Isu Dinasti Politik Istana di Tengah Pandemi Covid-19

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Dinamika politik semakin bergulir di bumi pertiwi. Dinamika politik merupakan implikasi ekspresi wajah masyarakat Indonesia sebagai suatu bangsa yang menganut paham demokrasi dengan segudang perbedaan dan kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya yang ditetapkan dengan Undang-Undang 1945 pasal 28.

Makanya tak ayal dinamika dengan segudang persepsi dalam partisipan di kancah kontelasi perpolitikan birokrasi di Indonesia merupakan hal yang konkret untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan sosial dengan payung demokrasi yang diciptakan dengan diisi oleh orang-orang yang memang pantas dan layak menduduki kursi birokrat kekuasaan.

Namun apa jadinya apabila dinamika politik yang seharusnya menciptakan ruang hangat dengan tendensi tinggi dan terkontrol sehingga mempertemukan dialektika segudang gagasan orang-orang yang berkualitas yang secara otomatis akan terseleksi malah dihadirkan dengan isu dinasti politik di gedung-gedung istana megah yang mencuat akhir-akhir ini.

Secara terminologis, konsep dinasti politik selalu identik dengan sistem pemerintahan monarki, kekuasaan yang bertumpu terhadap keturunan. Tujuan dari terbentuknya dinasti politik adalah untuk mempertahankan kekuasaan. Dimana kekuasaan yang sudah dipegang akan digenggam seerat mungkin demi tidak terjatuhnya kekuasaan ke tangan orang lain.

Berangkat asumsi dari penulis, isu dinasti politik ini bukan berangkat dari logika kosong yang tidak menghadirkan rasionalitas alam sadar manusia.

Pertama, melihat majunya Putra Presiden Gibran Rakabuming Raka di Pilkada Surakarta yang di usung oleh Partai PDIP dan didukung partai-partai besar lainnya mencuat sebagai simbol lingkaran untuk mengamankan kekuasaan seperti berada dari lingkungan keluarga, kerabat, dan lain-lainnnya.

Memang dilihat secara konstitusional, tidak ada yang salah dengan realitas ini, namun secara rasional alam sadar manusia seorang Putera Presiden yang masih belum memiliki rekam jejak yang jelas (trac record) sebagai pemimpin, dicalonkan untuk maju di Pilkada nanti sehingga otomatis muncul asumsi miring publik bahwa integritas dan kapasitas yang dimiliki oleh calon pemimpin dipertanyakan atau paling tidak ada bukti riil yang bisa ditunjukkan terhadap masyarakat bahwa pernah terlibat dalam konstelasi kepemimpinan dalam dunia perpolitikan.

Akibatnya, muncul rasa dilematis yang hadir terhadap mereka sebagai partisipan untuk memilih yang secara tidak langsung dipaksa untuk memilih salah satu pasangan yang biasanya familiar berkeliaran dogma sakral yang biasanya berbunyi dengan tagar #ayo jangan golput#karena suara kalian menentukan nasib bangsa ke depan.

Tanpa jejak rekam (track record) politik yang jelas, indikator untuk membaca figure dengan segudang akal sehat manusia menjadi problem psikis yang dilematis untuk memilih.

Popularitas demi popularitas yang dihadirkan oleh lingkaran dalam keluarga utamanya mereka yang menduduki kekuasaan dengan segudang materi yang dimiliki mampu menjadi hantu yang dapat membius birokrasi dalam rekayasa sosial politik untuk meraih kekuasaan.

Fenomena ini cenderung menjadi racun bagi masyarakat yang dapat menggerus prinsip kesetaraan, persamaan hak, dan akuntabilitas. Selain itu, isu dinasti politik diperkuat pada hari-hari kemaren peristiwa tepatnya pertemuan antara Achmad Purnomo selaku Wakil Wali Kota Surakarta dengan Presiden Joko Widodo sebagai seorang Presiden di Istana Kepresidenan semakin nampak memperkuat asumsi publik realitas dinastik politik yang masih menjadi virus fatal di negara demokrasi ini.

Hal ini pun tidak terlepas dari sorotan seorang akademisi sekaligus filsuf di Indonesia yakni Bung Rokcy Gerung. Dikutip dari kumparan.news, Bung Rokcy sapaan akrabnya menyebut “Presiden di ruang terbuka, di Istana transaksi kemaksiatan politik. Jadi, standar moral kita diuji hari ini dan enggak ada satu pun menteri yang memberi semacam sense of injustice terhadap peristiwa itu”.

Menurut Bung Rokcy, bisa saja masyarakat melakukan impeachment terhadap Jokowi yang dinilai seringkali melanggar etika sistem politik negara. Lanjut, “Tapi orang akan tagih kalau dalam sistem politik beradab. Itu Presiden ketahuan bikin transaksi kemaksiatan politik, political prostitusion, itu sudah di impeach karena etikanya dilanggar habis-habisan, di Istana terbuka lakukan transaksi politik hanya karena culture Solo, mungkin Pak Purnomo enggak bisa ngomong lebih dari sekedar ngeluh ke publik”.

Bung Rokcy pun tidak tanggung-tanggung mengungkapkan bahwa pertemuan Achmad Purnomo dengan Joko Widodo sebagai puncak defisit moral dalam dinamika politik Indonesia.

Keterangan Bung Rokcy pun mengisyaratkan bahwa rekayasa dinasti politik menjadi simbol gagalnya kultur sehat demokrasi yang diciptakan oleh presiden. Akhirnya, Putera Presiden pun di prediksi akan menjadi calon tunggal pada proses Pilkada di Surakarta, Jawa Tengah itu setelah dukungan dari partai PDIP dan partai-partai besar lainnya.

Kedua, selain Putera Presiden Joko Widodo, isu kembali mencuat, kini sang menantu Presiden pun akan turut serta dalam proses pemilihan politik di Pilkada Medan, Sumatera Utara.

Hal ini memantik bagi publik melihat lingkaran kekuasaan Presiden dianggap sebagai momentum buat mereka dalam membangun dinasti politik yang akan ditata serapi mungkin agar kekuasaan terus berada digenggamannya.

Sekali lagi dilihat secara konstitusional tidak ada yang salah dengan realitas ini tetapi secara alam sadar rasional manusia, tidak ada yang salah sebagai publik memberikan asumsi penilaian dengan berangkat dari perbandingan-perbandingan logis lainnya terhadap figur yang akan memimpin mereka, karena ini adalah soal kemaslahatan umat bersama dalam mewujudkan masyarakat madani khususnya wilayah-wilayah yang ada dan umumnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kedua orang besar ini hanyalah sebagian kecil dari mewabahnya realitas dinasti politik yang tercipta di wilayah yang ada di negara ini. Endingnya popularitas yang hanya dapat ditonjolkan ketimbang bukti segudang predikat prestasi sebagai bukti dari simbol jejak rekam (track record) yang baik

Ironisnya pula sekarang, partai-partai yang diharapkan menjalankan sesuai fungsinya dengan independen dan integritas yang tinggi pun perlu dipertanyakan oleh publik dalam menyongsong arah demokrasi ke depan sebagai wahana untuk melahirkan pemimpin-pemimpin revolusioner demi memperbaiki bangsa ini apalagi di tengah musibah Pandemi Covid-19 yang dihadapkan dengan segudang problem yang kompleks di dalamnya.

Akhir dari kesimpulan penulis, siapapun berhak menjadi pemimpin tetapi satu hal yang urgent adalah kesadaran atas kapasitas kuat yang dimiliki dan kepercayaan masyarakat terhadap dirinya dengan bukti-bukti yang memang riil di mulai dari memimpin skala kecil hingga skala lebih besar.

Presiden sebagai kepala tertinggi pasti selalu menjadi sorotan di setiap gerak-geriknya, karena Presiden merupakan panutan bagi masyarakat yang harus memberikan contoh iklim demokrasi yang sehat dan rasional secara alam sadar manusia dan indepedensi etis sebagai baju untuk upaya menciptakan generasi-generasi pemimpin yang memang berkualitas di bidangnya masing-masing demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang di ridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis : Hanafi (HMI Tarbiyah IAIN Madura)

- Advertisement -

Berita Terkini