Haluan Ideologi Pantat

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Beberapa orang teman bertanya padaku terkait dua masalah beberapa hari ini. Pertama masalah yang melanda banyak Negara-negara, yaitu terkait mengenai Pandemi Covid-19 atau nama kerennya yang menakutkan; Corona. Nama yang menakutkan ini (Corona) hampir-hampir melukai teman-temanku dari suku Karo. Untunglah virus itu tidak bernama Carona (dengan huruf awal “K”).

Masalah yang kedua adalah masalah tingkat nasional yang menghasilkan penolakan di mana-mana. Jika yang masalah yang pertama itu disebabkan virus yang kita ketahui awal mulanya dari Wuhan-Cina, masalah kedua ini lahirnya dari gedung mewah Wakil Rakyat Indonesia sendiri, yaitu Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

Rupa-rupanya bukan hewan yang tak berpikir saja bisa membuat masyarakat resah, mereka yang katanya pinter-pinter dengan sederet gelar sarjana suka juga buat resah masyarakat. Sampai-sampai beberapa temanku meminta tanggapan dariku terkait dua masalah itu.

Aku pun mulai berceloteh menanggapi kedua permasalahan. Menanggapi yang pertama, aku katakan pada mereka bahwa aku bukan virologi dan atau ahli virus. Jadi aku tidak dapat membahasnya secara ilmu pasti. Teman-temanku mengatakan bingung dengan Si Corona itu, aku pikir bukan mereka saja, tapi masyarakat lainnya juga.

Aku sih sebenarnya tidak bingung-bingung. Dalam pikiranku tinggal buka kamus kesehatan aja, apakah Corona ini hal yang baru dalam dunia kesehatan atau belum pernah ditemukan ahli-ahli virus, tingkat nasional atau pun internasional. Teman-temanku tidak ingin jawaban singkat, mereka lagi-lagi ingin mengetahui tanggapanku panjang kali lebar sehingga melebar.

Kukatakan saja lagi bahwa aku juga bingung dengan ada temanku yang diperiksa tiba-tiba ia positif, positif hamil. Ada juga temanku yang diperiksa, hasilnya keluar positif, positif Narkoba. Dan yang paling berdukanya ada seorang teman yang sudah menikah tapi sudah lima tahun belum ada momongan, temanku itu bersih, positif. Aku katakan bersabar saja, banyak-banyak berdoa, puasa dan banyak makan makanan yang mengandung kunyit. Kukatakan lagi pada teman yang positif bersabar, karena yang positif Corona sedang banyak bersabar.

“Ah, Abang entah ngomongin apa,” kata teman-teman yang meminta tanggapanku.
“Terus aku mau bilang apa?” tanyaku.

“Terkait virus Corona itu loh, Bang,” kata mereka lagi.
Aku kembali menceritakan pada mereka Siswa-siswa yang tamat tahun 2020 ini adalah disebut tamatan Corona. Mahasiswa-mahasiswa baru tahun 2020 ini adalah Angkatan Corona, dan yang Sarjana-sarjana tahun 2020 ini juga Sarjana Corona. Teman-temanku itu keberatan tidak sepakat.

“Kenapa pula dibilang begitu, Bang?” tanya seorang teman protes.

“Begini saja,” kataku. “Kalau ada temannya atau siapanya yang nanya dia tamat tahun berapa atau masuk kuliah tahun berapa. Apa jawabnya coba?”

“Kan dia ingat tahunnya, Bang?”

“Kalau dia lupa tahun?” tanyaku balik. “Ini misalnya kau lah yang tamat tahun 2020 ini, sepuluh atau dua puluh tahun kedepan ada yang nanya lah, kau lupa tahunnya, kau jawab apa?” kataku.

Temanku itu tidak menjawab, tapi mulutnya cengar-cengir macam kuda brastagi.

“Trus terkait masalah er uu ha ipe itu, Bang?” tanya seorang teman lagi.

“Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila itu?” tanyaku balik.

“Iya, Bang.”

Terkait masalah ini juga sebenarnya aku bingung. Wajar dong aku bingung karena aku bukan pakarnya. Aku ditanya pro apa kontra terkait RUU HIP itu, kujawab saja aku belum ambil pusing terkait itu. Aku masih pusing uang kantong. Kemudian teman-teman protes menuduhku sepakat. Kukatakan saja, “Coba kalian lihat ada gak tanda tanganku menyetujui RUU itu?”

Mereka terdiam cengar-cengir macam kuda brastagi. Ada yang bertanya terkait penafsiran Pancasila. Kukatakan saja namanya masih buatan manusia silahkan ditafsirkan, firman Tuhan aja ada tafsirannya, kataku. Kuterangkan dari awal di sahkannya Pancasila sudah dalam perdebatan sehingga disepakati seperti sila-sila yang sekarang yang pernah menghapuskan tujuh kata (kalau tak salah) dalam Sila Pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di jadikannya pun Pancasila sebagai dasar Negara bukan dari suara terbanyak yang memenuhi syarat yang ditentukan. Pancasila kan terkesan dipaksakan waktu itu. Akan tetapi, demi persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia, Pancasila di sahkan. Katakanlah Pancasila sebagai jalan tengahnya. Kalau kata Cak Nur, Pancasila sebagai titik temu (kalimatun sawa).

“Kalau masalah komunis-komunis itu, Bang?” tanya mereka lagi.

“Oooh, masalah komunis-komunis itu?”

“Iya, Bang. Gimana itu kalau bangkit lagi?”

Kukatakan pada mereka tidak akan bangkit selama pondok-pondok pesantren masih berdiri kokoh di negeri ini, selama TNI masih cinta tanah air, selama aktivis-aktivis Pancasila masih ada, selama aktivis-aktivis Islam, selama yang beragama masih meneguhkan kalimat ketuhannya, komunis tidak akan mampu bangkit. Tapi jika kemunafikan lebih menjamur, yang tak komunis pun akan lebih komunis daripada komunis itu sendiri. Tokoh-tokoh masyarakat akan lebih Marx daripada si Karl Marx, lebih Lenin daripada Vladimir Lenin itu, lebih Mao daripada Mao Zedong.

“Maka kalau bagi aku bukan HIP itu yang lebih meresahkan,” kataku.

“Terus apa, Bang?”

“Namanya HIP juga sih.”

“HIP kayak mana pula itu, Bang?”

“Haluan Ideologi Pantat, itu lebih meresahkan dan lebih berbahaya. Dan sekarang ini lebih menjamur, menjangkit, menyebar virusnya.”

“Tolong jelaskan sedikit maksudnya, Bang!” pinta mereka.

Aku pun menjelaskan bahwa Haluan Ideologi Pantat atau HIP ini maksudnya adalah ada manusia-manusia berideologi pantat dan ada di pantat atau pikirannya bagaimana agar supaya pantatnya bisa duduk nyaman, duduk ditempat yang empuk, tidak peduli bagaimana cara mendapatkannya, tidak peduli halal-haramnya, tidak peduli baik-buruknya, yang penting itu pantat bisa nyaman atau itu pantat bisa dapat. Apalagi tempat pantatnya berkelas dan bisa menghasilkan uang. Atau pantat itu sendiri bisa menghasilkan uang.

Setelah kujelaskan sedikit pada teman-temanku mereka pun cengir-cengir lagi. Cengar-cengir kayak pantat. Aku pun menggaruk-garuk pantatku. Wajarlah karena sedang duduk di atas sofa busuk. Lagi pula sempak jarang diganti karena jarang pulang ke rumah, aku masih sibuk menjalankan dunia aktivis yang sering di luar istana. Sempak aktivis baru ganti kalau habis mandi kemudian dipakai lagi tapi harus di balik, besok dipakai itu lagi, tapi dibalik lagi. Konklusinya sempak diganti dengan bolak-balik. Yang terpenting ideologi bukan ideologi pantat.[]

Penulis: Ibnu Arsib (Bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa).

- Advertisement -

Berita Terkini