Islam, dari Rezim ke Rezim

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh : Ali Wardi SH, Aktivis Islam

Secara pribadi, dari berbagai sisi, Soeharto tentu sangat jauh lebih kuat dan lebih cerdas dibanding Jokowi, ini hampir mustahil dapat dibantah. Tapi Rezim Soeharto yang berkuasa 32 tahun itu kalah nekad dan kalah berani dibanding rezim Jokowi hari ini.

Begini ceritanya, dengan konstruksi rezim Orde baru yang mengalami pasang surut, sepanjang perjalanan rezim orba tidak pernah seberani dan senekad rezim hari ini.

Kita tahu sejak awal Jenderal Soeharto memang adalah Penguasa yang jauh dari Islam, itu terjadi setidaknya selama dua pertiga masa kekuasaannya, dari 1966 sampai era 90-an. Sejak awal memang kekuasaan Soeharto sangat memusuhi Islam yang ketika itu dipresentasikan dalam Partai Masyumi yang baru saja dipukul TKO oleh rezim Sukarno dan diteruskan oleh Suharto. Namun berbeda dengan rezim hari ini dan rezim Sukarno, Suharto juga memusuhi PKI.

Sepanjang sejarah 32 tahun Rezim Soeharto tidak pernah seberani dan seterbuka rezim Jokowi ini dalam memperlakukan umat Islam. Demikian juga di Rezim Sukarno, meski membubarkan Masyumi dan memenjarakan tokoh-tokoh Islam. Namun yang terjadi hanya di tingkat elit saja tidak sampai ke tingkat bawah, bilapun terjadi berbagai tragedi pembataian umat Islam di tingkat bawah hal itu diluar kendali Sukarno.

Sangat panjang daftar tragedi pembantaian umat islam di era orde lama oleh PKI, jutaan korban dibantai di berbagai wilayah, dan yang terparah adalah di Jawa Timur terhadap warga dan tokoh NU. Uniknya sekaligus Ironi, NU seolah melupakan semua itu dan para elitnya kemudian bermesraan dengan Orla dalam konsep Nasakom dan meninggalkan Masyumi. Kedudukan dan jabatan memang membutakan. Hal yang mirip kini juga terjadi.

Sementara di Rezim Suharto memang sungguh biadab. Daftarnya justeru lebih panjang, seiring lamanya Rezim ini berkuasa. Tragedi fenomenal dalam sejarah diantaranya peristiwa pembantaian umat islam di Tanjung Priok, Azas Tunggal dengan Normalisasi kehidupan Kampus (NKK BKK), penculikan aktivis, Petrus (Penembak Misterius), pembantaian umat Islam di Liwa Lampung oleh pasukan Garuda Hitam, rekayasa intelijen Woyla, penangkapan para aktivis dan terakhir peristiwa menjelang reformasi. Ini menorehkan luka yang teramat dalam di jiwa umat. Dan perlu digaris bawahi, bahwa kekuatan yang membonceng Rezim Suharto dan merupakan disigner sekaligus operator kebiadaban itu, kini masih hidup dan mereka adalah para jenderal merah yang terus dan akan terus berkolaborasi dengan seluruh kekuatan anti Islam.

Islam, dari Rezim ke Rezim
Ilustrasi

Satu per tiga di penggal terakhir kekuasaan Soeharto, di era 90-an Rezim Orba ini kemudian mendekat (atau lebih tepatnya didekatkan) kekuasaannya kepada umat Islam, proses pendekatan ini “dicomblangi” oleh kelompok Islam yang berada di lingkaran kekuasaan Orba waktu itu, seiring dengan masa pertobatan atau kesadaran Suharto sebagai seorang muslim (akhirnya). Kondisi ini sangat membuat cemburu kekuatan kaki-tangan CIA yang mendampingi, mensupervisi serta mengawal ketat arah kekuasaan Soeharto, itulah poros Barkley, CSIS, LB Moerdani cs, sehingga mereka kemudian menelikung kekuasaan Soeharto dengan menjadikan momentum Reformasi sebagai kesempatan untuk menetralisir “ancaman” dominasi Islam yang sedang bangkit ketika itu.

Di saat umat islam fokus atau lebih tepatnya terjebak, dengan agenda reformasi, mereka juga begitu sibuk dan fokusnya dengan ‘hidden agenda” mereka sendiri untuk kepentingan politik dan ideologi mereka.

Reformasi pada akhirnya memang tidak hanya mereka gunakan untuk menelikung Orde Baru yang sedang mesra-mesranya dengan Islam dibawah kelompok B.J. Habibie dan Jendral-Jendral Hijau, namun kelompok anti Islam itu sekaligus menelikung lapisan kekuatan generasi baru dari Islam di luar lingkaran Orba yang sedang menggeliat pula.

Reformasi akhirnya memang melepaskan katup-katup kekuasaan Soeharto yang sangat menggigit umat Islam, namun sekaligus menciptakan simpul-simpul baru dan simpul terusan yang jauh lebih kuat dan kompleks melebihi kekuatan anti Islam tersebut, termasuklah kekuatan Sosialis Komunis yang puasa selama orde baru, kini terus membesar dan menggeliat.

Ironisnya, kekuatan lapis baru kebangkitan generasi Islam yang lahir pasca reformasi itu justru terjebak di tengah gelanggang euforia “kemenangan” reformasi dan menjadi santapan dari sandiwara dan provokasi kekuatan anti islam, lebih celakanya hingga hari ini hal itu masih terlalu banyak yang belum menyadari.

Para tokoh islam era reformasi satu-persatu menjadi target pembasmian dari “pestisida” ciptaan dengan berbagai model dan varian racikannya. Entah itu dengan pembullyan secara politis, jebakan-jebakan korupsi dan maksiat atau pornografi, satu-persatu tokoh muda Islam berguguran waktu demi waktu sepanjang era reformasi.

Islam, dari Rezim ke Rezim
Net/Ilustrasi

Sambil menyiangi dampak langsung dari keampuhan pestisida tersebut kemudian mereka mengisi dan menyisipkan pula satu per satu tokoh-tokoh dari kalangan mereka. Sembari terus menciptakan iklim kamuflase berupa jebakan undang-undang baru yang sejak era reformasi begitu banyak dan gencar sehingga tidak dapat dikontrol oleh kekuatan politik islam yang diperoleh tidak begitu signifikan di parlemen.

Iklim politik di era reformasi yang tercipta kemudian sangat rentan dari penetrasi berbagai kepentingan ideologi dan kekuatan asing melalui LSM-LSM yang tumbuh menjamur pasca reformasi sebagai kaki tangan baru dari kekuatan asing. Mereka mempengaruhi bahkan mengendalikan secara leluasa proses pembuatan undang-undang demi undang-undang hingga ke proses perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Umat Islam kecolongan.

Sudah menjadi rahasia umum, dan kita tahu bagaimana sebuah undang-undang yang diperjualbelikan per bundel hingga per pasal agar pergerakan dan strategi licik mereka ini tidak terendus dengan jelas oleh rakyat Indonesia yang adalah mayoritas Islam.

Pola “perekrutan” Jokowi hampir mirip pola CIA memilih orang yang paling pas dengan selera kepentingannya, ialah seorang Soeharto yang abangan ketika itu memang secara alamiah tidak peduli dengan eksistensi Islam, namun Soeharto anti PKI. CIA banget kan ?

Jokowi dalam hal ini hanyalah “orang terpilih” dan dirasa paling cocok untuk mereka gunakan demi kepentingan mereka, ia adalah simbol hasil kompromi antara berbagai kekuatan anti Islam, termasuk Komunis. Jokowi adalah produk zaman. Zaman pemberangusan Islam radikal dengan sangat radikal pula.

Saya berasumsi, bila ada yang menghitung secara statistik jumlah dan kualitas korban antara kedua rezim, walau dengan rentang waktu yang sangat berbeda antara 32 tahun dengan 5 tahun berjalan, maka saya sangat yakin jumlah dan kualitas korbannya jauh lebih hebat di rezim hari ini. Dan tingkat kerusakannya secara moral jauh lebih menyakitkan dan berdampak sangat besar terhadap eksistensi Islam di Indonesia. Mengapa ? Karena rezim hari ini adalah puncak konstruksi dari perjuangan kekuatan yang memusuhi Islam sejak berdirinya negeri ini.

Inilah makar dan pengkhianatan mereka terhadap “keluguan” umat Islam. Keluguan yang bukan berasal dari kebodohan namun adalah karakter yang terbentuk dari peradaban islam yang cenderung ikhlas dan legowo. Ini sangat dipahami oleh musuh-musuh islam dan sangat dimanfaatkan mereka.

Berbeda dengan mereka, yang menghalalkan segala cara, menuding, memfitnah, dan rekayasa, membunuh tanpa ampun secara biadab. Ini sudah menjadi fenomena global yang berhulu dari sejarah panjang masa lalu. Sejarah perang salib dan kolonialisme.

Sangat berbeda dengan insan-insan Islam yang sedikit banyak secara keseluruhan sudah terbentuk oleh ajaran agamanya yang penuh dengan tata aturan nan indah dan beradab, termasuk tata aturan sejak dari bangun dari tidur hingga tidur lagi, dari dapur hingga ke kasur, dari perkotaan hingga ke perkampungan dan hutan, dari pergaulan keluarga hingga pergaulan internasional sampai ke hukum perang dan damai. Seluruhnya, Islam sudah sangat tuntas dalam menata budi pekerti, akhlak mulia yang membangun peradabannya. Ialah rahmatan lil alamin dimaksud itu. Memanusiakan manusia sampai semulia-mulianya makhluk. ***

 

 

 

- Advertisement -

Berita Terkini