PKH, Politik dan Kemiskinan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh : Chazali H. Situmorang /Dosen FISIP Universitas Nasional (UNAS) Jakarta
(Ketua Umum HMI Cabang Medan 1980-1981)

“PDI-P terang-terangan mengejar Program Keluarga Harapan (PKH). Berdalih untuk pengawasan, partai berlogo banteng ini memerintahkan kadernya untuk menjadi koordinator program bantuan keluarga miskin dengan anggaran Rp. 37,4 triliun itu. Namun Menteri Sosial Juliari Batubara, yang juga kader PDIP, mengklaim posisi itu terlarang untuk anggota partai politik” (sumber Koran Tempo, 5/8/2020). Sikap melawan kebijakan partai, yang ditunjukkan seorang menteri kader partai itu agar PKH tidak menyimpang dari tujuannya.

Memang sudah menjadi rahasia umum, kegiatan bansos di Kemensos termasuk PKH, tidak lepas dari kepentingan politik, terutama partai pendukung pemerintah.

Warna PKH itu, warna-warni, mulai hijau, putih, hijau, kuning, dan kini diupayakan untuk warna merah. Seperti lagu balonku ada lima, rupa-rupa warnanya.

Apakah minat partai untuk mengejar PKH hanya PDI-P saja?. Jawabannya tidak. Tetapi hanya PDI-P yang melakukannya dengan terang terangan melalui Instruksi DPP PDIP kepada DPC-DPC, untuk melibatkan kadernya dalam rekrutmen koordinator PKH yang sedang disiapkan di daerah Kab/Kota. Sebelumnya partai lain juga tidak beda. Tetapi tidak terbuka, secara diam-diam, main peta umpet. Termasuk sebagai pendamping program lainnya, seperti rekrutmen Pendampingan Program Bantuan Dana Desa, dari kementerian sektor terkait.

Namun demikian, baru kali ini kita dengar secara tegas Menteri Sosial yang seorang kader inti partai, menyatakan bahwa posisi koordinator PKH terlarang untuk anggota partai politik. Karena hal itu sesuai dengan Juklak Pengelolaan SDM PKH dan Kode Etik Pengurus PKH. Silahkan kader partai mendaftar, tetapi persyaratan seleksi yang akan memutuskan.

Kenapa PKH ini menjadi menarik dan mengundang ketertarikan partai politik, untuk mendorong kadernya menjadi koordinator. Tentu bukan saja karena anggaran APBN 2020 yang jumbo Rp. 37,4 triliun, tetapi juga sasaran KPM (Keluarga Penerima Manfaat) 15,6 juta keluarga, merupakan sumber suara yang potensial setiap Pemilu dan Pilkada.

Sebelum kita uraikan lebih lanjut, saya sudah pernah menguraikan soal PKH ini, di Kompasiana 18 Maret 2019 yang lalu. Sebagian saya kutip lagi untuk penyegar ingatan kita.

PKH diluncurkan pertama sekali sekitar 13 tahun yang lalu, yaitu 25 Juli 2007 di Kota Gorontalo oleh Mensos Bachtiar Chamsyah, bersama Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad. Jadi pada masa pemerintahan Presiden SBY.

Pada awalnya bernama CCT yaitu Conditional Cash Transfer, istilah yang dipakai Bank Dunia untuk program Kemiskinan di beberapa Negara Amerika Latin yang dinilai berhasil menaikkan angka partisipasi sekolah dan derajat kesehatan Ibu dan Anak keluarga sangat miskin.

Di Indonesia, dengan bantuan konsultan dari Bank Dunia, pada tahun 2006 datanglah Prof. Tarcisio dengan istrinya yang telah sukses menangani Program CCT di Amerika Latin, ditemani Ibu Vivi Alatas dan Mrs.Alisa dari Bappenas ke Departemen Sosial. Tentunya sesudah dibahas mendalam di Bappenas dengan Kementerian terkait (Depsos, Depdikbud, dan Depkes). Bertemu dengan kami yang waktu itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial Departemen Sosial..

Disepakati Prof. Tarcisio berkantor selama 6 bulan di Kemensos untuk mengadvokasi program CCT kepada para pengelola program di Kementerian. Langkah pertama adalah apa judul yang tepat pengganti CCT dalam bahasa Indonesia. Karena karakter program adalah untuk memutuskan mata rantai kemiskinan bagi keluarga yang sangat miskin dengan kondisi khusus, maka pada awalnya disampaikan pada suatu rapat kepada Menteri Sosial (Bachtiar Chamsyah), berjudul Program Keluarga Sejahtera yang disingkat PKS.

Waktu itu Pak Menteri merespons baik, tetapi karena PKS terkait dengan nama partai politik, bisa menimbulkan bias di masyarakat, maka diganti dengan Program Keluarga Harapan disingkat PKH.

Maknanya adalah dengan upaya memutuskan mata rantai kemiskinan, tekad yang dibangun agar anak-anak keluarga sangat miskin (extremely poor families) harus keluar dari lingkaran kemiskinan. Ada harapan yang hendak dicapai. Maka jadilah Program Keluarga Harapan.

Filosofi CCT panjang lebar dijelaskan oleh Tarcisio pada kami, dan seluruh petinggi Direktorat Jaminan Sosial yang diberi tanggung jawab untuk menyelenggarakan Program CCT (PKH). Prinsipnya sederhana. Bahwa persoalan di negara sedang berkembang adalah akurasi data. Terutama data penduduk yang sangat miskin. Mereka ini tidak dapat mengakses berbagai fasilitas untuk meningkatkan kualitas hidup yang mencakup indikator kesehatan dan pendidikan. Kondisi ini diperberat bagi mereka yang sangat miskin tersebut dengan kondisi; istrinya sedang hamil, punya anak balita, dan anak usia sekolah tetapi tidak masuk sekolah.

PKH mencari keluarga-keluarga yang sangat miskin dengan kondisi tertentu itu yaitu apakah istrinya sedang hamil, apakah disamping sedang hamil punya balita, dan apakah disamping punya balita juga punya anak usia sekolah. Jika kondisinya salah satu, atau salah dua, atau salah tiga atau ketiga-tiganya, maka mereka mendapat program PKH.

Program ini sangat dinamis, karena ibu hamil pasti akan melahirkan, balita pasti akan masuk usia sekolah. Usia sekolah tentu tamat dan masuk lapangan kerja. Jadi syarat utama yang ditekankan Mr. Tarcisio adalah melakukan verifikasi dan validasi data yang terus menerus (real time), dengan sistem IT yang terintegrasi sampai di level kecamatan.

Prasyarat utama PKH adalah menghindari terjadi mistargeting peserta PKH. Jangan sampai keluarga yang sangat miskin tersebut tidak terjaring oleh PKH. Karena itu dibutuhkan IT yang terintegrasi sebagai instrumen penting mencegah terjadinya mistargeting tersebut.

Ada dua pokok program ini, yaitu; pertama, peserta PKH, mendapat bantuan uang tunai sejumlah tertentu yang besarnya sesuai dengan kondisi khusus sebagaimana diuraikan diatas selama 6 tahun berturut-turut. Kedua, adanya Pendamping profesional, yang melakukan pendampingan (sosialisasi, advokasi, verifikasi dan validasi) peserta PKH selama 6 tahun.

Bersambung…

Cibubur, 9 Agustus 2020

- Advertisement -

Berita Terkini