Menimbang (Kembali) Ide Fusi Parpol

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh : Arip Musthopa
Pendiri Opinia
(Ketua Umum PB HMI 2008-2010)

MUDANEWS.COM – Indonesia pernah mengenal fusi Parpol di tahun 1973, awal era Orde Baru. Saat itu, 9 parpol yang “sejenis” digabungkan ke dalam PDI dan PPP. Kedua parpol tersebut menjadi pelengkap dari Golkar, ormas rasa parpol, sebagai ruling party.

Fusi parpol tersebut menjadi salah satu faktor kunci keberhasilan Orde Baru dalam menjaga stabilitas politik selama 32 tahun. Sekaligus mengefisienkan proses politik baik dalam hal rotasi elit maupun formulasi kebijakan publik.

Telah 22 tahun kita meninggalkan sistem politik dengan dua parpol dan satu ormas Golkar tersebut. Kini kita hidup di era multi partai dimana ada belasan parpol dan sembilan diantaranya ada di DPR RI. Pertanyaannya, apakah sistem politik saat ini sudah ideal?

Ada banyak elemen dalam sistem politik. Tidak ada cukup ruang untuk mengurainya dalam tulisan singkat ini. Poin yang ingin dibahas oleh penulis adalah soal sistem multi partai sebagai salah satu elemen vital dalam sistem politik yang sudah berlangsung 22 tahun. Apakah sistem multi partai ini ideal untuk kita?

Kalau melihat dua indikator penting dalam demokrasi yakni prinsip hadirnya mekanisme checks and balances dan pudarnya feodalisme dalam mengelola kekuasaan, rasanya sistem multi partai ala era reformasi ini makin jauh dari ideal.

Sistem multi partai kita tidak menjamin hadirnya checks and balances. Terlihat saat ini parlemen tidak lebih dari pemandu sorak dari keinginan eksekutif. Bahkan, mungkin satu-satunya di dunia demokrasi, kewenangan budgeting parlemen yang diatur konstitusi bisa diambil alih oleh eksekutif melalui undang-undang tanpa perdebatan, apalagi perlawanan.

Begitupun dengan parpol yang tidak ikut dalam koalisi pemerintahan, tidak berani bersikap menjadi oposisi. Kalaupun salah satu parpol, yakni PKS, menyatakan sebagai oposisi, namun kinerjanya sebagai oposan jauh dari harapan. Situasi ini di luar lazimnya nalar sistem multi partai.

Perihal feodalisme dalam mengelola kekuasaan juga menunjukkan trend yang makin kuat. Terlihat dari bagaimana kekuasaan dikelola dan diwariskan kepada kerabat dekat (anak-isteri), meski melalui mekanisme demokrasi : pemilihan umum.

Tentu atas nama hak politik, tidak terlarang kerabat penguasa terlibat dalam kontestasi kekuasaan secara demokratis. Namun menjadi masalah bagi kesehatan sistem politik ketika faktor kerabat menjadi sangat dominan dan menyisihkan faktor lain, seperti kompetensi dan keterbukaan sistem politik terhadap rekrutmen politik di luar lingkaran kekerabatan penguasa.

Ada faktor unfair advantage yang dieksploitasi penguasa (di tiap level) untuk memuluskan agenda feodalisme politik. Sehingga terbangun iklim politik yang kondusif bagi penguasa (di tiap level) untuk memberikan sebagian kekuasaan atau mewariskan seluruh kekuasaan kepada kerabat dekatnya. Ini menjauhkan sistem politik dari prinsip meritokrasi : the right man on the right place.

Dengan tidak tercapainya dua prinsip penting demokrasi di atas, ada baiknya kita evaluasi keberadaan sistem multi partai. Tentu kita tidak mungkin menarik kebebasan mendirikan parpol karena merupakan bagian dari kebebasan berserikat dan berkumpul, namun untuk apa banyak partai kalau demokrasi tidak berfungsi.

Penyederhanaan jumlah parpol melalui fusi parpol diperlukan agar distribusi kekuasaan tidak berserak atau terlalu menyebar. Karena, bercermin dari kasus saat ini maupun era demokrasi parlementer tahun 1949-1959, kekuasaan politik yang terlalu menyebar, sama buruknya dengan kekuasaan yang terlalu tersentralisasi. Bersambung…. Jakarta, 22-23/8/2020.

- Advertisement -

Berita Terkini