Kebangkitan Islam, antara Menara Filsafat dan Tasawuf

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Manusia sekarang sudah terjerumus jadi korban dari kerajaan akal yang ia buat sendiri. Filsafatlah yang menjadi basis peradaban bukan agama (dienullah). Ini jugalah yang menjadi kemunduran umat islam sebelumnya di era maraknya kaum muslim menyantap filsafat dan kemudian terlena olehnya. Ialah masa-masa Mu’tazillah.

Cordoba di Andalusia (Spanyol dan Portugal sekarang) yang di awal-awal adalah peradaban yang hanif namun pada akhirnya digerogoti oleh kemunduran akidah yang disebabkan oleh kaum Mu’tazilah.

Filsafat membuat pada tingkat tertentu sangat berguna, sebagaimana bergunanya sebuah sebuah senjata (alat), namun ketika perhatian justeru asik dengan mencintai senjata tersebut maka pada saat yang sama muslim menjadi lengah dan lalai.

Filsafat adalah olah fikir yang pada akhirnya mampu menciptakan kemegahan duniawi dengan capaian ilmu pengetahuan penuh inovasi, namun pada akhirnya melalaikan dan membuat muslimin mencintai dunia dan takut mati.

Di era Mu’tazilah peradaban islam luar biasa gemerlap dengan penguasaa science (ilmu pengetahuan) sebagai buah dari mengadopsi (mengislamkan) filsafat Yunani. Filsafat menjadi landasan bagi berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian memicu berbagai inovasi dan penemuan demi penemuan oleh para ilmuwan Islam kala itu. Hasil dari semua itu adalah kemegahan duniawi yang tak tertandingi namun sayangnya rapuh dalam akidah.

Pada era Mu’tazilah perdebatan yang tak berkesudahan tentang berbagai hal menjadi trend, bahkan sampai perdebatan perihal eksistensi Allah, lalu apakah al quran itu makhluk atau bukan dan sebagainya. Pada zaman inilah kemudian Andalusia luluh lantak dihancurkan oleh musuh, karena isinya lebih banyak orang yang terlena dan terhanyut dengan keindahan fana dari istana duniawi yang mereka bangun.

Mereka terlena dengan perdebatan yang menjebak di persimpangan, bingung di jalan bercabang antara kebenaran ilahiah dan kebenaran menurut filsafat yang dipopulerkan oleh Ibnu Sina, Al Farabi dkk dengan konsep Emanasi (kebenaran ganda). Al Farabi, yang mereka sebut sebagai guru ke dua (setelah Socrates), mensejajarkan derajat filosof dengan Nabi, menganggap manusia dapat dipimpin oleh nabi dengan tuntunan wahyu ilahi atau filosof yang dapat menemukan kebenaran dengan akalnya.

Kebangkitan Islam, antara Menara Filsafat dan Tasawuf
Net/Ilustrasi

Pada masa ini juga kehancuran baghdad sebagai pusat perkembangan ilmu-ilmu science dan filsafat ditelan bulat-bulat oleh pasukan Hulagu Khan. Allah mengirim Hulagu Khan untuk menghukum mereka yang ingkar karena mensejajarkan nabi dengan filosof.

Pada masa inilah muncul hamba-hamba Allah, rijalallah, kesatria Allah seperti Imam Ghazali, Imam Mathuridi, Imam Asy’ari dan Tokoh-tokoh besar Tasawuf yang menjadi landasan kebangkitan Islam kembali dan menjadi bekal spiritual bagi Salahuddin Al Ayubi, juga menjadi pondasi dari kekhilafhan Ustmani.

Lalu, barat kemudian memungut filsafat dan ilmu pengetahuan yang melenakan kebesaran umat islam itu dan mengimportnya ke negerinya sehingga menjadi bahan bakar utama bagi kebangkitan eropa setelah sekian lama pula terjadi gejolak.

Filsafat hasil pengayaan luar biasa oleh ilmuwan-ilmuwan Islam kemudian ditelan oleh Eropa yang pada awalnya juga melahirkan pertentangan hebat antar kaum gereja dengan kaum modernis yang disebut oleh mereka sebagai zaman renaisans. Pada masa ini terjadi pertarungan sengit antara ilmuwan dan gereja, perebutan pengaruh antara rakyat yang terprovokasi oleh filsafat dan ilmu pengetahuan. Pada zaman inilah sekularisasi melanda eropa. Pemisahan gereja dengan kerajaan dan lahirlah kristen protestan, anglikan dan berbagai aliran yang tidak lagi mengakui kepemimpinan Paus dan kepemimpinan Gereja ortodoks sebagai pimpinan tertinggi umat kristen. Inilah yang disebut sebagai kemajuan, kemoderenan.

Pada masa ini pulalah lahirnya revolusi demi revolusi yang dilihat oleh kaum awam sebagai perbaikan dan kemajuan manusia. Revolusi Inggris dan Prancis kemudian mengawali tumbuhnya kekuatan baru di eropa dan menjadi pemicu gelombang kolonialisme ke berbagai penjuru dunia hingga ke negeri kita Indonesia.

Pengingkaran atas kekuasaan dan pengaruh gereja itu sudah dialami oleh dunia Islam sebelumnya di masa Mu’tazilah merebak, akibatnya mirip, adalah munculnya kesombongan dan keingkaran umat dan menjauh dari para imam dan ulama. Semua orang merasa punya otak untuk berfikir dan menafsirkan sendiri ajaran agamanya. Tidak perlu lagi berguru kepada ulama yang hanif yang sanad keilmuannya terjamin sampai kepada Rasulullah.

Ironinya kini, umat Islam di dunia, khususnya di Indonesia menjadikan kemegahan peradaban Eropa sebagai sesuatu yang juga ingin dicapai, padahal ia lahir dari sebuah kekufuran, yakni gelombang Neo Mu’tazilah yang sudah sempat dibuang dan diusir jauh-jauh dari kawasan kekuasaan Islam. Neo Mu’tazilah adalah yang menjadi bekal peradaban Eropa. Inilah kenaifan kita, menjadi pengikut gerbong yang sebenarnya sudah berada dalam kesesatan yang nyata.

Kebangkitan Islam, antara Menara Filsafat dan Tasawuf
Net/Ilustrasi

Kebangkitan Islam yang pertama justeru lahir setelah membuang jauh-jauh kekufuran yang diakibatkan filsafat. Sesuatu yang mengakibatkan umat didera oleh penyakit cinta dunia sebagai akibat dari terlena oleh keasyikan membuat menara kesombongan yang dibenci Allah. Akal apabila tidak dibawah kendali qalbu adalah hal yang mudah ditunggangi iblis untuk menghasut dan menjerumuskan manusia melawan Tuhannya.

Hari ini, dunia menjadi ladang kekufuran. Menara-menara dari hasil “pandai-pandaian” manusia itu tumbuh subur menjadi bangunan-bangunan yang menjadi sandaran dan alasan bagi manusia untuk mengingkari dan melawan Penciptanya, pencipta seluruh alam dan segala sesuatu yang dimiliki dan dinikmati manusia.

Kini, menara itu sudah mulai rapuh, tidak ada yang abadi selain Dia yang maha kekal. Namun manusia yang daif dan malang masih terus bersandar dan saling bahu membahu untuk terus mempertahankan menara yang mereka ciptakan itu. Padahal zaman pasti berubah, musim pasti berganti, namun kelalaian manusia cenderung untuk terus mengabaikannya.

Dari menara-menara itu mereka memperoleh upah, kehormatan, pendidikan, jaminan sosial, asuransi, gelar dan dengan menara itu pula mereka bekerjasama membuat berbagai macam aturan dan tatanan uang melawan hukum dan ketetapan Tuhan.

Jangan pernah berharap akan ada tempat kembali yang lain, satu-satunya dan sebaik-baik tempat kembali hanyalah kepadaNya, dan seluruhnya pasti akan kembali, baik dalam keadaan rela maupun terpaksa.

Kebangkitan hamba-hamba Allah yang kedua sudah berlalu cukup lama, ialah ketika dinasti Salahuddin Al Ayubi dan Al Fatih Ustmani yang berakhir 1924, kebangkitan yang kedua kalinya (dan bisa jadi adalah kebangkitan yang terakhir bersamaan dengan akhir zaman), jalan kebangkitan itu adalah jalan yang sudah diretas oleh imam Al Ghazali cs, dengan kembali kepada dienullah dan mencampakkan kekufuran filsafat, jalan yang sudah dilalui oleh Imam Al Ghazali cs, dengan kembali kepada dienullah dan mencampakkan kekufuran filsafat, jalan yang sudah dilalui oleh para mujahid yang sudah terbukti menuntun kebangkitan yang pertama, ialah jalan tasawuf dengan akidah yang bersih dan murni.

Sudah terlalu lama umat ini terjebak dengan kebingungan yang membuat begitu banyak pembaruan dan inovasi untuk menyesuaikan agama dengan kepalsuan modernitas yang merupakan ujud dan hasil dari kekufuran filsafat. Ialah modernitas yang membangun Padang menara kekufuran berupa state yang menjamur dengan berbagai piranti-piranti kekufuran yang melengkapinya.

Terlalu panjang daftar modernis dengan berbagai variannya, yang terus melakukan pekerjaan sia-sia dengan terus mencoba menyesuaikan Islam dengan perkembangan palsu dari kemoderan itu, dimulai dari Jamaludin Al Afghani, Muhammad bin Abdul Wahab, M. Abduh, Rasyid Ridha, Taha Husain, Yusuf Qardawi, Hasan al Bana, Sayid Qhutb, Maulana Al Maududdi, Fazlurrahman, Nurcholis Majid dan banyak lagi hingga sederet daftar panjang yang bahkan sampai kepada diri kita sendiri. Berbagai rekayasa penyesuaian yang pada akhirnya membuat kita justeru semakin jauh dari agama Allah.

Penyesuaian demi penyesuaian yang sejatinya justeru melucuiti menelanjangi akidah kita, keyakinan dan kepercayaan diri kita hingga mendapatkan diri kita di padang hampa tanpa kehormatan lagi, dipermainkan bagai buih diatas kecamuk gelombang zaman yang dikendalikan oleh iblis dan kaki tangannya.

Meruntuhkan menara itu adalah dengan cara membelakanginya, meninggalkannya dan kembali kepada jalan-Nya, ialah jalan tasawuf. Ialah kini yang menjadi jawaban bagi persoalan umat Islam bahkan persoalan dunia. Kembali bergantung kepada tali Allah.

Jakarta, 27 Juli 2020

Penulis : Ali Wardi (Mantan Aktivis Badko HMI Sumut)

- Advertisement -

Berita Terkini