Kemelut-Kemelut di HMI Menurut Azhari Akmal Tarigan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Dalam prolog buku terbaru Azhari Akmal Tarigan, yang akrab disapa Bang Akmal, Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI; Teks, Interpretasi, dan Kontekstualisasi, menjelaskan beberapa kemelut-kemelut yang melanda Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi tertua di Indonesia saat ini.

Kemelut-kemelut yang dimaksud Penceramah NDP HMI Tingkat Nasional ini memunculkan pertanyaan yang terlebih dahulu harus kita ketahui. Bang Akmal dalam prolog tersebut menyebutkan pertanyaannya seperti; apakah organisasi ini (HMI) masih layak disebut sebagai organisasi Himpunan Mahasiswa Islam? Apakah HMI bisa dikatakan sebagai organisasi pembaru, khususnya dalam konteks pemikiran Islam? Dan apakah organisasi HMI masih pantas dilabeli sebagai anak kandung umat?

Pertanyaan-pertanyaan tadi muncul disebabkan beberapa indikasi, yang disebut Bang Akmal bagian daripada kemelut HMI masa kini. Pertama, semakin memudarnya citra HMI sebagai organisasi pembaru pemikiran Islam, seperti yang pernah ditahbiskan Muhammad Kemal Hasan, dalam bukunya “Contemporary Muslim Religio-Political Thought” yang terbit pada tahun 1975. Hal ini sebagaimana juga disebutkan oleh yang pernah diberi status Anggota Kehormatan HMI atas jasanya pada HMI, yaitu Viktor Immanuel Tanja, dalam bukunya yang berjudul “HMI: Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan-Gerakan Muslim Pembaharu di Indonesia”. Bang Akmal pun melemparkan pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama, mengapa saat ini HMI sangat sulit melahirkan kader-kader sekaliber Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Dawam Rahardjo, Fachry Ali, Mahfud M.D., Johan Efendi, Deliar Noer, dan tokoh-tokoh HMI lainnya.

Nyatanya ini memang benar, kader-kader HMI saat ini, mayoritas disibukkan dengan politik praktis sehingga menguras pemikiran yang seharusnya memikirkan hal-hal strategis dalam dunia pemikiran baik dalam skop lokal, nasional dan global. Nuansa politis, saling rebut dan sikut menyikut mencapai kursi kekuasaan lebih terlihat daripada dinamika atau “pertarungan” pemikiran di HMI. Khazah pengetahuan Islam menjadi tertinggal dan lebih laku kajian-kajian yang sifatnya praktis. Kader-kader akan susah diajak berpikir dan berdiskusi dalam ranah pemikiran atau ideologi.

Indikasi kedua menurut Bang Akmal adalah muncul kesan semakin lunturnya pengamalan dan akhlak Islam di kalangan kader-kader HMI. Tidak mengherankan jika banyak kader HMI hijrah ke organisasi lain yang dianggap lebih “Islami” kendati sebenarnya cenderung eksklusif. Ironisnya, kata Bang Akmal, fenomena hijrah organisasi tidak hanya terjadi di kampus-kampus “sekuler” atau kampus-kampus umum, tetapi juga terjadi secara masif di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan Universitas Islam Negeri (UIN). Perlu saya tambahi, bahkan fenomena ini juga terjadi di Sekolah Tinggi Agama Islam Swasta (STAIS).

Saya ingin menanggapi sebagai bentuk tambahan pandangan, bahwa kajian akhlak atau etika hanya sekedar di forum training saja. Sungguh sangat jarang kita menemukan HMI di setiap tingkatan melakukan kajian atau diskusi rutin tentang akhlak dan atau etika sebagai kader HMI yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal kita sangat mengenal sebuah hadits mengatakan bahwa adab itu di atas ilmu. Jadi sebenarnya percuma ilmu pengetahuan atau intelektualitas kader HMI tanpa akhlak atau adab.

Dalam pandangan lain, bicara akhlak ini menjadi bahan kajian yang kurang menarik bagi kader-kader HMI secara mayoritas sehingga mengimplikasikan ketika terjun dalam bidang apapun cenderung machiavelis. Dalam berbuat atau beraktivitas sehari-hari, baik masih kader atau sudah alumni cenderung pragmatisme. Sebagaimana kita ketahui bahwa pragmatisme itu indikator atau tolak ukurnya adalah selagi menguntungkan akan dinyatakan baik atau benar, tapi jika tidak menguntungkan maka akan dibuang. Mungkin ini asumsi atau pandangan emosional saya secara pribadi, tapi hal ini dapat kita temui di lingkungan HMI sekitar kita.

Sebagaimana yang dibenarkan Bang Akmal bahwa Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah periode 1993-1997 Hajriyanto Y. Thohari dalam tulisannya yang dimuat oleh Panji Masyarakat Nomor 40 tahun 2000 mengatakan satu dasawarsa terakhir kader-kader HMI semakin tidak terlihat sama sekali sibghah keislamannya, baik pada aktivitas maupun semangat intelektualitasnya. Dalam ukuran sederhananya, semangat mempelajari Islam dan mengamalkannya jauh lebih bergelora pada gerakan mahasiswa Islam kontemporer.

Selanjutnya yang ketiga, rendahnya minat kader-kader HMI untuk mempelajari dan mendalami Islam, seperti yang pernah dilakukan “abang-abangnya”. Berdasarkan pengalaman Bang Akmal berkeliling Indonesia bagian Barat menyampaikan materi Nilai-Nilai Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (NDP HMI) dalam training formal HMI seperti Latihan Kader II (LK II) atau Intermediate Training, beliau merasakan keringnya wawasan keislaman kader-kader HMI. Terkadang, lanjut beliau, hal-hal yang bersifat fundamental keagamaan pun tidak terkuasai dengan baik. Penglihatan Bang Akmal ini adalah “cuaca kemarau” yang sangat panjang dan belum menunjukkan tanda-tanda perubahannya. Wacana keislaman tanah air yang selama ini dikendalikan HMI, kini telah diambil oleh lembaga-lembaga kajian lainnya.

Yang keempat adalah melihat keadaan akhir-akhir ini komitmen HMI terhadap persoalan keumatan mulai mengendur. HMI yang dahulunya sering disebut, hingga sampai sekarang, bahwa organisasi ini sebagai anak kandung umat dan harapan masyarakat Indonesia, sebagaimana kata Jenderal Sudirman, mulai meninggalkan ibu kandungnya. Ketidak-pekaan HMI terhadap persoalan yang melanda umat mengakibatkan organisasi HMI tidak lagi populer di mata ummat. Jika boleh saya menambahi melihat kondisi kekinian, HMI makin tidak populer atau bahkan tidak diminati lagi karena konflik berkepanjangan di tubuh HMI seperti dualismenya Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI).

Bang Akmal menambahi lagi dengan melihat ironisnya kader-kader HMI saat ini disebabkan karena seakan-akan mengalami kelelahan intelektual dan kehilangan kreativitasnya. Nilai-nilai yang telah tertanam pada diri kader, tidak lagi berperan sebagai daya tonjok psikologis sebagaimana istilah Nurcholish Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur, dan tidak lagi berfungsi sebagai api Islam yang diistilahkan Sayyed Ameer Ali. Akibatnya, kata Bang Akmal, HMI terjebak pada rutinitas organisasi tanpa dinamika yang berarti.

Sebagai bentuk tawaran solusi buat kita semua (kader HMI), Bang Akmal menyarankan supaya HMI perlu segera melakukan autokritik untuk selanjutnya mengambil langkah-langkah strategis agar dapat keluar dari kemelut-kemelut di atas tadi. Sikap-sikap a priori dan berapologi bahwa kritikan-kritikan tersebut tidak berdasar pada fakta. Apologia itu hanya akan mempercepat tenggelamnya HMI.

Kemudian, solusi dari Bang Akmal agar nilai-nilai tauhid yang tertanam dalam diri kader berperan dan berfungsi, maka hal mendesak yang harus dilakukan kader-kader HMI adalah mengembalikan tauhid sebagai paradigma gerakan. HMI harus mampu menerjemahkan kembali wawasan keislamannya, seperti yang termuat di dalam NDP HMI untuk melakukan kontekstualisasi dengan persoalan kekinian, jika boleh saya tambah dengan kedisinian, baik yang bersentuhan langsung dengan umat maupun dengan dinamika bangsa yang terus berubah.

Sebagai tambahan dan sekaligus penutup dari saya dalam tulisan sederhana ini, kader-kader HMI harus kembali pada cirinya sebagai organisasi mahasiswa, organisasi kader, organisasi perjuangan, dan memegang teguh independensi HMI yang terdiri dari independensi etis dan independensi organisatoris. Demikian dan semoga bermanfaat.[]

Penulis: Ibnu Arsib (Instruktur HMI dan Penggiat Literasi di Sumut).

- Advertisement -

Berita Terkini