Ibu Kota Negara

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Masihkah berlomba-lomba ke Jakarta setelah Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia berpindah ke kalimantan?

Agaknya nyanyian Ke Jakarta Aku Kan Kembali, atau Gang Kelinci menjadi memori historis yang terus menyala di alam kesadaran setiap warga bangsa.

Jakarta dipilih sebagai Ibu kota paling tidak secara historis, geografis, demografis, sosio politis, ekonomis dan berbagai alasan bahwa Jakarta satu-satunya kota kosmopolitan yang “melling pot” sebagai kota yang mewakili seluruh unsur budaya Indonesia.

Sebagaimana catatan Nurcholish Madjid atas penolakan Presiden Soekarno di awal 1960-an untuk memindahkan Ibukota Republik dari Jakarta ke suatu kota lain baik di Jawa atau di luar Jawa. Alasannya ialah bahwa sampai dengan saat itu (mungkin sampai sekarang?) di negeri kita ini baru ada satu kota Indonesia (yakni, kota yang berbudaya mencakup seluruh unsur budaya Indonesia, yaitu Jakarta. Entah untuk kota Medan yang belum tersedia penelitian sebagai kota yang ‘melling pot’.

Dalam dunia modern, Ibu Kota negara dipandang sebagai sesuatu yang strategis lantaran Ibu Kota adalah pusat pelayanan publik bagi masyarakat.

Perspektif pelayanan publik dalam ilmu administrasi publik yang tentunya bukan lagi Old Public Administration (OPA) atau New Publik Managemen (NPM) tetapi sudah pada implementasi New Public Service (NPS).

Bila Ibu Kota suatu negara dipandang sebagai pusat pelayanan publik dengan mengimplementasikan New Public Service (NPS) yang dibutuhkan bukan pemindahan Ibu Kota Negara secara fisik, geografis dan teritorial.

Tetapi yang diperlukan pemindahan pola pikir (mindset) dan cara pandang baru (new paradigma) bagaimana mengelola Ibu Kota sebagai pusat pelayanan publik.

Dalam perspektif implementasi New Public Service (NPM) sudah dikenal inovasi generasi kelima (5G) dengan berbagai kolaborasi, penerapan Revolusi Industri Empat Point O (Revolusi Industri 4.0) dan bahkan menuju Revolusi Society Lima Point O (Revolusi Society 5.0).

Setidaknya Propinsi DKI Jakarta sejak kepemimpinan Bapak Sutiyoso, kepemimpinan Bapak Fauzi Bowo, Bapak Jokowi, Bapak Basuki Tjahaja Purnama, Bapak Djarot Saiful Hidayat dan sampai sekarang ini dibawah kepemimpinan Bapak Anies Rasyid Baswedan terus berbenah menjadi Ibu Kota sebagai pusat pelayanan publik dalam perspektif New Public Service (NPS).

Membangun Ibu Kota Negara sebagai pusat pelayanan publik yang memiliki perspektif New Public Service (NPS) tercermin dari beberapa hal berikut ini.

Pertama, pembangunan seluruh infrastruktur yang menopang berjalannya implementasi pelayanan publik di seluruh sektor dan sendi kehidupan masyarakat. Dalam tinjauan ini tampaknya DKI Jakarta sejak kepemimpinan Pak Jokowi sampai dengan saat ini geliat yang begitu pesat dalam membangun pusat pelayanan publik begitu terlihat.

Kedua, proses selanjutnya dengan memanusiakan manusia penghuni kota dengan merubah pola pikir (mindset) dan cara pandang baru (new paradigma) bahwa pemerintah bukan lagi sekedar menjadi pelayan publik, tetapi mendorong inovasi dengan mendorong proses kolaborasi seluruh stakeholders dan partisipasi luas sektor swasta dan masyarakat. Dalam tinjauan ini Ibu Kota Jakarta beberapa dekade ini juga tengah bergeliat membenahi sektor pembangunan di bidang ini.

Ketiga, seluruh pembangunan yang bersifat fisik dan pembangunan sumber daya manusia disusun dengan suatu perencanaan yang fokusnya bukan lagi sekedar melihat out put saja tetapi menitik beratkan pada outcome dan inpact pembangunan bagi masyarakat.

Tinjauan ini bukan lagi menilai suatu keberhasilan pembangunan dan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah berdasarkan indikator pemerintahan yang baik (Good Governance) atau Good Enaugh Governance (Merilee S. Grindle:2007), tetapi sudah memulai mengimplementasikan Proper Governance (Hidayat:2016) atau bahkan konsep Sound Governance (Ali Frazmand:2004).

Dengan berbagai tinjauan dan perspektif kajian bahwa Ibu Kota mesti menjadi pusat pelayanan publik yang mengimplementasikan konsep New Public Service (NPS) ditopang oleh Inovasi Generasi Kelima (5G) dengan kolaborasi, Revolusi Industri Empat Point O (Revolusi Industri 4.0) dan Revolusi Society Lima Point O (Revolusi Society 5.0) maka pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke tempat lain menjadi tidak relevan.

Lantaran bukan mendekatkan fisik pusat pelayanan publik kepada masyarakat yang terpenting tetapi memindahkan fungsi-fungsi pelayanan publik langsung kepada masyarakat dengan konsep partisipasi yang masif yang menjadi penting.

Tetapi apa pun keputusan Presiden untuk memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke sebuah kota di Kalimantan Timur tentu saja memiliki alasan dan perspektif, akan tetapi tentu saja bukan berdasarkan alasan historis kota kosmopolit yang memenuhi kriteria melling pot sebagaimana Bung Karno memandang Ibu Kota Negara di Jakarta atau karena alasan untuk pusat pelayanan publik dengan mengimplementasikan konsep New Public Service (NPS).

Kita menunggu kerja, kerja dan kerja pemerintahan Presiden Joko Widodo yang tentu saja perspektif dan keputusannya sering tak bisa kita duga dan penuh dengan berbagai kejutan yang masyarakat umumnya memandang penuh ketidakpastian atau uncertainty. [WT, 27/08/2019]

Oleh: Wahyu Triono KS
Founder LEADER Indonesia, SSDI dan CIA Indonesia

 

- Advertisement -

Berita Terkini