Tidak Ada Oposisi: Catatan Pertemuan Dua Tokoh Bangsa

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Banyak perbincangan dan spekulasi bermunculan pasca pertemuan dua tokoh bangsa yang belakangan ini begitu penting bagi bangsa Indonesia, yaitu bertemunya Presiden RI Bapak Joko Widodo dan Mantan Kandidat Presiden RI Bapak Prabowo Subianto baik yang bernada sumbang maupun yang menyambut gembira dan gegap gempita.

Ada yang meradang ada pula yang muram, ada yang kecewa tetapi tak sedikit yang bersorak sorai gembira dan banyak juga yang sumringah, semakin melangkah gagah, percaya diri dan semakin pasti untuk mendapatkan posisi.

Ada dua catatan penting yang perlu untuk kita kemukakan terhadap pertemuan bersejarah dua tokoh sentral bangsa Indonesia pada Pemilu 2019.
*
Catatan pertama yang hendak kita analisis adalah berkaitan dengan masihkah ada oposisi terhadap pemerintahan Bapak Jokowi-Amin?

Makna oposisi itu boleh jadi dikatakan tidak berada pada posisi atau tidak di dalam posisi atau diluar posisi. Bila kata oposisi dalam konotasi politik dimaksudkan sebagai kelompok apapun itu (terutama partai politik yang tidak berada atau mendukung pemerintah) maka dalam khazanah ketatanegaraan Indonesia menjadi rancu.

Secara konsepsi dan berdasarkan tata aturan ketatanegaraan dan sistem pemerintahan, Indonesia tidak mengenal oposisi. Jadi bila Bertemunya Presiden RI Bapak Jokowi dan Mantan Kandidat Presiden Bapak Prabowo Subianto beberapa waktu lalu tidak berimplikasi terhadap ada atau tidak adanya oposisi, karena Indonesia tidak mengenal oposisi.

Begitu juga soal sikap politik dan bagaimana kita menyikapi pertemuan itu, sungguh sesuatu yang wajar saja. Jangankan hanya untuk bertemu, jika pun Pak Prabowo dan Semua Partai Pengusungnya mendukung Pak Jokowi atau berada di pemerintahan dengan menempatkan tokoh-tokoh atau figur partainya di kabinet pemerintahan Pak Jokowi-Amin itu juga biasa-biasa saja. Politik itu ya Begitu!

Oposisi yang sesungguhnya terhadap pemerintah dalam perspektif memantau, mengawasi dan melakukan check and balance terhadap kebijakan dan implementasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam tata aturan ketatanegaraan di Indonesia itu dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui fungsinya melakukan pengawasan (controlling function), pembentuk undang-undang (legislative function) dan fungsi menetapkan buget atau anggaran (bugeting function).

Dengan demikian, seluruh Anggota DPR RI dari partai manapun itu adalah menjalankan tugas oposisi dalam arti melakukan pengawasan dan check and balance terhadap pemerintah.

Dengan demikian sebenarnya oposisi semacam ini, bukanlah oposisi sebagaimana dikenal dalam sistem pemerintahan parlementer.

Andaikan semua partai politik memiliki wakilnya di pemerintahan, sesungguhnya harapan rakyat bagaimana fungsi-fungsi pengawasan dan check and balance terhadap pemerintah dilakukan oleh DPR RI, inilah yang sering saya istilahkan sebagai oposisi lunak.

Bertemu atau tidak bertemunya dua tokoh penting yaitu Bapak Jokowi dan Bapak Prabowo tidak memiliki relevansi terhadap oposisi dan posisi karena secara esensial oposisi itu sesungguhnya ada pada posisi rakyat. Partisipasi kritis rakyat terhadap kebijakan dan implementasi kebijakan pemerintahan yang tidak berpihak pada rakyat itulah oposisi yang sesungguhnya.

Catatan kedua berkaitan dengan pertemuan dua tokoh bangsa Indonesia yang telah membelah masyarakat menjadi tiga posisi penting yaitu posisi 02 (Prabowo-Sandi), posisi 01 (Jokowi-Amin) dan posisi 03 (Independen dan Golput) ini bila dianalisis berdasarkan tempat pertemuan di atas Mass Rapit Transit (MRT) sebagai moda transportasi masa yang menggunakan kereta api cepat.

Satu-satunya intelektual terkemuka Indonesia yang pernah mengemukakan tentang gagasan terhadap demokrasi masa depan Indonesia yang musti menyandarkan pada sistem dan struktur, buka pada pribadi adalah Almarhum Nurcholish Madjid (1939-2005).

Nurcholish Madjid, atau yang akrab disapa Cak Nur mengemukakan bahwa dari Jakarta ke Surabaya, ada empat macam kendaraan. Naik kapal terbang, naik kapal laut, naik mobil, naik kereta api. Yang paling tidak terstruktur adalah naik kapal terbang. Begitu naik ke atas, pilotnya bisa semaunya. Dibelokkan ke Pontianak, siapa yang bisa cegah? Laut, sedikit banyak ada hambatan. Mobil meskipun ada jalan, masih bebas kemana-mana. Yang paling terstruktur adalah kereta api. Masinis perannya tetap penting, tetapi tidak menentukan. Karena ada rel dan di setiap stasiun ada pemimpin perjalanan kereta api. Yaitu taruhannya adalah struktur dan sistem, tidak lagi tergantung pada pribadi-pribadi.

Kita mengatakan orang itu mempunyai iktikad baik, itu nonsens. Iktikad baik itu memang ada, tetapi itu urusan anda dengan Allah, kita tidak bisa mengecek. Tidak ada ujian iktikad baik. Tetapi kontrol sosial itu yang lebih penting.

Sebagaimana pandangan dan gagasan Caknur tentang perlunya kita bersandar pada sistem dan struktur secara simbolis pertemuan dua tokoh bangsa Indonesia Bapak Jokowi dan Bapak Prabowo di Gerbong Kereta MRT menjadi simbol bahwa bagaimana masyarakat bangsa Indonesia musti kembali menyandarkan pada sistem dan struktur bukan pada pribadi-pribadi termasuk pada Bapak Jokowi dan Bapak Prabowo.
*
Pentingnya proses oposisi terbangun di kalangan masyarakat melalui kontrol sosial dengan terbentuknya masyarakat madani dengan semakin tumbuhnya partisipasi masyarakat dan munculnya oposisi rakyat secara substansial dan esensial sesungguhnya menjadi catatan atas pertemuan bersejarah dan penting dua tokoh bangsa Indonesia.

Demokrasi yang berkemajuan adalah demokrasi yang tidak bergantung pada figur sentral yang bersifat sentralistik, tetapi lahirnya masyarakat madani yang menjadi oposisi yang sejati dan mendorong demokrasi yang mencerdaskan, memandirikan dan mensejahterakan rakyat. Semoga! [WT, 15/7/1019]

Oleh: Wahyu Triono KS
Universitas Nasional, Founder SSDI dan LEADER Indonesia

- Advertisement -

Berita Terkini