Mendagri Tito Usul Lagi Pilkada Asimetris, Ini Alasannya

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian kembali mengusulkan ide soal penerapan pemilihan kepala daerah (pilkada) asimetris. Tito menjelaskan beberapa alasan terkait usul ini.

Mulanya, Tito menjelaskan soal dampak negatif dan positif pilkada langsung dalam diskusi webinar bertajuk ‘Mengapa Kita Butuh Kepala Daerah?’ yang diselenggarakan oleh Nagara Institute, Minggu (20/6/2020).

“Pemilihan langsung ini ada aspek positif, ada aspek negatifnya. Aspek positifnya yang saya sampaikan tadi adalah kita ingin ada pemimpin-pemimpin baru. Ada calon perorangan. Ada legitimasi yang kuat dari kepala daerah karena dipilih rakyatnya. Itu sisi positifnya,” kata Tito dalam siaran akun YouTube Nagara Institute.

“Tapi sisi negatifnya juga ada. Kita tidak nafikan itu. Yang pertama adalah manipulasi demokrasi dengan sistem pemilihan langsung. Karena jika demokrasi pemilihan langsung ini diterapkan pada masyarakat yang masih berbentuk piramida, artinya hanya hanya sedikit yang high class, low-middle class-nya tidak terlalu besar dan sebagian besar low class,” sambung Tito.

Menurut mantan Kapolri ini, masyarakat menengah ke bawah kebanyakan belum memahami arti penting demokrasi. Akibatnya, mereka pun mudah dimanipulasi.

“Low class kita adalah mereka yang poorly educated, secara pendidikan tidak memadai dan secara kesejahteraan tidak memadai. Nah, mereka belum memahami arti demokrasi. Akibatnya, di daerah-daerah tadi yang para pemilihnya dipenuhi oleh low class, kualitas pemimpin yang dipilih belum sesuai dengan yang diharapkan. Karena memang masyarakatnya mudah dimanipulasi,” jelas Tito.

Tito pun sempat bercerita soal pengalamannya ketika menjabat Kapolda Papua. Tanpa bermaksud merendahkan, dia melihat masyarakat di sana belum cukup memahami arti demokrasi.

Berangkat dari beberapa alasan ini, Tito pun kembali mengusulkan soal pilkada asimetris. Pilkada asimetris ialah pelaksanaan pilkada yang didasarkan pada kedewasaan demokrasi tiap daerah. Bagi daerah yang dianggap mengerti demokrasi, pilkada langsung bisa diterapkan. Namun, jika di daerah tersebut penduduknya belum memiliki kedewasaan demokrasi yang mumpuni, pilkada digelar secara tidak langsung.

“Sistem pilkada langsung ada dampak positif dan negatif, sehingga saya pernah menyampaikan dalam satu forum, termasuk mungkin Pak Dolly (Ketua) Komisi II. Waktu pertama kali menjabat sebagai Mendagri, saya pernah melemparkan ide tentang pilkada asimetris, yaitu pilkada yang tidak dilaksanakan dengan secara langsung,” ungkapnya.

Tito menilai model pilkada asimetris ini bisa mengurangi dampak negatif pilkada. “Untuk pilkada asimetris ini, yang pertama, untuk mengurangi dampak negatifnya. Kita harus melihat kedewasaan demokrasi,” jelasnya.

Sebelumnya untuk diketahui bahwa Tito sempat melemparkan wacana pilkada asimetris pada November 2019. Menurut Tito, di daerah yang dianggap mengerti demokrasi, pilkada langsung bisa diterapkan. Namun, kata Tito, lain cerita jika di daerah tersebut penduduknya belum memiliki kedewasaan demokrasi yang mumpuni.

“Tapi di daerah tertentu yang tingkat kedewasaan demokrasi rendah, itu mau berbusa-busa calon kepala daerah bicara tentang programnya, nggak didengar. Karena memang kemampuan intelektual literasi rendah, nggak nyampai,” ujar Tito, Senin (18/11/2019).

“Sehingga alternatifnya asimetris mungkin, yaitu di daerah yang Index Democratic Maturity tinggi, ini pilkada langsung. Yang rendah, maka ini mekanisme lain, apakah melalui DPD, DPRD seperti dulu. Tapi bagaimana reduce damage juga kalau problem di DPRD, bagaimana dengan independen tadi, mereka bisa terakomodasi solusinya seperti apa?” ungkap Tito.

Sumber: detik.com

- Advertisement -

Berita Terkini