PKH, Politik dan Kemiskinan (Bagian III)

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Program Keluarga Harapan (PKH) saat ini merupakan keranjang besar, dimana semua skema bantuan sosial masuk kedalamnya, antara lain bantuan sosial untuk Lansia, dan bantuan sosial untuk disabilitas.

Hakekat PKH untuk memutus mata rantai kemiskinan bagi generasi muda, melalui jaminan untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan dan akses pelayanan pendidikan, sehingga menjadi generasi muda yang sehat dan berpendidikan, dan ujungnya dapat keluar dari lingkar kemiskinan yang melilit keluarga tersebut. Kata kuncinya PKH difokuskan pada target sasaran lapisan yang paling bawah dari strata kemiskinan yang dihadapi masyarakat Indonesia. Sampai disitu sebenarnya PKH hendak diukur keberhasilannya.

Bantuan sosial untuk Lansia dan disabilitas tidak boleh disamakan. Karena mereka itu harus terus menerus dibantu. Sedangkan PKH ada masa waktu evaluasi 6 tahun untuk selanjutnya dilakukan exit strategy. Kekuatan PKH ini kalau tidak berubah kebijakannya, diberikan untuk jangka waktu 6 tahun berturut-turut. Dan sesudah 6 tahun di evaluasi kalau belum bisa di exit, dapat dilanjutkan untuk 3 tahun berikutnya.

Dari apa yang diuraikan di atas dapat diduga bahwa skema PKH yang dimaksud pada awal diluncurkannya 25 Juli 2007 yang lalu, berbeda dengan apa yang diinginkan pemerintah saat ini. Yang pasti PKH saat ini, jumlah KPMnya pada tahun 2017,2018, dan 2019 sebanyak 10 juta KPM ( 40 juta jiwa) , dengan anggaran meningkat dari 11 T, 19 T dan 34 T.

Dalam proses berikutnya, target KPM tahun 2020 sudah diturunkan menjadi 9,2 juta Keluarga penerima PKH. Tetapi karena situasi Covid-19, dalam perubahan anggaran April 2020, dinaikkan lagi kembali ke angka 10 juta KPM.

Dengan jumlah peserta 40 juta jiwa orang miskin ( 10 juta KPM), bukanlah segmen sasaran (mistargeting) PKH atau Conditional Cash Transfer, jika merujuk pada ide awal diluncurkannya program. Sasaran keluarga yang ingin disentuh oleh PKH adalah keluarga sangat miskin (extremely poor families) dengan kondisi khusus (istri sedang hamil dan atau punya balita, dan atau punya anak usia sekolah) , yang jumlahnya tidak lebih dari 10 juta jiwa (sekitar 2,5 juta KK).

Peran Strategis Koordinator PKH

PKH, Politik dan Kemiskinan (Bagian III)
Logo PKH

Kenapa peran koordinator PKH menjadi strategis?. Apa kekuatan dan kekuasaannya dalam PKH?. Sehingga ada partai politik yang membuat instruksi resmi untuk menempatkan para kadernya sebagai koordinator PKH?.

Melanjutkan uraian diatas, tentu untuk terlaksananya PKH sebagai program strategis memutuskan rantai kemiskinan, memerlukan bimbingan, pembinaan, edukasi, mediasi, dan sumber informasi dari para pendamping sosial di level desa. Seorang pendamping sosial PKH, membina sekitar 150-200 KPM, tergantung juga kepadatan dan luas wilayah. Setiap kecamatan ditunjuk seorang koordinator yang mengkoordinasikan tugas-tugas pendamping sosial di desa.

Biasanya koordinator PKH adalah senior, pernah menjadi pendamping PKH, dan punya track record yang bagus. Perlu diketahui, koordinator dan pendamping PKH diberikan honor yang lumayan, rata-rata diatas UMP. Tentu honor koordinator lebih besar dari pendamping, dan mendapatkan fasilitas sepeda motor.

Belum lagi kalau Bupati atau Walikotanya senang dengan PKH, dan banyak membantu “terpilih” sebagai Bupati/Walikota, maka akan dapat dukungan APBD untuk operasional koordinator dan pendamping PKH.

Koordinator dan pendamping PKH itu sangat populer dikalangan penerima PKH. Omongannya didengar karena jelas memberikan kemudahan dan aksesibilitas untuk mendapatkan dana PKH.

Di beberapa Kabupaten/Kota yang saya ketahui, banyak juga koordinator dan pendamping PKH, berhasil menjadi anggota DPRD Kab/Kota karena dukungan peserta PKH.

Bahkan pernah di salah satu Provinsi, Sekdanya mencalonkan diri sebagai Gubernur, dalam suatu acara Rapat Koordinasi koordinator dan pendamping PKH se Provinsi, yang jumlahnya ratusan orang waktu itu, Pak Sekda saat membuka rakor menyatakan minta dukungan untuk menjadi Gubernur, dan berjanji akan memperhatikan kesejahteraan mereka jika terpilih.

Alhamdulillah terpilih. Karena kemampuan para koordinator dan pendamping PKH memobilisasi penerima manfaat PKH untuk memilih Sekda itu menjadi Gubernur bahkan sampai dua periode. Tentu juga tidak terlepas dari dukungan masyarakat lainnya.

Untuk tidak berulang, memanfaatkan peserta PKH untuk kepentingan politik, dan dengan pemain lapangannya pendamping dan koordinatornya, maka rekrutmennya diperketat, walaupun sebenarnya sejak awalnya sudah ketat. Sampai status penduduknya, harus menunjukkan KTP dari Desa/Kecamatan setempat yang boleh menjadi pendamping dan koordinator pendamping PKH.

Kebijakan Kemensos terkait rekruitmen koordinator PKH, disampaikan dalam bentuk Siaran Pers Senin 3/8/2020, sebelum Koran Tempo memuatnya Rabu 5/6/2020.

Poin pentingnya adalah untuk memastikan koordinator PKH Kabupaten/Kota bekerja dengan profesional, disyaratkan antara lain terdaftar sebagai SDM PKH aktif pada jabatan Pendamping Sosial dan Administratif Pangkalan Data minimal 1 tahun. Dan tidak pernah mendapat surat peringatan 1 dan 2 selama 6 bulan. Kemudian juga disyaratkan adanya surat rekomendasi dari Dinas Sosial Kabupaten/Kota setempat.

Mensos menyatakan, dari persyaratan khusus ini, jelas bahwa untuk mengisi posisi koordinator, terlebih dulu terdaftar aktif sebagai Pendamping Sosial. Yang tidak kalah penting, pada salah satu butir persyaratan umum bagi calon SDM PKH, disebutkan bahwa: calon “tidak berkedudukan sebagai pengurus, anggota dan atau berafiliasi Partai Politik”.

Konsistensi sikap dan penjelasan Mensos di apresiasi banyak pihak, dengan harapan ditindak lanjuti oleh birokrasi Kementerian sampai dengan Dinas Sosial Kab/Kota. Mereka ini harus tegas, konsisten dan taat pada perintah atasan atas garis kebijakan yang sudah ditetapkan. Jangan sampai birokrasi di level lapangan sebagai gate keeper, malahan seolah-olah tidak mengerti bagaimana caranya menangkap bola. Gawang pasti kebobolan.

Kapan PKH dinyatakan berhasil?

PKH, Politik dan Kemiskinan (Bagian III)
Net/Ilustrasi

PKH dinyatakan berhasil, bukan semakin bertambah pesertanya, dan semakin banyak uang yang ditaburkan. Tetapi adalah apakah kelompok masyarakat yang masuk dalam kategori extremely poor families , setelah diintervensi dengan PKH dalam jangka waktu 6 tahun dapat dikeluarkan dari lingkaran kemiskinan ekstrim tersebut. Jika belum ada perubahan, penambahan waktu 3 tahun, dan dievaluasi lagi.

Program PKH sebagai Conditional Cash Transfer (CCT), sebagaimana yang landasan filosofinya disampaikan Prof. Tarcicio tahun 2006 yang lalu kepada kami, dan sudah berhasil di beberapa negara Amerika Latin, dan ternyata di Indonesia peserta PKH semakin membesar berlipat-lipat , apakah hal itu mengindikasikan suatu keberhasilan?. Atau menunjukkan jumlah penduduk sangat miskin bertambah berlipat-lipat?.

Hal itu mungkin saja terjadi, karena wabah Covid-19 ini, jumlah orang miskin akan bertambah signifikan karena keterpurukan ekonomi dan yang menurut beberapa ekonom sudah berada di jurang resesi ekonomi.

Mungkin itulah alasan pertimbangan kepentingan untuk menyelamatkan bangsa yang sedang dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan resesi ekonomi, sehingga partai politik PDI-P secara terbuka membuat kebijakan partai untuk “turut mengawasi PKH agar memenuhi harapan mereka rakyat miskin.” Apakah dari political policy itu memberikan keuntungan politik, itu namanya berkah. Alhamdulillah.

Niat baik partai PDI-P, bertemu dengan niat baik Mensos yang juga sebagai kader PDI-P, tetapi dengan jalan yang berbeda. Semoga birokrasi Kemensos sebagai gate keeper yang handal dapat menemukan solusi yang terbaik, untuk melindungi keluarga miskin sesuai dengan koridor regulasi yang berlaku.

Oleh : Chazali H. Situmorang /Dosen FISIP Universitas Nasional (UNAS) Jakarta
(Ketua Umum HMI Cabang Medan 1980-1981)

- Advertisement -

Berita Terkini