Secercah Catatan Dari Belasan Tahun Bersama Tokoh Dan Kader PKI

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM

Catatan Seorang Mantan Tahanan Politik Komando Jihad

Sejak ditangkap dan ditahan oleh Laksus Pangkopkamtibda Sumut pada tengah malam menjelang Shubuh, tanggal 17 Januari 1977, aku mulai bersentuhan dengan kader dan tokoh PKI disebabkan kami ditempatkan di tahanan yang sama, sejak dari Satgas Intel di Jalan Gandhi Medan sampai ke Inrehab dan terakhir di Lapas Kls I Tanjung Gusta Medan pada tahun 1986 hingga aku dibebaskan oleh Presiden B.J. Habibie pada 5 Januari 1999.
Jadi, kebersamaanku dengan mereka selama 22 tahun kurang 15 hari.

Mungkin dikarenakan aku divonis dengan pidana mati oleh PN Medan, para kader dan tokoh PKI yang sama-sama ditahan denganku tidak merasa khawatir untuk bicara terbuka kepadaku. Tentu bisa menjadi buku yang cukup tebal bila aku menuliskan semua “catatan batin” selama berinteraksi dengan mereka. Namun, aku hanya menorehkan secercah dari catatan batin itu yang kupikir dan kurasa relevan dengan situasi dan kondisi di tanah air saat ini, di mana gonjang ganjing kebangkitan kembali PKI begitu heboh di hampir semua media.

Ada yang membenarkan dan ada pula yang menafikannya.

Aku menegaskan di awal tulisan ini dengan menyatakan bahwa, PKI memang berusaha untuk kembali bangkit.

Dasar atau alasan saya menyatakan seperti itu ialah :

1. Pernyataan Kolonel Maliki, mantan Komandan Brigif (?) Kodam II/BB (sekarang Kodam I/BB), ketika kami berdialog aku bertanya kepadanya :
“Kenapa Bapak memilih ditangkap padahal pada waktu itu pasukan Brigif di bawah komando Bapak?”
“Inilah gara-gara mengikuti cakap si Aidit, tunggu perintah Bung Karno baru bergerak.”

Keterangan pak Maliki itu merupakan bukti (bagiku) bahwa PKI dan tentara binaannya (Kolonel Untung, dll) adalah ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Tidak bisa dikatakan gerakan Untung menculik dan membunuh para Jenderal di Lubang Buaya sebagai persoalan internal TNI/AD semata.

2. Ketika bincang-bincang dengan Pak Tamat, kader PKI yang tidak divonis tapi menjalani masa tahanan cukup lama (belasan tahun?) beliau mengeluarkan uneg-unegnya kepadaku.
Dia dan kawan-kawannya (istilah mereka menyebut sesama mereka dengan sebutan “kawan”) sangat benci dan dendam kepada TNI/AD terutama kepada Suharto yang menumpas PKI sampai ke akar-akarnya.

Antara lain katanya :
“… sekarang kami tidak bisa bikin apa-apa, tapi nanti ada saatnya kami akan balas semua yang dibikin mereka kepada kami. Sekarang kami sudah masuk (infiltrasi) ke mana-mana (Ormas, Parpol, Angkatan, dan lain-lain)

Mendengar keterangan Pak Tamat itu aku membatin di hatiku :

“mimpi aja lah terus…”
Akan tetapi melihat keadaan serta apa yang terjadi sekarang, ternyata pak Tamat bukan bermimpi, apa yang diucapkannya ketika itu hampir terbukti semua menjadi kenyataan bahwa, sepertinya mereka telah ada di mana-mana. Dengan senyap maupun dengan arogan penuh percaya diri. Sehingga menjadi aneh jika orang-orang pintar mengatakan PKI sudah mati tidak mungkin hidup kembali.

Atau benar kata Prof Din Syamsudin bahwa yang bilang komunis tidak mungkin bangkit lagi, sesungguhnya adalah komunis itu sendiri.

Oleh karena itu saya ingatkan kepada kita semua, terutama generasi muda, untuk tidak terlena oleh ucapan yang seolah-olah meremehkan PKI namun sesungguhnya ucapan-ucapan seperti itu hanya untuk meredam gejolak kewaspadaan masyarakat, terutama umat Islam yang tersentak sadar melihat indikasi kebangkitan PKI memang begitu nyata.
Apalagi penulis buku “Aku bangga jadi anak PKI”, secara terbuka menyatakan bahwa anak cucu PKI sudah berjumlah 20 juta orang.

Ditambah dengan kedatangan TKA dari Cina dengan perawakan militer dalam jumlah begitu besar (ratusan ribu atau sudah jutaan?)
alhamdulillah …telah membangunkan kesadaran tentang ancaman bahaya komunis, meski tidak bernama PKI.

3. Pak Isnanto adalah temanku bermain catur, dan juga teman dialog yang kritis. Beliau mengaku sebagai anggota CC PKI yang dipindahtugaskan dari daerah asalnya, Solo.
Kata beliau, tugasnya adalah membina para pejabat dari semua lapisan yang mendukung atau bersimpati pada PKI. Pak Is di vonis hukuman mati dan permohonan grasinya telah ditolak oleh Presiden Suharto, artinya tinggal menanti pelaksanaan eksekusi.

Beliau adalah kader dan tokoh PKI sejati. Namun, dalam setahun beliau mau juga ikut shalat yaitu, shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Bulan Ramadhan ikut shaum, tetapi alasannya untuk kesehatan bukan ibadah.

Yang penting kusampaikan tentang Pak Is ialah militansinya, yang meski telah dalam keadaan menanti dieksekusi, menjawab komentarku dengan tegas tanpa sedikitpun tampak kebimbangan.

Aku bilang padanya begini :
“… Komunis terbukti telah gagal di dalam menyejahterakan umat manusia. Uni Sovyet bubar berantakan, begitu pula Eropa Timur, dan simbol yang fenomenal, Tembok Berlin, juga telah rubuh.”

Dengan enteng dan tenangnya Pak Is berkata
“biasa, mundur selangkah untuk maju seribu langkah”

Itu membuktikan bahwa PKI sebagai organisasi (partai) telah mati atau dibubarkan, akan tetapi komunis sebagai ideologi akan tetap hidup di jiwa penganut-penganut setianya.
Aku salut atas militansi Pak Is, tetapi beliau tidak kalah salut kepadaku dikarenakan aku minta “laksanakan segera hukuman mati terhadap saya dan saya minta laksanakan di depan umum” kepada hakim ketua majelis yang juga Ketua PN Medan, Koeswandi SH, ketika menjawab pertanyaannya, apakah aku menerima, atau banding, atau akan minta grasi atas vonis (hukuman mati) yang baru dibacakannya.

Pak Is semakin hormat kepadaku setelah aku menyelamatkannya terlebih dahulu dari Napi yang lain dengan membuka pintu kamar dan mengeluarkannya dari kamarnya yang terkunci ketika terjadi peristiwa Iwan Dukun yang tewas terbakar di kamarnya yang dikuncinya sendiri untuk menyelamatkan diri dari serangan lawan-lawannya.

Eksekusi terhadap Pak Is tidak terlaksana karena, beliau termasuk yang turut dibebaskan oleh Presiden B.J. Habibie, semoga ALLAH Swt ampuni dosanya dan ditempatkan pada tempat yang terbaik di alam sana. Aamiin…

4. Aku bertemu lagi dengan Pak Isnanto di dalam acara Temu Raya mantan Tanapol pada tahu 2002 di hotel Cempaka, Jakarta.
Kami sama-sama masuk di stering comite.
Acara Temu Raya itu disponsori oleh Sdr. Yopi Lasut, Ketua Yayasan Hidup Baru yang selalu membesuk para Tanapol sehingga punya hubungan yang cukup akrab dengan Tanapol dari semua aliran, kiri maupun kanan, dan lainnya.

Aku berangkat lebih awal dari teman-teman lainnya karena aku masuk di stering comite sehingga perlu mengikuti pertemuan-pertemuan yang, menurutku semua itu merupakan skenario Tanapol kiri. Karena dari pokok-pokok pikiran yang mereka kemukakan, aku membaca target mereka adalah tercapainya kesepakatan dan pernyataan bersama minimal tentang dua hal yaitu,

– Tuntutan dibatalkannya TAP MPR No. 25 tahun 1966 tentang larangan ajaran komunis, dan
– Pelurusan sejarah, yang dimaksud mereka sebagai pembentukan opini bahwa PKI adalah korban peristiwa 1965, bukan pelaku.

Tanapol kiri terlalu percaya diri dan memandang rendah peserta yang lain. Mereka juga tidak malu berbohong di hadapan ratusan peserta acara Temu Raya tersebut.

Suatu pagi (hari keberapa aku lupa) panitia memintaku untuk hadir di suatu ruangan untuk rapat Komisi Pelurusan Sejarah. Setiba di ruangan itu telah hadir sekitar 20 orang, dan tidak seorang pun Tanapol kanan. Semua Tanapol kiri.
Aku dipersilakan duduk di depan, sebagai pimpinan sidang kata “panitia” yang menjemputku ke kamar.

Insting politisku begitu cepat menangkap maksud mereka hendak menjebakku. Akan tetapi aku ikuti saja permainan mereka, dan setelah duduk sebagai pimpinan sidang, aku mempertanyakan adanya Komisi Pelurusan Sejarah yang di dalam rapat-rapat stering comite tidak pernah dibicarakan, dan tidak juga pada sidang pleno pengesahan Tatib acara.
Beberapa dari mereka yang ada di ruangan itu angkat bicara, meyakinkanku bahwa komisi itu ada dan disahkan dalam sidang pleno.

Sungguh aku baru kali itu bertemu orang-orang yang di dalam rapat seperti itu mau dan berani berbohong secara bersama-sama begitu. Mungkin pikir mereka, dengan cara seperti itu akan dapat mempengaruhi dan meyakinkan aku untuk percaya dan menerima apa yang mereka katakan.

Menghadapi tekanan seperti itu aku menyatakan dengan tegas, akan bertanya dulu kepada teman-temanku dari Tanapol kanan. Bila mereka mengatakan memang ada Komisi itu, aku akan kembali memimpin sidang. Tapi jika tidak, maka aku tidak akan kembali.

Ternyata teman-teman Tanapol kanan tidak seorangpun yang membenarkan adanya Komisi Pelurusan Sejarah itu. Aku tidak kembali ke ruang rapat tadi, dan segera berkoordinasi dan konsolidasi untuk menyikapi perkembangan itu. Ditetapkan di dalam pertemuan singkat itu, aku menjadi juru bicara Tanapol kanan pada sidang pleno terakhir.

Benar sebagaimana perkiraan kami, pada sidang pleno terakhir mereka yang hadir di ruang rapat “Komisi Pelurusan Sejarah” minta diberi kesempatan bicara untuk menyampaikan laporan mereka. Selesai wakil mereka bicara aku langsung bicara (setelah ijin pimpinan sidang), membantah dan menolak adanya komisi tersebut. Itu terjadi sampai beberapa kali, setiap mereka bicara meyakinkan peserta Temu Raya bahwa Komisi Pelurusan Sejarah itu memang ada, setelah itu aku terus membantahnya.

Mereka baru berhenti setelah sdr. Casman Prawiro, Tanapol kiri yang kukenal ketika sama-sama ditahan di Inrehab Sukamulia Medan, berbicara meluruskan persoalan. Dinyatakannya bahwa Komisi Pelurusan Sejarah memang tidak ada.

“Dalam hal ini apa yang dikatakan sdr. Timsar memang benar,” katanya di hadapan sekitar 800 orang peserta acara Temu Raya mantan Tanapol itu.

Dari pengalaman yang kuceritakan di atas, aku menemukan bukti bahwa prinsip menghalalkan segala cara memang dianut oleh paham komunis, sehingga tidak mengherankan bila mereka menyatakan bahwa mereka adalah korban di dalam peristiwa 1965 bukan pelaku.
Kegigihan mereka berusaha patut diacungi jempol, tetapi bohongnya tentu wajib dihindari.

Aku mengakhiri secercah catatan batinku ini dengan kesimpulan sebagai berikut :

Pertama,

Kader komunis sangat militan.

Kedua,
Mereka bekerja sistematis dan terencana

Ketiga,

Infiltrasi yang mereka lakukan seperti yang dikatakan Pak Tamat sejak tahun 1980 yang lalu telah membuahkan hasil nyata sekarang ini.

Keempat,
waspada, jangan terlena oleh suara-suara yang meremehkan mereka. Apalagi terhadap pernyataan PKI sudah mati, tidak mungkin bangkit lagi.

Kelima,

RUU HIP sangat kuat indikasi pengaruh kepentingan komunis, karenanya harus ditolak.

Keenam,
Banyaknya TKA asal Cina yang umumnya berpostur seperti meliter, dan banyaknya senjata ilegal, seperti yang pernah ditangkap Jenderal Gatot Nurmantiyo semasa jadi Panglima TNI amat patut diwaspadai.

Ketujuh,
Konsolidasi, dan bekerja dengan berpedoman kepada tuntunan yang ALLAH Swt berikan di dalam firmanNYA pada Surat Ali Imran ayat 200. Artinya :
Hai orang-orang yang beriman bersabarlah dan (kuatkan) kesabaran (itu) dan bersiaga (hati-hati, teliti, waspada), dan bertaqwalah kepada ALLAH niscaya kamu beroleh kemenangan (keberuntungan, dunia dan akhirat).

Wassalam dariku,
Sudirman Timsar Zubil.

- Advertisement -

Berita Terkini