Kudeta PKI dan Kesaktian Pancasila

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Tepat tanggal 30 September dan 1 Oktober, bangsa kita kembali memperingati dua hari yang sangat krusial bagi terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Terlebih-lebih sejarah faktor dinamika peralihan kekuasaan pemerintahan dari Orde Lama (Orla) yang dipimpin oleh Bung Karno menuju Orde Baru (Orba) yang pimpin Soeharto. Mungkin, masyarakat kita, khususnya generasi muda saat ini, banyak yang sudah mulai lupa dengan dua hari yang sangat penting untuk diperingati ini.

Seiring dengan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi yang “memanjakan” generasi muda saat ini, ditambah lagi beberapa hari belakangan ini seisi negeri disibukkan dan menghabiskan energi pikiran, perhatian serta tenaga dengan berbagai prahara yang menimpa negeri ini. Prahara-prahara itu seperti benca alam maupun bencana yang datang dari orang-orang pembuat kegaduhan di negeri ini. Keadaan ini menjadi salah satu faktor “amnesia” terhadap sejarah Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI) yang memberontak dan menghianati bangsa. Dan tidak menutup kemungkinan adanya usaha-usaha kelompok tertentu membuat kegaduhan di negeri ini supaya anak-anak muda lupa memperingati G30S PKI dan Hari Kesaktian Pancasila.

Detik-detik G30S dan Kehancuran PKI

Gerakan 30 September 1965 adalah peristiwa pahit yang dialami oleh bangsa dan negara kita. G30S satu abad lebih yang lalu, dilakukan oleh kaum komunis yang tergabung dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah merupakan gerakan kaum komunis Indonesia melakukan penghianatan terhadap bangsa dan NKRI. Gerakan penghianatan atau pemberontakan kaum komunis Indonesia tahun 1965 bukanlah yang pertama. Akan tetapi, dalam bulan yang sama dan tahun yang berbeda, tepatnya 18 September 1948 di Madiun, terjadi penghianatan dan pemberontakan PKI yang waktu itu dipimpin oleh Muso. Pada waktu itu, di saat bangsa ini mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari Agresi Militer Belanda II, PKI malah memproklamasikan Republik Soviet di Madiun dan menangkapi serta membunuhi sejumlah pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Andai saja gerakan itu berhasil, negeri kita ini akan menjadi negara Republik Soviet yang berhaluan komunis.

Tujuh belas tahun setelah peristiwa di Madiun, di akhir bulan September 1965, PKI kembali melakukan gerakannya untuk menjadikan negara ini menjadi negara komunis dalam bentuk pemerintahan Diktator Proletariat. PKI yang dipimpin D.N. Aidit melakukan kudeta menggunakan cara yang tidak berbeda dengan pemberontakan PKI 1948, yaitu menculik dan membunuh. Detik-detik G30S/PKI, pada waktu dini hari, sebagaimana dijelaskan Soegiarso Soerojo dalam bukunya yang berjudul “Siapa Menabur Angin Akan menuai Badai”, PKI menculik sejumlah Jenderal dan seorang Perwira Pertama Ajudah Jenderal A.H. Nasution (Kepala Staf Angkatan Perang) dengan dalih dipanggil Presiden Soekarno. Ternyata mereka diseret ke tempat Gerwani dan Pemuda Rakyat yang sedang latihan tempur menghadapi Nekolim-Malaysia, suatu proyek ciptaan kaum komunis.

Penjelasan Soegiarso Soerojo di atas, adalah awal dan detik-detik penculikan sejumlah Jenderal dan Ajudan A.H. Nasution–yang mana waktu proses penculikan itu Jenderal A.H. Nasution selamat. Setelah diculik, mereka pun dibunuh dan dimasukkan ke dalam sumur, kemudian ditimbun dengan dedaunan, tanah, dan di atasnya ditanam pohon pisang. Tempat dan peristiwa itu pun dikenal dengan Peristiwa Lubang Buaya.

Penculikan dan pembunuhan sejumlah Jenderal dan beberapa orang lainnya adalah bentuk pemberontakan keji terhadap bangsa dan negara ini. Pemberontakan PKI ini bekerjasama dengan beberapa dari kalangan militer yang berhaluan komunis. G30S ini merupakan bentuk usaha pemberontakan atau kudeta dan ingin mengubah ideologi NKRI yaitu Pancasila menjadi ideologi komunis. Namun, berkat kesadaran berbagai pihak, baik Militer maupun sipil yang mempertahankan Pancasila, maka upaya PKI itu pun gagal dan Pancasila sebagai ideologi negara tetap hidup di Republik Indonesia ini.

Setelah kegagalan G30S/PKI tersebut, spontanitas rakyat Indonesia pro Pancasila dan kaum beragama melakukan aksi-aksi agar PKI dibubarkan. Tidak sedikit rakyat Indonesia balas dendam pada kaum komunis Indonesia yang sebelumnya telah melakukan pembunuhan Jenderal dan tokoh-tokoh masyarakat di tahun 1948 dan tahun 1965. Maka pada tahun 1966, tepatnya 20 Juni – 5 Juni 1966, dikeluarkanlah TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI dan kroni-kroninya. Tidak hanya pembubaran secara organisasi, akan tetapi ideologi yang berbau komunis dan Marxisme-Leninisme dilarang di Indonesia hingga saat ini. Secara umum, alasan pelarangan ideologi tersebut karena bertentangan dengan ideologi Pancasila dan paham keagamaan yang hidup di Indonesia ini.

Makna Kesaktian Pancasila

Hari Kesaktian Pancasila ditetapkan pada tanggal 1 Oktober, yang satu hari sebelumnya hari Peringatan G30S/PKI sebagaimana yang telah kita bicarakan di atas tadi. Hari Kesaktian Pancasila ini ditetapkan sebagai bentuk penghormatan pada korban-korban pembunuhan G30S/PKI dan penguatan kembali terhadap ideologi Pancasila yang hampir digantikan oleh kaum komunis yang ada di Indonesia.

Pancasila yang mengandung nilai filosofis sejak dahulu telah hadir dan tumbuh-kembangkan oleh neneng moyang kita. Maka, anak-anak bangsa, khususnya pemuda Indonesia saat ini, sebagaimana dikatakan Andryan (2017) sudah sepantasnya kita harus merenungkan dan menelaah kembali sejauh mana penyelenggaraan serta pencapaian bangsa dan negara ini untuk menjaga serta merawat nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jika kita merenungkan dan menjiwainya secara mendalam, Pancasila bukan hanya sebagai dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum sebagaimana yang tertuang dalam Tertuang dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, jo. TAP MPR No. V/MPR/1973, jo. TAP MPR No. IX/MPR/1978. Pancasila juga menjadi sumber nilai yang sangat sesuai dengan kondisi bangsa yang majemuk. Pancasila ini juga tidak bertentangan dengan agama-agama yang ada di Indonesia. Nurcholish Madjid (1992) mengatakan bahwa Pancasila menjadi pendukung titik temu (kalimah sawa) agama-agama di Indonesia, sebagaimana termaktub dalam sila pertama Pancasila.

Nilai-nilai yang terkadung dalam Pancasila membuat ideologi ini sakti. Pemahaman kesaktian ini jangan diartikan secara sempit, akan tetapi nilai-nilai yang terkadang dalam sila-silanya dapat mewujudkan keharmonisan hidup rakyat Indonesia. Jika kita runut satu per satu, kita akan temukan nilai-nilai universal di dalamnya sepert; nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi atau musyawarah dan keadilan.

Jika nilai-nilai itu diimplementasikan dalam kehidupan, maka kita akan memiliki moralitas, beretika, beradab, toleran, tolong menolong, bersikap inklusif tanpa menghilangkan jati diri sebagai bangsa Indonesia, progresif dan karakter-karakter baik lainnya. Nilai-nilai itu semua, perlu kita tegaskan lagi tidak bertentangan dengan agama yang kita anut masing-masing.

Penutup

Sebagai masyarakat majemuk yang tumbuh dalam sejarah Indonesia, khususnya kaum muda saat ini yang hidup dalam kemodernan, sejarah PKI yang ingin merongrong negara ini dan mengganti Pancasila dengan ideologi komunisnya, tidak boleh kita lupakan. Kita harus terus memahami gejala-gejala ideologi ini, karena ia tidaklah mati sepenuhnya, dan menghambatnya untuk berkembang. Jangan sampai kita terpapar oleh ideologi komunis yang bertentangan dengan Pancasila dan ajaran agama kita.

Selanjutnya, pemahaman Pancasila harus terus ditingkatkan, diajarkan sejak dini, baik pendidikan formal maupun informal dan tidak hanya serimonial. Setelah itu menerapkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari, di manapun, kapanpun, dan apapun jabatan atau status sosialnya di masyarakat. Pancasila harus menyatu dalam karakter kita, sebagaimana kita memeluk agama tanpa unsur syirik. Mudah-mudahan!***

Oleh Ibnu Arsib

Penulis adalah Instruktur HMI, Pemerhati Kaum Muda dan Penggiat Literasi di Kota Medan.

- Advertisement -

Berita Terkini