Munas Partai Golkar 2019 : Restu atau Resistensi terhadap Sinyal Istana

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Ada anggapan dibenak sebagian besar publik mungkin juga di kader Partai Golkar yang paling mengiang di telinga kita, dan dapat dijadikan acuan dalam mencermati kondisi pergantian Ketua Umum Partai Golkar dalam hajatan lima tahunanya, bahwa “sinyal istana orang nomor satu di republik ini sebagai pesan secara eksplisit seorang presiden terpilih siapapun dia orangnya, ini akan memberikan pengaruh atas peluang terpilihnya seorang Ketua Umum”. Yang dimaui oleh versi pemerintah, anggapan ini sudah berlangsung sejak era Orde Baru dan juga diera reformasi ini.

Dalam periode kedua Presiden Jokowi apakah adegium diatas itu berlaku ampuh bila kekuasaan mewarnai jalannya Munas partai Golkar, lalu apakah Jokowi menjalankan proses demokrasi membiarkan Partai memilih ketua umumnya sendiri tanpa intervensi ?.

Kekuasaan punya logika dan cara kerjanya sendiri untuk membentuk dirinya menjadi rezim, tentu dalam konteks partai politik menjelang Munas yang jatuh di tahun akhir 2019 ini seharusnya, partai itu mengorganisir dirinya sendiri segera merampungkan agenda lima tahunan itu guna menyesuaikan diri dengan agenda strategis Pemerintahan di bulan Oktober nanti, yaitu pelantikan presiden dan sekaligus mengumumkan struktur kabinetnya, hal ini sesuai dengan sinyal dan keinginan Presiden terpilih secara langsung dalam pidatonya beberapa bulan yang lalu.

Oleh karena itu mau tidak mau seperti PDIP, partai pemenang pemilu dan PKB berinisiatif menyesuaikan diri dengan agenda tersebut, apabila lewat dari tenggat pelantikan presiden, partai tidak siap mengawal, dikarenakan belum melakukan konsolidasi organisasi secara nasional (Munas).

Namun tidak dengan partai Golkar, sinyal ini secara tidak langsung terkait dengan adegium di atas bahwa kemauan presiden terpilih atau istana akan menentukan siapa yang akan direstui. Partai Golkar justru malah membelakangi keinginan dan sinyal Istana, tidak mempercepat Munas, terkesan dalam bahasa komunikasi politik tak mengindahkan sinyal Jokowi, apalagi presiden dalam pidato Munas PKB di Bali mengkritik, bahwa semua kekuatan organisasi termasuk partai politik di dalamnya haruslah berpikir dan bertindak cepat, itu berkali-kali dikatakan oleh Jokowi “bahwa bukan negara besar mengalahkan negara kecil, bukan negara kuat mengalahkan negara lemah, tapi…negara cepat akan mengalahkan negara yang tidak cepat alias lambat”.

Partai Golkar partai yang moderat, partai mapan, kuat secara fundamental struktur kepartaian, profesional dan modern. Itu menjadi kelebihan terendiri untuk partai Golkar dibandingkan dengan partai yang lain, disamping pengalamannya dan jam terbang di dalam mengelola pemerintahan selama ini.

Apalagi di periode kedua Pak Jokowi, partai Golkar sebagai pengusung, namun dalam hal Munas, di era kepemimpinan Airlangga ini seolah partai Golkar tidak sejalan dengan adagium diatas, padahal tidak masalah juga bila partai Golkar memercepat Munasnya, artinya bila partai Golkar konsisten dengan agenda pemerintah, baiknya Munas haruslah dipercepat, demi kesejahteraan dan percepatan pembangunan melanjutkan program yang sudah siap dijalankan.

Namun ternyata Munas diputuskan bulan Desember 2019 setelah pengumuman kabinet, artinya nama-nama calon menteri yang diajukan itu ditanda tangani oleh Airlangga selaku ketua umum yang tinggal menjalankan sisa waktu masa periode Aburizal Bakrie dan akan berakhir beberapa bulan ke depan, tidak lama lagi. Hal ini berarti sudah diasumsikan dan dikunci pengajuan nama-nama menteri di kabinet periode kedua Jokowi, bahwa Airlangga lah yang direstui oleh Istana, artinya pintu Bursa Caketum partai Golkar seperti Bambang Soesatyo, Mahyudin, Agus Gumiwang dan Yuddy Chrisnandi telah tertutup. Kenapa ? , karena Munas tidak dipercepat dan adagium tadi ‘tidak ampuh’ dan berlaku untuk mempersepsikan bahwa partai Golkar selalu berkesesuaian dengan keinginan istana.

Partai Golkar bukan partai pemenang pemilu 2019 dan sebagai salah satu dari partai koalisi pendukung Presiden Jokowi. Kenapa justru malah memposisikan diri sebagai partai yang punya nilai tawar yang kurang strategis ?. Hal ini justru tidak sejalan dengan arus utama keinginan istana tadi.

Bila partai Golkar beralasan Munas haruslah disesuaikan jadwalnya dengan habisnya masa kepemimpinan ketua umum, inipun akan merepotkan presiden, karena bila presiden tidak memberikan sinyal kepada Airlangga untuk memimpin partai Golkar ke depan artinya tidak merestuinya, maka dipastikan akan ada reshuffle dalam waktu beberapa bulan ke depan. Padahal kita tahu partai Golkar harus mengembangkan suasana demokratis dan kekeluargaan di dalam Munas, apapun tantangannya kedepan, hal ini juga sebagai prinsip yang diyakini oleh Ketua Dewan Penasihat Akbar Tanjung, “partai Golkar haruslah menjadi partai yang demokratis, terbuka, dan pluralis.” Oleh sebab itu tidak ada salahnya bila Munas Golkar dipercepat untuk menyesuaikan akselerasi dan agenda Pemerintahan Jokowi ke depan.

Karena Munas partai Golkar 2019 sudah diputuskan di bulan Desember, jadi keyakinan pengurus tinggat pusat partai Golkar akan dipertaruhakan dan dihadapkan dengan keinginan Istana, sebab istana tidak akan menunggu, yang lambat akan ditinggalkan, yang menghambat akan diabaikan, demikian pidato Pak Jokowi saat Munas PDIP dan PKB di Bali. Ini akan membukti pilihan-pilihan DPP Partai Golkar menyelenggarakan Munas 2019 nanti direstui oleh Istana atau justru malah resisten terhadap sosok Airlangga Hartarto.

Oleh : Mohammad Radius Anwar

(Peneliti di The Gondangdia Institute)

- Advertisement -

Berita Terkini