Laporan Khusus Mudanews.com
Mudanews.com Kendari — Di sebuah ruang kelas sederhana di Kota Kendari, kehidupan pendidikan yang biasanya berjalan tenang mendadak berubah menjadi gemuruh polemik. Seorang guru berusia 53 tahun, Mansur, yang selama puluhan tahun menekuni profesinya dengan reputasi sebagai sosok penyabar dan penyayang murid, kini duduk di balik jeruji besi. Putusan Pengadilan Negeri Kendari pada 1 Desember 2025 menyatakan dirinya “sah dan meyakinkan” bersalah melakukan pelecehan terhadap murid perempuan berusia 9 tahun. Vonisnya: lima tahun penjara.
Sejak itu, lini masa media sosial, halaman depan media nasional, hingga ruang diskusi para pendidik dipenuhi dua suara besar yang saling bersilang: mereka yang meminta keadilan bagi korban—dan mereka yang meragukan vonis yang dijatuhkan.
PGRI Jaga Jarak: “Empati iya, intervensi tidak”
Dalam situasi yang panas ini, publik banyak menyoroti posisi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Kendari serta Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Kendari. Namun Kepala Dikbud sekaligus Ketua PGRI Kendari, Saemina, menegaskan posisi yang tidak ambigu.
“Kami tidak mencampuri proses hukum. PGRI hanya menunjukkan empati sebagai sesama guru, bukan untuk mempengaruhi jalannya perkara,” ujarnya kepada awak media , Selasa (9/12/2025).
Ia menyadari bahwa masyarakat menduga-duga arah sikap PGRI, terutama saat tagar #SaveMansur mulai bertebaran dalam percakapan guru-guru di berbagai kota. Namun PGRI, tegasnya, berperan menjaga marwah profesi guru tanpa menabrak proses hukum yang sedang berjalan.
“Ini soal kemanusiaan—keduanya: korban dan guru. Tapi hukum tetap harus memimpin proses,” katanya.
Di Balik Vonis: Kisah Trauma Korban yang Tidak Terlihat di Ruang Sidang
Dalam pemberitaan media arus utama, jaksa menghadirkan laporan psikologis yang menyebut bahwa korban mengalami trauma, kecemasan, dan gangguan emosional yang muncul pasca kejadian. Korban dilaporkan sering ketakutan, sulit tidur, bahkan “melihat” bayangan pelaku, menurut paparan jaksa dalam sidang.
Pihak psikolog yang menangani korban menggambarkan kondisi tersebut sebagai “reaksi stres berat yang lazim dialami anak setelah tersentuh pengalaman traumatis”.
Pendamping hukum keluarga korban menambahkan, “Anak ini mulai takut jika melihat laki-laki dewasa memakai pakaian seperti guru. Dia memerlukan pemulihan yang panjang.”
Tapi di Luar Gedung Pengadilan: Ada Orang Tua Murid yang Menangis untuk Membela Mansur
Sementara itu, di halaman Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara, pemandangan berbeda muncul. Sejumlah wali murid menangis, memohon agar jaksa agung meninjau ulang berkas perkara. Bagi mereka, vonis tersebut adalah “ketidakadilan paling pahit” yang menimpa seorang guru yang mereka anggap berjasa.
“Masa hanya karena menyentuh dahi murid untuk mengecek demam, langsung dipenjara? Ini tidak masuk akal,” ujar seorang wali murid yang hadir dalam aksi tersebut.
Sejumlah rekannya menganggap Mansur adalah guru yang sering membantu murid membeli jajan, mengantarkan anak pulang, dan jarang meninggikan suara. “Kalau orang seperti itu disebut pelaku pelecehan, kami tidak percaya. Tidak mungkin,” kata seorang guru senior yang pernah mengajar bersamanya.
Kontras emosional antara dua kubu ini—keluarga korban dan pendukung guru—menciptakan ketegangan sosial yang tak terhindarkan.
Kuasa Hukum Mansur: “Kami mencium banyak kejanggalan”
Pengacara Mansur, Andre Darmawan, menilai putusan hakim tidak memadai secara pembuktian. Ia menyebut tidak adanya saksi independen lain, dan menyebut bukti percakapan digital sebagai “tidak konklusif”.
“Kami segera ajukan banding. Profesor pun bisa salah, apalagi manusia biasa,” ucapnya.
Menurutnya, banyak logika dalam kronologi jaksa yang harus diuji ulang di pengadilan tingkat lebih tinggi.
Ketika Guru Bukan Hanya Pendidik, Tapi Simbol Kepercayaan Publik
Pakar pendidikan Universitas Halu Oleo, Dr. Yusri Harun, menilai kasus ini bisa menjadi “pukulan telak” bagi dunia pendidikan jika tidak ditangani secara jernih.
“Guru itu simbol kepercayaan publik. Kalau salah satu diduga melanggar etik, apalagi menyangkut anak, efeknya akan menyebar luas,” ujarnya saat dihubungi.
Namun Yusri juga menekankan pentingnya asas praduga tidak bersalah.
“Jika seorang guru berpotensi dihukum tanpa pembuktian yang benar-benar kuat, itu sama berbahayanya dengan membiarkan anak terluka tanpa perlindungan,” katanya.
Di Tengah Dua Kepentingan yang Sama-sama Mulia, PGRI Berada di Jalur Tipis
Di sinilah organisasi profesi guru harus berdiri: di batas antara kepedulian terhadap anggotanya dan penghormatan terhadap keadilan.
Saemina memilih kata-kata yang sangat hati-hati. Bukan hanya karena posisinya di Dikbud—tetapi juga karena ia tahu, bahwa keputusan yang terburu-buru bisa menyulut api yang lebih besar.
“Kami mengawal moralitas profesi, bukan perkara hukum. Biarlah hukum bekerja,” ujarnya.
Akhirnya, Siapa yang Harus Dilindungi?
Dalam kasus ini, terdapat tiga kelompok yang sama-sama memerlukan keadilan:
- Anak korban, yang hidupnya tidak boleh rusak karena pengalaman traumatis.
- Guru Mansur, yang juga berhak atas proses peradilan yang adil dan tidak bias.
- Komunitas pendidikan, yang harus menjaga kepercayaan publik agar sekolah tetap menjadi ruang yang aman dan layak dipercaya.
Dunia pendidikan di Kendari—dan Indonesia—mengawasi putusan banding ini dengan tegang. Sebab kasus Mansur bukan hanya perkara hukum. Ini juga ujian moral: sejauh mana kita melindungi anak, sekaligus menghormati guru, tanpa mengorbankan salah satunya **(Red)

