Antara Pragmatisme Partai Politik dan Suara Rakyat

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Bayu Mitra A. Kusuma

MUDANews.com – Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2017 telah dilaksanakan lebih dari sepekan yang lalu. Selain Pilkada DKI yang nampaknya masih harus berlangsung dua putaran, Pilkada di daerah lain tinggal menunggu hasil real count dari KPUD masing-masing. Namun perhelatan Pilkada serentak tahun ini masih menyisakan cerita yang sangat mengganjal, yaitu semakin maraknya pasangan calon (paslon) tunggal. Menurut data Sistem Informasi Tahapan Pilkada (SITaP) KPU, tercatat ada sembilan daerah yang hanya memiliki paslon tunggal. Kesembilan daerah tersebut adalah Kota Tebing Tinggi, Tulang Bawang Barat, Pati, Buton, Landak, Maluku Tengah, Tambrauw, Kota Sorong, dan Jayapura.  Kondisi ini menunjukkan bahwa Pilkada dengan peserta hanya satu paslon mengalami tren yang meningkat jika dibandingkan dengan pilkada serentak 2015. Meski hal ini legal secara konstitusi, namun alangkah baiknya jika kontestasi pilkada diikuti oleh minimal dua paslon agar rakyat masih memiliki kesempatan untuk memilih.

Demi Kekuasaan

Munculnya fenomena tersebut tentu tak dapat dilepaskan dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan pilkada di suatu daerah tetap dihelat meskipun pesertanya hanya satu paslon. Putusan ini selanjutnya memicu adanya rekayasa dalam konstelasi politik di daerah. Pada kondisi ini partai akan menimbang dan mengukur seberapa tinggi elektabilitas figur-figur yang dimilikinya, seberapa kuat untuk bersaing dengan figur-figur dari partai lain, dan tentu seberapa besar presentase untuk memenangkan pilkada. Jika hasil survei bagus dan mampu membuat mereka yakin menang, maka partai akan berani mengusung calon. Namun jika hasil survei menempatkan mereka pada posisi yang inferior, partai tidak mau bersusah payah mengajukan calon. Mereka akan lebih memilih untuk mendukung calon-calon yang ada atau merapat kepada partai lain dengan catatan memiliki peluang menang yang besar. Pertarungan antar parpol pun dapat didesain sedemikian rupa untuk pada akhirnya hanya memunculkan satu paslon saja.

Melihat kondisi tersebut, Putusan MK yang memperbolehkan calon tunggal dalam pilkada seakan-akan telah dimanfaatkan parpol untuk melegitimasi praktek transaksional dalam perilaku politik mereka. Sebelum revisi atas Undang-Undang Pilkada mulai diberlakukan pada pertengahan 2016 lalu pun, partai telah mensiasati aturan dengan memunculkan calon boneka. Namun kini partai semakin terbuka memperlihatkan pragmatisme mereka dalam upaya mencapai atau melanggengkan kekuasaan. Apalagi rakyat semakin kehilangan pilihan ketika dihadapkan pada fakta bahwa calon perseorangan (independen) harus mengantongi persyarakat dukungan dari 6,5 persen sampai 10 persen dari calon pemilih. Syarat tersebut tampak sangat memberatkan dan mampu menjegal langkah dari calon independen.

Dalih Suara Rakyat

Meningkatnya tren calon tunggal dalam pilkada mengindikasikan bahwa kebanyakan parpol gagal dalam upaya regenerasi untuk melahirkan kader-kader yang potensial. Agar dapat masuk atau bertahan dalam lingkar kekuasaan di daerah, partai-partai yang tak memiliki figur populer cenderung merapat kepada partai lain yang memiliki figur kuat. Ironisnya mereka mengatasnamakan suara rakyat untuk membenarkan perilaku politik mereka. Parpol berdalih bahwa alasan mereka mendukung calon tertentu yang bukan dari partai mereka adalah murni dari mendengarkan aspirasi arus bawah. Padahal sebenarnya pilihan tersebut tak lebih dari langkah yang mereka anggap paling realistis.

Parpol cenderung melihat pada siapa yang memiliki popularitas tertinggi di mata pemilih sehingga memiliki potensi besar untuk memenangkan kontestasi pilkada. Jika sudah demikian, rakyat tinggal bisa berharap paslon tunggal yang muncul memang yang terbaik untuk mereka saat ini. Namun paslon juga harus mampu membuktikan bahwa rakyat tidak salah telah memilih mereka. Meski demikian, ke depan kesadaran dan kedewasaan politik baik parpol maupun masyarakat patut terus didorong untuk memunculkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas. Di samping negara juga harus terus memperbaiki regulasi untuk mengawal proses tersebut untuk menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas dan berintegritas.[jo]

Penulis adalah Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumnus Ilmu Politik Burapha University Thailand (Bayu Mitra A. Kusuma, S.AP., M.AP.,M.Pol. Sc.)

- Advertisement -

Berita Terkini