan untuk bermetamorfosis. Pemerintah besar kemungkinan tetap mengira HTI hanya ingin ganti nama. Benarkah?

Gugatan HTI di Kasasi yang kalah pada tahun 2019 yang lalu, tentu sulit untuk memulihkan keadaan seperti semula. Meski menangpun HTI tetap harus merangkak dari bawah untuk memulihkan kedudukannya sebagai Ormas Berbadan Hukum kecuali hakim pada upaya hukum terakhir langsung memulihkan statusnya. Apalagi HTI sudah “kalah” di semua jenjang peradilan, sepertinya tidak mungkin HTI untuk melakukan metamorfosis menjadi organisasi masyarakat lain dengan visi, misi dan program yang sama.

Kecuali ada perubahan kepemimpinan nasional yang menganulir putusan hakim baik di PTUN, PTTUN dan Putusan Kasasi. Jalan satu-satunya dengan melakukan Peninjauan Kembali (PK), jika waktu masih dan ada novum yang dapat diajukan sebagai bukti kuat yang sulit terbantahkan.

Terkait Putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tentang pencabutan sepihak Badan Hukum Perkumpulan (BHP)-nya oleh pemerintah. Ada beberapa pertanyaan yang mengganjal lainnya misalnya:

a. Apakah Putusan Kasasi mencerminkan rezim represif Menggunakan hukum untuk kepentingan politik elit?

b. Apakah ini mencerminkan rezim anti Islam? Karena yang dipersoalkan ajaran Islam yakni khilafah?

c. Apa yang harus dilakukan umat untuk mendukung perjuangan menegakkan syariat Islam?

Sebagai seorang guru besar di bidang hukum saya prihatin melihat buruknya penegakan hukum di negara hukum ini. TRIAL BY THE PRESS terkesan lebih dipercaya dibandingkan dgn TRIAL BY THE RULE OF LAW sehingga yang muncul adalah TRIAL WITHOUT TRUTH sebagaimana dikatakan oleh William T Pizzi.

Dalam dunia hukum itu dipercayai dalil: BERANI MENUDUH HARUS BERANI MEMBUKTIKAN. Jangan menuduh tanpa bukti yang bisa dipertanggung jawabkan dan belum diuji kebenaran tuduhan itu.

Di mana tempat menguji dan mempertanggung-jawabkan tuduhan? Tidak lain di PENGADILAN melalui DUE PROCESS OF LAW. Di negara hukum itu pemali menggunakan sarana VANDALISME: hantam dulu, urusan belakangan. CABUT BADAN HUKUMNYA DULU, URUSAN BELAKANGAN. Itu eigenrichting. Itu akan menjadikan pemerintah sebagai EXTRACTIVE INSTITUTION sebagai lambang NEGARA KEKUASAAN bukan NEGARA HUKUM.

Dan hal itu sekaligus menunjukkan bahwa cara berhukum kita (Rule of Law) masih berada di tahap paling tipis (the thinnest rule of law) di mana rezim penguasa hanya menggunakan perangkat hukumnya sebagai sarana untuk LEGITIMASI KEKUASAAN sehingga kekuasaannya bersifat represif.

Saya yakin rezim sekarang tidak akan mau dijuluki sebagai rezim anti Islam bukan? Saya kira kalau itu dilakukan akan bunuh diri. Namun, perlu diingat bahwa ketika umat Islam yang menyatu dalam suatu perkumpulan Islam HTI tidak diizinkan mendakwahkan sebagian AJARAN ISLAM, misalnya dalam hal ini adalah tentang KHILAFAH, lalu bolehkah kita menyebut rezim yang melarang itu sebagai rezim yang anti Islam?

Persoalan khilafah adalah persoalan utama pencabutan BH HTI ini. Pertanyaannya, benarkah khilafah itu HANYA AJARAN HTI? Menurut pendapat saya: BUKAN. Mengapa? Karena khilafah itu sistem pemerintahan Islam yang tertulis di kitab para ulama dan juga FIKIH. Keempat madzab yang dianut dalam Islam juga meyakini wajibnya khilafah bagi umat Islam.

Secara normatif-teoretis saya kira tidak ada masalah dalam hal ini. Persoalan muncul ketika kita bicara politik praktis karena adanya kecurigaan terhadap upaya untuk mengganti ideologi Pancasila dan NKRI. Benarkah begitu?

Apakah khilafah harus dihadapkan dengan ideologi Pancasila? Khilafah itu sistem pemerintahan Islam, bukan ideologi. Jadi menghadapkan khilafah dengan ideologi Pancasila itu tidak apple to apple. Bila mau seimbang seharusnya menghadapkan KHILAFAH dengan DEMOKRASI.

Bila khilafah itu AJARAN ISLAM, maka adilkah bila pihak yang mendakwahkannya harus di-PERSEKUSI? Menurut saya tindakan itu bukan tindakan RADIKALISME. Mengapa? Karena dakwah itu tidak dilakukan dengan PEMAKSAAN dan PENGGUNAAN KEKERASAN. Itu yang prinsip.

Jadi ketika HTI yang kebetulan mengusung dan mendakwahkan ajaran Islam itu secara damai, mestinya tidak diperlakukan buruk karena dinilai terpapar radikalisme yang berakhir dengan pencabutan BH HTI secara sepihak karena penilaian itu tidak melalui DUE PROCESS OF LAW sebagaimana dulu diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013 tentang ORMAS.

Nasi telah menjadi bubur, BH HTI telah dicabut. Apa yang bisa dilakukan oleh umat Islam terhadap dakwah tentang khilafah? Kembali pada konsep bahwa KHILAFAH AJARAN ISLAM atau setidaknya sebagai SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM yg telah dikenal dan dipraktikkan selama 1300 tahun, maka umat Islam tanpa kecuali tetap diperbolehkan “mendakwahkan” ajaran Islam itu dengan catatan: TIDAK BOLEH ADA PEMAKSAAN dan PENGGUNAAN KEKERASAN.

Dunia pendidikan mestinya juga mengajarkannya seiring dengan pengajaran tentang sistem pemerintahan negara DEMOKRASI, MONARKI, KESULTANAN, DIKTATOR, TEOKRASI dan lain sebagainya. Fair bukan?

Akhirnya perbincangan ini harus saya akhiri dan kesimpulan ada di AKAL SEHAT Anda sendiri, bukan pada kemauan saya. Berpikir jernih dengan ARGUMEN jauh lebih mulia dari pada mengutamakan SENTIMEN.

C. Penutup

Bercermin dari dua case, yakni pencabutan BH HTI, bisa kita simpulkan bahwa hak berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat di negeri ini terkesan diberangus. Prinsip pembinaan yang seharusnya dilakukan oleh negara melalui pemerintah juga tidak diutamakan. Terkesan Pemerintah justru bukan merangkul tapi memukul. Bukan memeluk tapi menggebuk.

Inikah negara demokrasi yang kita elu-elukan itu? Mungkin, kembali ke UU Ormas 2013 jauh lebih baik daripada meneruskan UU Ormas 2017 yang dapat dinilai sangat represif, menjadikan pemerintah sebagai lembaga pengekstrak tunggal atas penilaian terhadap perilaku dan kinerja sebuah ormas.

Tabik..!

Semarang, Ngat Legi 23 Agustus 2020

- Advertisement -

Berita Terkini