Digital In Constitution

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Sidang MK yang dimulai tanggal 14 Juni 2019, terkait sengketa Pilpres 2019, menjadi panggung perang argumentasi, perang dalil, perang azas dan pencerahan teknologi informasi dengan segala dampaknya.

Kita yang menyimak dari layar tv dan online, banyak mengambil pelajaran dari pendekar keadilan dan pejuang kebenaran. Pemaparan para saksi yang diajukan 02, beberapa terkait IT dan kesaksian langsung. Ahli yang dihadirkan, pakar IT Forensic Jaswar Koto dan Sugianto Sulistiyono. Bersyukur kita mendapat kesempatan menyaksikan para pakar teknologi memperjuangkan kebenaran di depan sidang.

Jabaran yang diberikan Jaswar Koto menjelaskan secara ilmiah dengan metodologi yang gamblang, komprehensif dan berhasil membuat Yusril Ihza Mahendra sebagai pimpinan kuasa hukum 01 memberikan apresiasi dalam bentuk kekhawatiran “presentasi anda bisa membatalkan hasil KPU”. Apresiasi Yusril bukan hal sepele, apresiasi dari pakar hukum tata negara yang merangkap panglima pihak terkait.

Apa yang dijelaskan ahli 02, justru mengambil obyek hukum dari pihak termohon (KPU). Untuk membuktikan terjadi kesalahan yang dihadapkan ratusan juta data, bukan hal yang sepele. Apalagi dalam waktu yang amat singkat. Anggap saja ada 192 juta DPT, sementara waktu analisis hanya 2 minggu, ini sama saja meminta Bandung Bondowoso menyusun 13.7 juta (192 juta/14 hari) batu menjadi candi dalam semalam, hampir mustahil bisa dilakukan. Dan yang membuat tambah runyam, diantara batu tersebut banyak yang cacat sehingga harus dieliminasi agar terbentuk 14 candi dalam 2 minggu dari 192 juta batu yang ada. Andai saja Bandung Bondowoso dihadirkan kedepan sidang MK kemaren, tentu dia akan panas dingin, dan lebih baik “tidak meminang” Roro Jongrang, karena jelas pekerjaan mustahil. Sekalipun menurut hikayat, Bandung Bondowoso dibantu Jin.

Disinilah peran teknologi diterapkan. Untuk menjelaskan absurditas data yang digunakan KPU yaitu DPT, cukup dengan metodologi statistik yang berbasis pada UU Pemilu itu sendiri. Ini mirip senam Taichi, menggunakan tenaga lawan. Parameter Usia, Tanggal lahir, No KK, dan NIK dihadap-hadapkan dengan UU Pemilu. Sehingga menghasilkan agegat ketidawajaran data yang berpotensi menjadi alat kecurangan. Dan KPU hingga sidang ditutup kemaren tidak sanggup membantah sajian pemaparan ahli Jaswar Koto. Gimana mau membantah, KPU saja tidak tau berapa jumlah DPT yang digunakan. Keterlaluan. Pemaparan Jaswar Koto menjadi dalil dasar pembuktian kecurangan, dan selanjutnya mesti dibuktikan pasca pencoblosan yakni melalui Situng.

Sajian penjelasan ahli Jaswar Koto dilengkapi dengan sajian Sugianto Sulistiyono yang mampu menemukan puluhan ribu TPS yang bermasalah. Bisa disebut bermasalah, karena pencatatannya tidak sesuai dengan fakta yang ada. Terjadi penggelembungan suara, penyusutan suara, ketidak sinkronan data, manipulasi C1 dan lain lain. Ini seperti kesemerawutan puzzle yang luasnya 1000 kali lapangan bola, namun harus menysun lapangan yang satu sama lain sinkron sehingga lapangan menjadi terhampar. Pekerjaan yang hampir mustahil. Sederhananya, untuk mencek 1 lembar C1 saja apakah rekayasa atau tidak, kita membutuhkan waktu lebih dari 10 menit. Sementara jumlah TPS ada 800 ribu, yang artinya ada 800 rb C1. Sekali lagi tim ahli 02 mampu memaparkan upload data C1 yang bermasalah dalam jumlah hampir 80 rb data C1. Bukan pekerjaan mudah. Peran teknologi digunakan kembali oleh ahli 02, yaitu dengan menggunakan methode scrapping data, lalu dibangun algoritma pengecekan ketidaksinkronan antar 1 parameter dengan parameter lain tiap lembar C1. Perlu resources perangkat yang cukup dan waktu, namun walau waktunya singkat, dapat disajikan dalam persidangan sebagai bukti kecurangan.

Bagi yang tidak memahami teknologi komputasi, pekerjaan yang dilakukan ahli 02 bisa dikatakan mengawang-ngawang, tinggi kelangit dan penuh dengan fatamorgana angka. Maka tidak heran sambutan pendukung 01 meremehkan paparan ahli 02, karena memang sudah menjadi sifat manusia, gak ngerti tapi paling rame suaranya. Mereka harusnya khawatir, seperti khawatirnya Yusril saat mengapresiasi ahli Jaswar Koto.

Namun bagi penggiat teknologi informasi atau komputasi, sajian yang dilakukan para ahli 02 adalah spektakuler, luar biasa dan diluar estimasi logika standar. Yang jadi masalah adalah, apakah hakim MK memahami sajian ahli tersebut, dan apakah sajian ahli mampu meyakinkan hakim MK bahwa memang terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif, minimal dari sisi data DPT dulu.

MK sebaiknya mulai membenah diri, spektrum dalam melihat kondisi sosial masyarakat harus lebih luas, karena masa depan adalah era digital, dimana dampak teknologi informasi bisa menyebabkan keguncangan sendi-sendi peradaban bangsa, dan perlu diantispasi dan diaktualisasi dalam peraturan dan undang-undang negara, dan ujungnya menjaga legitimasi konstitusi tetap terjaga. Kali ini kita akan melihat, apakah negeri ini mampu terlepas dari belenggu kotemporer sosial masa lalu atau bersikap progresif menyambut masa depan yang cepat dan selalu berubah, sebagai dampak perkembangan teknologi informasi.

Catatan, terima kasih kepada Jaswar Koto, Sugianto Sulistiyono, Agus Maksum, Idham, Anas dan Hermansyah, mereka semua pejuang IT negeri ini. Serta pak Said Didu, Listiyani, Nur Latifah, Rahmatsyah, Fahrida Aryanti, Tri Susanti, Dimas Yena, Beti Kristiana, Tri Hartanto dan Risda Mardiyana.
.
Alhadi Muhammad

- Advertisement -

Berita Terkini