Siapa Mengorupsi Reformasi?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Di Tiongkok, bandit negara selalu dilakukan oleh komunis nasionalis yang sangat anti-kebudayaan Barat. Di negeri monarki Arab, para pembajak negara selalu diperankan feodalis kaya yang bekerjasama dengan pemimpin agama untuk menundukkan rakyat. Di Israel, Zionis yang sangat ultranasionalis dan memakai sentimen ke-Yahudi-an, meminjam politik kebencian untuk mendominasi sistem negerinya.

Di Malaysia, politisi kanan yang muslim selalu menyandera etnis Cina dan India dengan ‘Nasionalisme Melayu’. Di Mesir, presidennya membiarkan jenderal militer berjamaah merampok proyek negara agar tetap mendapat dukungan memimpin. Di Indonesia, politisi tengik biasa menjual nasionalisme dan chauvinist agama mayoritas untuk berkuasa. Partai model itu selalu menipu rakyat saban tahun, dan sialnya lagi, rakyat tak pernah sadar dirinya dibohongi elit.

Sejak mencoba mereformasi diri pada 1998, Indonesia sudah gagal pada saat memulai. Pelaku perkosaan perempuan Tionghoa tak diadili, mayat Wiji Thukul masih dihilangkan, jenderal berlumuran darah masih berkuasa, militer belum sepenuhnya masuk kandang, dan hak asasi manusia masih jadi basa-basi busuk mulut politisi. PDI-P yang selalu menjual klaim nasionalis, nyatanya juga tak berkutik di hadapan politik transaksional.

Jokowi, yang dicitrakan sebagai orang kecil yang tiba-tiba ketiban kepercayaan rakyat, mengalami tumpul taji. Makin lama, perlahan ia makin dikendalikan hantu politik di belakangnya. Saat ketidakbecusan pengelolaan negara kian tampak, penegak hukum ditekan untuk membasmi suara kritik. Akhirnya dengan dalih hoaks, ujaran kebencian, pasal karet UU ITE, entah sudah berapa ratus warga sipil dipenjara.

Ganasnya hukum UU ITE tak hanya menyasar aktivis, anggota LSM, buruh, mahasiswa atau wartawan, juga istri tentara pun kena cakar. Yang jadi pertanyaan, apa layak sebuah negara mengklaim demokrasi kalau sedikit saja warga marah atas ketidakbecusan rezim dipenjara? Rakyat sudah bayar pajak, rakyat mengeluarkan uang terus menerus untuk menggaji aparatus negara. Bukankah wajar bila warga geram dan kecewa atas ketidakberesan pengelolaan negara?

Kemarin banyak Aktivis senior yang kini jadi politisi dan antek rezim berujar, katanya aktivis 98 adalah generasi emas terakhir yang dimiliki Indonesia. Mereka mengigau? Generasi unggul itu tidak dihitung ia lahir tahun kapan. Aktivis 98 hebat karena mereka memang hebat? Tidak. Itu karena Soeharto sudah tua dan ia tak lagi semangat berkuasa karena ditinggal mati istrinya, Bu Tien.

Kalau mau, Soeharto dapat berkuasa hingga 2008, bukan 1998. Kenapa? Karena sampai dengan 27 Januari 2008, ia masih hidup. Kalau Soeharto masih mau berkuasa, memangnya ABRI berat menumpas demonstran? Tidak. Militer, polri, mereka sudah biasa menembaki orang. Apa sulitnya memberondong pengunjuk rasa dengan senapan mesin atau melindasnya dengan tank? Tiongkok pada 1989 melakukan itu semua di Lapangan Tiananmen.

Orang dulu begitu bangga Soeharto jatuh, karena dengan tumbangnya zaman lama, era baru penuh HAM dan kemajuan akan muncul. Yakin, begitu? Tidak. Fakta tidak demikian. Orde Baru gagal menjunjung tinggi hak dasar warga, tapi rezim reformasi juga tidak sukses. Kalau memang tujuan berdirinya negara untuk mencapai kesejahteraan umum, kenapa kapitalis yang sangat kaya dibiarkan menggaji rendah karyawan. Toh, kita paham kalau upah dinaikkan, harta pengusaha tetap melimpah.

Pendidikan di SD, SMP, SMA, di perguruan tinggi, pelatihan militer, polisi, semua pemuda diajarkan untuk cinta tanah air. Ini aneh. Kenapa? Untuk apa? Itu tak perlu. Memangnya ada petani yang tak cinta pada sawahnya? Memangnya ada nelayan yang tak cinta pada sungai tempat ia menjaring ikan? Memangnya ada petambak yang tak cinta tambaknya? Pendidikan nasionalisme itu ngawur. Semua orang di Indonesia cinta tanah airnya.

Siapa Mengorupsi Reformasi?
Net/Ilustrasi

Cinta pada tanah, danau, sungai, tambak, itu alamiah. Tidak perlu digembar-gemborkan seolah rakyat tak punya kesadaran tentang apa yang jadi miliknya. Sekarang masalahnya bukan terletak di rakyat, tapi pemerintah. Kalau kita semua harus cinta NKRI beserta tanah dan airnya, kenapa bupati, gubernur, menteri membiarkan pabrik membuang limbah ke sungai? Apakah membunuh ekosistem itu bagian dari cinta tanah air? Tidak! Lihat Citarum dan Ciliwung hari ini!

Cita-cita reformasi itu kan sebenarnya sederhana. Tidak susah diwujudkan kok. Siapapun yang korupsi, penjarakan. Berapapun kelompok warga memeluk kepercayaan tertentu, tugas negara mencatat, mengakui dan memberikan hak-hak administrasi. Kalau warga biasa tidak sengaja menyebarkan hoaks, lalu dipenjara, maka mulut pejabat yang mengeluarkan pernyataan berkonten hoaks, ngawur, bikin gaduh, mereka juga harus dipecat dan dipidana.

Negara, tidak usah mengajari rakyat tentang bela negara. Mau dia petani, nelayan, pemuda pengangguran atau buruh, kalau ada tentara asing menginvasi negeri ini, negara tidak perlu menyeret mereka untuk pergi perang. Dengan senapan atau golok, rakyat akan meloncat dari pintu rumahnya dan pergi menghadang penjajah. Di dalam tubuh kita semua mengalir darah pejuang. Angkat celurit itu sudah refleks dengan sendirinya saat serdadu asing masuk NKRI.

DPR RI itu sebenarnya lembaga mulia. Tak mungkin 270 juta warga bermusyawarah langsung menentukan arah kebijakan, pasti ribut, gaduh dan tak efektif. Maka muncul konsep sistem perwakilan. Gunanya agar rakyat dapat bekerja dengan tenang. Jadi, ia menggaji wakil agar bekerja untuk rakyat. Tapi itu semua teori idealitas. Di kenyataan ternyata ilusi. Maka, kalau DPR yang sekarang bekerja berkebalikan dari keinginan rakyat, lebih baik dibubarkan saja. Adakan pileg lagi untuk menendang anggota dewan hari ini.

Dalam tiga bulan belakangan, kita melihat rakyat babak belur oleh pandemi COVID-19. Buruh dipecat tanpa pesangon, sopir bus jalan kaki dari Jakarta ke Solo, janda tua kelaparan, ibu ibu meninggal tak punya makanan, suami yang bunuh diri, bapak yang tak berani pulang ke rumah karena tak bawa uang dan tak tega melihat anak lesu lapar, semua itu sebenarnya bukan karena negara tak punya uang. Tapi, kekayaan negara ini mandek di rekening gendut para konglomerat.

Kalau Presiden Jokowi merasa berkuasa, berani memotong kekayaan super luar biasa para taipan dan pengusaha besar? Saat ada ide begini, pengacara korporat langsung teriak ‘loh, apa dasar hukumnya merampas aset pengusaha’. Mereka selalu bicara hukum yang menghamba pada pengusaha. Apa mereka tak ingat prinsip mendasar hukum: Salus populi suprema lex esto. ‘Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi’.

Apakah nyawa rakyat sekarang terancam? Ini pertanyaan paling tolol sedunia. Memang mata anda picek? Anda tidak lihat, pengemis membiak seperti laron, buruh lugu yang dipecat tiba-tiba dan tiga hari tak makan, akhirnya nekad jadi pencuri. Semua orang was-was tak bisa makan. Blender, ponsel, tanah, pohon, bebek, kambing, semua dijual agar bisa makan. Kalau situasi ini berlanjut 6 bulan lagi, entah berapa nyawa lagi akan melayang.

Inikah reformasi? Yang caleg berlomba mendekati rakyat saat pemilu, tapi hilang bak hantu saat rakyat kesusahan. Kalau negara serius ingin mengentaskan kemiskinan, rezim jangan bikin hukum untuk pengusaha. Setiap presiden harusnya berpikir untuk memperbanyak program bagaimana gembel dan anak jalanan mendapat akses pekerjaan. Bagaimana buruh punya tabungan. Kalau perlu, paksa pengusaha membayar pajak lebih untuk polusi dan pencemaran lingkungan yang dilakukannya.

Kalau staf istana dan menteri tidak mampu bikin program revolusioner, hanya habiskan anggaran, omongannya cuma bikin gaduh sosial media, lebih baik pecat saja. Kita dulu berpikir Jokowi akan sangat beda dengan pemimpin sebelumnya. Kita ingin melihat ia tidak bagi-bagi jabatan, eh, sekarang malah menggemukkan menteri dan stafnya. Untuk apa banyak orang kalau kinerja rendah? itu uang rakyat kok, jangan dong dihamburkan untuk menggaji manusia tak produktif.

Jadi, siapa sebenarnya mengorupsi reformasi? Yang jelas jawabannya bukan rakyat, tapi rezim setelah Soeharto. Siapa? Mereka yang menjual teriakan kosong ‘NKRI Harga Mati’, tapi makan uang proyek secara tak sah. Siapa lagi? Mereka yang mengklaim pembela Pancasila, tapi tak pernah berusaha meratakan kekayaan nasional. Siapa lagi? Ia yang menyelinap masuk gedung DPR saat rakyat #DiRumahAja dan malah membahas Undang-Undang pencekik rakyat.

(Muhammad Mualimin, Penulis novel ‘Gadis Pembangkang’)

- Advertisement -

Berita Terkini